28/12/08

SIUP, Kemampuan Dasar dan Kualifikasi

Untuk menjadi penyedia barang dan jasa untuk pemerintah, seseorang atau perusahaan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha atau kegiatan sebagai penyedia barang dan jasa.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi, kesehatan, perhubungan, perindustrian, dan perdagangan itu sendiri, yang kemudian diwujudkan sebagai izin usaha.

SIUP atau Surat Izin Usaha Perdagangan adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan. Mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 09/M-DAG/PER/3/2006, setiap perusahaan wajib memiliki SIUP, yang dibedakan atas SIUP Kecil, SIUP Menengah, SIUP Besar, SIUP Perseroan Terbuka.

Memiliki SIUP tidak wajib bagi cabang perusahaan atau perwakilan perusahaan. Cabang atau perwakilan menggunakan SIUP perusahaan induknya dengan kewajiban melapor kepada pejabat penerbit SIUP di tempat kedudukan kantor cabang atau perwakilan.

SIUP juga tidak diwajibkan bagi perusahaan kecil perorangan yang tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan, serta diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau anggota keluarga atau kerabat terdekat.

Pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang pinggir jalan atau pedagang kaki lima juga tidak wajib memiliki SIUP.

Dengan SIUP yang dimilikinya, perusahaan dilarang melakukan perdagangan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan uraian yang tercantum dalam SIUP-nya. Dalam SIUP akan mengandung informasi mengenai bidang usaha (5 digit sesuai KBLI) dan jenis barang dagangan utama. Informasi ini penting bagi pengadaan karena secara hukum berdagang di luar yang dizinkan adalah dilarang.

SIUP berlaku untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan di seluruh wilayah Republik Indonesia selama perusahaan masih menjalankan kegiatan usaha perdagangan walaupun SIUP diterbitkan oleh pejabat penerbit SIUP di setiap Kabupaten dan Kota di masing-masing domisili perusahaan.

Lebih lanjut. SIUP tidak berlaku untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan selain yang tercantum di dalam SIUP-nya. Dengan kata lain, perusahaan tidak boleh melakukan kegiatan usaha di luar yang tertulis dalam SIUP-nya.

Aspek lain yang harus dipenuhi adalah aspek kemampuan usaha. Uraian bidang usaha maupun jenis barang dagangan utama yang tertulis di SIUP seringkali masih sangat luas, yang dalam banyak kasus perusahaan yang bersangkutan pada prakteknya hanya bergerak di satu barang dagangan saja, tetapi di dalam SIUP tercatum lingkup bidang usaha yang lebih dari yang biasa dijalankannya.

Di sini pentingnya panitia merumuskan tuntutan kemampuan calon penyedia. Cara paling lazim adalah mempersyaratkan pernah memiliki pengalaman melaksanakan atau menyediakan barang sejenis. Dalam ketentuan Keppres 80 tahun 2003, rumusan ini dapat diperlunak dengan rumusan memiliki kemampuan dasar (KD) untuk bidang atau sub bidang usaha. Maksudnya, perusahaan diberi kesempatan untuk memperlebar bidang usahanya melalui pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Namun demikian, panitia pengadaan tetap harus menilai tingkat resiko keberhasilan tersedianya barang dan jasa setelah kontrak. Pada pengadaan dengan tingkat resiko yang tinggi, pengalaman penyedia untuk melaksanakan pekerjaan sejenis dengan nilai yang kurang lebih sama akan mengurangi resiko kegagalan kontrak. Pada situasi ini, rumusan KD bisa jadi masih kurang menjamin kesuksesan pengadaan.

Sebaliknya, untuk pekerjaan dengan tingkat resiko rendah, mempersyaratkan pengalaman sejenis akan mengurangi peluang persaingan usaha dan kesempatan berusaha. Pada situasi ini rumusan KD masih dianggap berlebihan.

Akhirnya, aspek legal (perizinan) dan aspek kemampuan harus disandingkan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi, di samping yang tidak kalah pentingnya adalah track record.

Untuk poin yang terakhir, ketentuan pengadaan pemerintah memperkenalkan Black List bagi penyedia yang pengalaman kontraknya tidak memuaskan pengguna barang dan jasa.

.
Salam:
Ikak G. Patriastomo

25/12/08

Peluang Usaha Kecil

Sebagaimana kita ketahui, usaha kecil memiliki peran dalam mendistribusikan kesejahteraan yang lebih merata. Dengan pandangan ini, semakin besar jumlah usaha kecil yang mendapat kontrak pengadaan dari pemerintah semakin besar pula peluang terjadinya distribusi kesejahteraan yang lebih merata.

Selama ini, peluang usaha bagi usaha kecil dalam pengadaan barang/jasa pemerintah berkisar antara 30 – 40% dari total nilai pengadaan secara nasional. Dengan melihat karakteristik barang/jasa yang dibutuhkan pemerintah, porsi peluang usaha tersebut mestinya dapat diupayakan lebih besar.

Di samping itu, jumlah usaha kecil yang mendapat akses untuk memanfaatkan peluang pasar pengadaan juga sangat terbatas. Sebagai gambaran, jumlah usaha kecil yang sebenarnya potensial mengikuti pelelangan pengadaan barang/jasa tidak kurang dari 4 juta unit usaha kecil dari berbagai lapangan usaha seperti pertanian, jasa perdagangan, bangunan dan industri manufaktur skala kecil.

Namun data tahun 2002, jumlah total usaha kecil yang selama ini telah terlibat dalam pengadaan tidak lebih dari 150 ribu unit usaha (Data: KADIN dan LPJKN), yang sekitar 90 ribunya adalah usaha kecil di bidang jasa konstruksi.

Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa satu pengusaha pada umumnya menguasai lebih dari 3-5 unit usaha. Secara sederhana, pangsa pasar yang 30-40% (Rp. 100 trilyun) hanya dikuasai oleh sekitar 50 ribu pengusaha.

Kenyataan yang memprihatinkan ini disebabkan oleh kondisi persaingan usaha yang tidak sehat dan kolutif sehingga jumlah usaha kecil yang mendapat akses pada peluang usaha dalam pengadaan terbatas. Kita akan menjumpai di banyak kantor, penyedianya itu-itu saja. Sedangkan usaha kecil lainnya enggan ikut dalam pengadaan karena tidak yakin akan mendapat kesempatan yang sama (fair).

Oleh karena itu, sistem pengadaan yang dibangun mencoba untuk berpihak kepada kepentingan ini dan menjamin dapat memberi peluang usaha bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil dalam pengadaan barang/jasa melalui berbagai pengaturan sehingga menghasilkan pemerataan kesempatan berusaha kepada seluruh pelaku usaha.

Landasan hukum untuk itu sudah dimiliki, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1995 yang mewajibkan pemerintah memberikan peluang usaha kepada usaha kecil. Namun demikian, kontrol masyarakat untuk mengawasi implementasinya perlu juga ditingkatkan kesadarannya sehingga peluang yang diberikan kepada usaha kecil tidak dimanfaatkan oleh usaha yang bukan usaha kecil (usaha menengah dan usaha besar).

Pokok-pokok pengaturan Keppres 80 Tahun 2003 menjabarkan amanat UU tersebut meliputi:
1). Setiap instansi diwajibkan untuk mencadangkan paket pekerjaan yang hanya akan dilelangkan diantara usaha kecil. Salah satu ukurannya adalah paket pekerjaan dengan nilai sampai dengan Rp. 1 milyar. Di sini, apabila suatu instasi memiliki paket dengan nilai dibawah Rp. 1 milar, instansi yang bersangkutan harus menilai apakah paket pekerjaan tersebut mampu dilaksanakan oleh usaha kecil sehingga dapat dicadangkan untuk usaha kecil. Walaupun demikian, dalam banyak hal, memang tidak selalu paket di bawah Rp. 1 milyar dapat dilaksanakan oleh usaha kecil.

2). Perencanaan pemaketan pekerjaan (termasuk didorongnya pemecahan paket pekerjaan) perlu memberi peluang usaha sehingga memungkinkan akses usaha kecil dapat diperbesar sesuai dengan kemampuan usahanya.

3). Dilarangnya pembatasan wilayah operasi serta tidak dikenalnya klasifikasi badan usaha usaha dengan maksud mendorong usaha kecil berkembang sesuai dengan kemampuan dan peluang usaha yang lebih besar tanpa dibatasi dengan wilayah.

4). Kewajiban mengumumkan secara luas rencana maupun pelaksanaan pengadaan yang dimaksudkan untuk memberi akses yang sama kepada semua pelaku usaha kecil.

5). Disederhanakannya persyaratan usaha kecil dalam mengikuti pelalangan untuk mempermudah keterlibatan usaha kecil.

6). Dihapuskannya kewajiban sertifikat badan usaha secara umum untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi dan mendorong persaingan usaha.

Dengan pendekatan tersebut, pengelola pengadaan memang diminta untuk sedikit bertambah kerepotannya, namun kerepotan tersebut adalah bagian dari upaya kita untuk menumbuhkan usaha kecil yang kompetitif dan memeratakan kesempatan usaha melalui pengadaan.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Lelang di BUMN

BUMN dan Keppres 80/2003

Beberapa hari ini kita disuguhi dengan pernyataan Menteri BUMN yang dikutip oleh berbagai media dari sudut pandang yang berbeda-beda dengan issue yang digarisbawahi berbeda pula.

Dari sudut pandang BUMN, prosedur yang diperkenalkan dalam Keppres 80 Tahun 2003 dianggap tidak cukup mendukung kecepatan kebutuhan pengadaan untuk operasinya, khususnya untuk pengadaan barang yang memer lukan respon yang cepat. Keterlambatan suplai dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar, termasuk kerugian ekonomi dan masyarakat bila layanan adalah barang/ jasa publik.

Kalangan pelaku usaha dalam negeri dengan sudut pandangnya mengkhawatir kan tidak adanya keberpihakan pada usaha nasional dan industri dalam negeri sebagaimana kebijakan pengadaan dalam Keppres 80 yang mencoba untuk melihat usaha nasional dan produksi industri dalam negeri wajib dilindungi dan penggunaannya wajib dimaksimalkan. Kemudian, BMUN dikhawatirkan tidak memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha untuk masuk kepada persaingan usaha yang sehat.

Lebih lanjut, masyarakat luas melihat persoalan pengadaan di BUMN dengan pandangan yang skeptikal. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita masih belum mudah percaya bahwa pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun BUMN benar-benar sudah menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan benar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN akan perlunya membangun citra bahwa proses pengadaan yang dilakukan sudah mencerminkan penerapan prinsip good governance. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun tumbuhnya kepercayaan masyarakat.

Kesadaran akan tuntutan tersebut mendasari pemikiran dalam Keppres 80 bahwa sistem pengadaan yang pertama dipilih adalah metode pelelangan umum atau tender dengan tetap responsif.

Walaupun Keppres 80 tidak mengatur BUMN, metode lelang atau tender merupakan metode paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik, dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk menjamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dari perspektif pelaku usaha, pelelangan akan menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil sebagaimana perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Dengan demikian, sekali lagi wa laupun Keppres 80 tidak dimaksudkan untuk mengatur BUMN, namun prinsip-prinsip di atas, khususnya berkaitan dengan menegakan good governance dan memberi kesempatan yang luas kepada pelaku usaha nasional tetap tidak boleh dilanggar.

Akan halnya isu prosedur lelang dalam Keppres 80 dianggap rumit, maka saya kira banyak praktisi pengadaan saat ini yang bisa membantu untuk membaca prosedur secara lebih sederhana.

Lepas dari persoalan prosedur, dalam banyak hal, kebutuhan mendesak akan suatu barang dikaitkan dengan proses pengadaan harus dipecahkan pada tahap perencanan kebutuhan dan manajemen kontraknya, bukan dengan penunjukan langsung.

Dalam kegiatan operasional, pada dasarnya semua kebutuhan dapat diren- canakan, termasuk penyediaan anggaran nya. Bahwa kebutuhan barang bisa benar-benar dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, dapat diatur dalam kontrak penyediaannya. Namun demikian, ada kemungkinan perencanaan kebutuhan dan anggaran tidak mempertimbangkan dan menjang kau berbagai resiko operasi.

Dengan alasan tersebut maka Keppres 80 membatasi penggunaan penunjukan langsung hanya untuk penanganan yang memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, sehingga tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi yang lain, pelelangan juga tidak efektif bila diketahui dengan pasti hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita. Selanjutnya, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memerlukan waktu dan biaya, sehingga untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, waktu dan biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Billing Rate Konsultan

Pertanyaan yang sering muncul dalam setiap pertemuan adalah bagaimana mendapatkan harga yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai imbalan suatu pekerjaan jasa konsultansi.

Di pada yang lalu, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) berkaitan dengan standar harga satuan untuk jasa konsultan yang terkenal dengan sebutan Billing Rate Bappenas. Dalam perjalanannya, praktek penerapan billing rate tersebut menimbulkan kerancuan banyak pihak.

Angka-angka billing rate kemudian digunakan sebagai dasar negosiasi harga, dan panitia pengadaan cenderung tidak berani keluar dari angka yang ada. Akhirnya, pengguna seringkali menghadapi persoalan karena angka-angka tersebut tidak mencerminkan harga pasar sesungguhnya untuk suatu keahlian. Yang terjadi kemudian adalah akal-akalan (akrobat) dengan angka yang ada. Hal ini jelas tidak sehat. Pada waktu pemeriksaaan oleh auditor, persepsi serupa juga terjadi. Auditor memandang angka dalam SEB tersebut sebagai harga yang tidak boleh dilampaui.

Dari sisi penyedia, karena billing rate diperlakukan sebagai pagu yang tidak dapat dilampaui maka penyedia juga tidak dapat memberikan proposal yang baik. Penyedia jasa konsultansi kemudian menggunakan dan memberikan tenaga ahli yang mau dibayar di bawah harga pasar, atau mengajukan proposal yang dalam perjalanannya diganti dengan tenaga ahli yang lebih rendah kualifikasinya.

Alhasil, dua belah pihak terbelenggu oleh implementasi dari angka billing rate dalam SEB dan menyebabkan hasil pekerjaan tidak optimal.

Studi yang dilakukan oleh Bappenas tahun 1999 terhadap perkembangan jasa konsultansi nasional menyimpulkan bahwa billing rate dalam SEB yang diperlakukan sebagai pagu atau ”plafon” merupakan salah satu penyebab dunia jasa konsultansi nasional (proyek pemerintah) tidak berkembang dan tidak menarik.

Dari hasil studi tersebut, konsep billing rate harus diluruskan, dan pada tahun 2000 Bappenas dan Depkeu menerbitkan SEB untuk pedoman penyusunan rencana anggaran biaya jasa konsultansi yang di dalamnya tidak mencerminkan angka-angka sebagai pagu.

Lebih lanjut, dengan terbitnya Keppres 80 Tahun 2003, secara tegas diatur dalam pasal 53 bahwa semua ketentuan sebelumnya yang berkaitan dengan pengadaan dinyatakan tidak berlaku, termasuk pengaturan mengenai penetapan billing rate.

Singkatnya, berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, harga atau biaya pekerjaan jasa konsultansi yang dapat dipertanggung jawabkan pada prinsipnya merupakan harga yang diperoleh sebagai hasil proses seleksi umum yang kompetitif.

Pada proses seleksi, perusahaan jasa konsultansi harus menawarkan proposal teknis sebaik-baiknya dan proposal biaya, baik biaya langsung personil maupun biaya lainnya. Billing rate sebagai rincian dari komponen biaya personil yang ditawarkan adalah harga sesungguhnya dari suatu keahlian seseorang dan tingkat efisiensi perusahaan.

Pada metode evaluasi kualitas dan metode evaluasi kualitas dan biaya, karena faktor keahlian ini sangat penting dalam jasa konsultansi maka billing rate tenaga ahli yang ditawarkan tidak boleh dinegosiasi sepanjang billing rate yang bersangkutan tidak lebih dari 3,2 kali gaji dasar yang diterima tenaga ahli yang bersangkutan.

Dua metode evaluasi ini pada umumnya digunakan untuk pekerjaan yang relatif kompleks, atau perlu inovasi, dan tidak dapat mengacu kepada standar yang umum berlaku. Penyusunan RAB maupun proposal biaya jasa konsultansi perlu diperinci sampai kepada menentukan biaya langsung personil.

Istilah yang dulu pernah dikenal adalah jasa konsultansi yang lazimnya tidak memiliki standar fee (non standar). RAB maupun proposal biaya dapat diperinci ke dalam dua komponen biaya yaitu: Biaya Langsung Personil (Remuneration); dan Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost).

Pengertian Biaya Langsung Personil adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai tenaga ahli dan tenaga pendukung. Tenaga ahli adalah personel dengan jenis keahlian dan persyaratan tertentu seperti: Tingkat pendidikan tertentu misalnya perlu lulusan perguruan tinggi; Jenis keahlian (spesialisasi) tertentu; Pengalaman kerja profesional tertentu; Penguasaan bahasa, adat-istiadat dsb. Tenaga pendukung adalah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam rangka mendukung tenaga ahli baik dengan kualifikasi tertentu seperti operator komputer, sekretaris, sopir, maupun tenaga kerja tanpa kualifikasi seperti kurir, penjaga kantor, dsb.

Biaya Langsung Non Personil adalah semua perkiraan pengeluaran yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan kegiatan oleh tenaga ahli maupun tenaga pendukung. Untuk jasa konsultansi lazim biaya ini tidak lebih dari 40 persen total biaya.

Di samping perkerjaan konsultansi yang non-standar, juga dikenal pekerjaan jasa konsultansi yang dapat diberlakukan suatu standar fee. Biaya atau fee atau RAB dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari pekerjaan fisik terkaitnya, misalnya untuk disain gedung sebesar 4-7%, pengawasan 4%.

Pada jenis imbalan dengan standar tertentu, maka dengan mengacu pada Keppres 80 dapat dipilih metode evaluasi pagu anggaran. Pada metode ini, harga yang ditawarkan sama sekali tidak boleh dinegosiasi.

Pada metode ini, peserta seleksi perlu mengajukan proposal teknis sebaik-baiknya (dengan tenaga ahli terbaik) dan proposal biayanya tidak melampaui pagu. Pada metode ini tidak dipersoalkan billing rate. Jadi tidak perlu banting-bantingan.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

20/12/08

Pengumuman Lelang

Pengumuman dalam proses lelang merupakan salah satu tahapan yang sangat penting bagi tercapainya tujuan pengadaan. Pengumuman yang terbatas akan mengurangi peluang mendapatkan penawaran yang terbaik.

Di sisi pelaku usaha, pengumuman lelang yang luas akan memberi kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha yang memiliki kemampuan menyediakan barang/jasa. Pengumuman yang terbatas dapat dicurigai sebagai upaya panitia untuk membatasi peserta pelelangan.

Dalam praktek pengadaan barang/ jasa pemerintah, pengumuman lelang seringkali tidak cukup dipahami perlu dilakukan secara luas dan jelas. Alasan yang paling klasik adalah tidak disediakannya anggaran untuk biaya pengumuman. Untuk alasan ini tergambar bahwa dari tahap perencanaan anggaran, perencana tidak memahami pentingnya pengumuman bagi hasil belanja yang efisien. Ada pula laporan yang secara sengaja tidak menyediakan biaya untuk pengumuman agar pengadaan dapat diarahkan kepada penyedia tertentu (KKN).

Ketidakpahaman terhadap tujuan pengumuman paling gamblang dapat tergambar dari isi pengumuman yang dimuat. Sampai hari ini masih sering dijumpai muatan pengumuman yang hanya bersifat formalitas untuk memenuhi prosedur sehingga tidak memberi informasi yang jelas bagi pelaku usaha mengenai kebutuhan panitia maupun rencana pelaksanaan lelangnya.

Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, ada ketentuan bahwa isi pengumuman lelang harus memuat sekurang-kurangnya :
a) nama dan alamat pengguna barang/jasa yang akan mengadakan pelelangan umum;
b) uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan atau barang yang akan dibeli;
c) perkiraan nilai pekerjaan;
d) syarat-syarat peserta lelang umum;
e) tempat, tanggal, hari, dan waktu untuk mengambil dokumen pengadaan.

Pertanyaannya, apakah dengan memuat 5 butir yang diatur di atas informasi sudah pasti mencukupi? Dalam banyak kasus tidak cukup.

Informasi yang lengkap dan jelas selanjutnya harus dijamin tepat sasaran. Artinya, semua pelaku usaha yang mampu harus dipastikan tahu mengenai pengumuman lelang.

Penempatan pengumuman yang menjamin tepat sasaran sering juga tidak cukup dipahami. Panitia sering hanya menempatkan pengumuman pada surat kabar yang memberi tarif paling murah, yang biasanya peredaran dan oplahnya terbatas bahkan tidak dibaca oleh pelaku usaha. Dalam banyak kasus, hal ini juga ada unsur disengaja untuk mengurangi persaingan pada saat lelang.

Secara prosedur, pengumuman yang tepat sasaran dan menjangkau masyarakat pengusaha yang dituju diatur dalam Perpres 8 Tahun 2006 dengan ketentuan yang pada intinya pengumuman harus ditempatkan di:
a. Surat kabar yang ditetapkan oleh masing-masing Gubernur untuk pengumuman di provinsi yang bersangkutan untuk semua paket pekerjaan instansi pusat maupun daerah yang akan dilaksanakan di provinsi yang bersangkutan.
b. Surat kabar yang ditetapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk semua nilai paket pekerjaan di atas Rp. 1 milyar.

Dengan dipastikannya surat kabar yang menjadi tempat pengumuman, maka semua pelaku usaha menjadi lebih mudah mengikuti informasi pengadaan di semua instansi pemerintah. Di sisi lain, masyarakat menjadi lebih mudah untuk ikut mengontrol praktek-praktek penyimpangan proses pengadaan dalam tahap pengumuman.

Kembali pada pertanyaan, apakah sudah cukup dengan hanya menempatkan pengumuman di surat kabar yang ditetapkan? Jawabannya adalah selalu belum cukup. Untuk lebih menjamin tepat sasaran, media komuniasi lain masih diperlukan. Misalnya, memberi tahu pelaku usaha melalui telepon, fax, e-mail dll.

Akhirnya, walaupun pelelangan umum adalah metode yang paling menjamin tercapainya tujuan pengadaan dan semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil, harus diikuti dengan pengumuman yang memadai (muatan dan tempat meletakan pengumumannya).

Tanpa pengumuman yang benar, lelang akan menghasilkan harga barang yang mahal karena tidak kompetitif. Harga mahal bukan karena lelang.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Reformasi Birokrasi - Pegawai Tidak Harus PNS

Banyak pertanyaan yang mengganggu manakala memperhatikan kinerja birokrasi di Indonesia. Dalam banyak hal, mulai dari tingkat kesejahteraan, etos kerja, sampai pada etika, sangat jauh dari yang diharapkan oleh siapapun.

Hipotesis pertama: apakah pekerjaan yang selama ini ditangani oleh birokrat (pegawai negeri sipil) tidak dapat dikerjakan oleh kalangan non-birokrat (swasta-masyarakat).

Melihat banyaknya contoh pekerjaan yang semula didefinisikan sebagai tugas negara untuk melayani masyarakat namun kemudian masyarakat dan pelaku usaha juga memasuki lapangan pekerjaan tersebut, rasanya tidak ada alasan lagi bagi birokrat (PNS) untuk memonopoli peran dalam memberikan pelayanan kepada masyakat. Contoh: sekolah swasta untuk pendidikan, RS swasta untuk kesehatan, perusahaan asuransi untuk menyediakan jaminan sosial dll.

Dengan cara berpikir itu, keberadaan PNS sebagai suatu kelompok yang eksklusif (yang tidak bebas keluar masuk kelompok) menjadi pertanyaan besar. Rasanya PNS harus didefinisikan kembali. Lebih lanjut, apakah yang disebut dengan birokrat harus identik dengan PNS? rasanya harus ditinjau ulang.

Perkembangan dunia usaha dan pendidikan telah membuka banyak kemungkinan fungsi-fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan kepada publik dilaksanakan oleh masyarakat dan pelaku usaha. Bila di masa yang lalu pekerjaan seperti kebersihan kantor dilakukan oleh pegawai negeri sipil, kita lihat sekarang ini sudah banyak dilakukan oleh perusahaan cleaning service. Bila di masa lalu membangun jalan dilaksanakan oleh pegawai Dep. PU, saat ini suda banyak usaha jasa kontraktor. Dengan demikian, pada pada umumnya, akan banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang saat ini dilaksanakan oleh seseorang yang disebut PNS akan dikerjakan oleh pekerja-pekerja yang bukan berstatus PNS.

Bila demikian, maka hipotesis pertama di atas sudah terpatahkan. Administrasi kepegawaian dalam formatnya yang sekarang rasanya mendesak harus diubah. Pegawai negeri bukan lagi sebagai jabatan yang melekat seumur hidup sebelum pensiun, melainkan jabatan yang disandang manakala seseorang mengabdikan diri pada profesi dalam struktur organisasi pemerintahan.

Tidak diperlukan lagi guru/dosen yang PNS, atau Direktur RS yang PNS dll. Dirjen Bina Marga PU boleh jadi adalah profesional yang mengerti tentang kebinamargaan. Siapapun yang memenuhi syarat untuk pekerjaan di pemerintahan harus dimungkinkan melakukan pekerjaan memberi pelayanan kepada masyarakat atas beban anggaran negara.

Di masa yang akan datang akan ada pengumuman "Lowongan Pekerjaan Direktur RS Cipto Mangunkusumo" yang diiklankan oleh Depkes bagi siapa saja yang memenuhi syarat dan kompeten, baik yang sudah di dalam struktur pemerintahan maupun di luar struktur. Seorang Direktur RS Swasta yang profesional dapat memimpin RS Cipto.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

06/12/08

Transparansi dan Pengadaan

Setelah reformasi berjalan 5 tahun, pada tahun 2002 yang lalu Tim Pengembangan Kebijakan Tata Pemerintahan yang Baik ("Good Public Governance") Bappenas melakukan penelitian terhadap tingkat pemahaman 14 prinsip-prinsip "good public governance" yang meliputi prinsip-prinsip:
1. Visioner;
2. Transparansi;
3. Responsif;
4. Akuntabel;
5. Profesional & Kompeten;
6. Efisien & Efektif;
7. Desentralistis;
8. Demokratis;
9. Partisipatif;
10. Kemitraan;
11. Supremasi Hukum;
12. Pengurangan Kesenjangan;
13. Komitmen Pasar; dan
14. Lingkungan Hidup.

Berdasarkan penelitian terhadap 441 peserta pendidikan dan pelatihan ADUM dan SPAMA seluruh Indonesia, secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar responden memahami secara umum prinsip-prinsip tata pemerintahan, dengan tingkat pemahaman yang cukup tinggi. Tingkat pemahaman rata-rata mencapai nilai 7,81. Di samping itu, sebagian besar responden memiliki nilai pemahaman di atas 6,5 (lower quartile). Namun demikian, ternyata terdapat pula responden yang tidak memahami sama sekali prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Dalam penelitian ini juga diperoleh gambaran bahwa terdapat responden yang mampu menjawab dengan benar terhadap hampir semua pertanyaan yang diajukan.

Pengukuran pemahaman terhadap satu persatu prinsip-prinsip tersebut, diperoleh gambaran bahwa prinsip ke 2 (transparansi) menduduki urutan pertama diantara prinsip-prinsip yang paling tidak dipahami. Terdapat 49,4 persen responden yang tidak dapat memahami konsep tentang transparansi. Di urutan kedua, dengan persentase 43,4 persen, responden juga tidak memahami Prinsip-14 yaitu tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup. Sedangkan urutan ketiga yang tidak dipahami adalah Prinsip-9 yaitu tata pemerintahan yang
mendorong partisipasi masyarakat, meliputi 36,6 persen responden.

Dengan hasil tersebut dapat dimengerti kesulitan pengelola pengadaan dalam memahami konsep transparansi dalam Keppres 80 Tahun 2003 sehingga proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dikatakan masih belum transparan sampai saat ini. Lebih lanjut dapat dimaklumi pula apabila ujian sertifikasi keahlian pengadaan banyak yang tidak lulus karena kesulitan memahami salah satu prinsip dasar pengadaan publik, yaitu transparansi.

Transparansi dalam proses pengadaan adalah prinsip dasar yang apabila mampu diimplementasikan secara maksimal akan menjamin hak-hak semua pihak yang terlibat dalam pengadaan. Sebaliknya, pengadaan yang tidak transparan sangat berpotensi disalahgunakan. Lebih lanjut, pengadaan yang tidak transparan dapat saja menjadi ukuran tingginya tingkat kepentingan yang tidak semestinya dalam pengadaan.

Lebih lanjut, proses pengadaan yang tidak transparan menyebabkan "trust" kepada pengelola pengadaan menjadi sangat rendah sehingga akan membuat proses pengadaan mengalami banyak hambatan. Pengalaman penulis selama ini untuk meyakinkan para pengelola pengadaan bahwa proses pengadaan bersifat tidak rahasia sangat sukar untuk diterima.

Beberapa contoh perilaku yang menggambarkan tidak tepatnya pemahaman berkaitan dengan prinsip ini misalnya pengumuman yang hanya sebatas memenuhi aturan Keppres. Kita banyak menjumpai pengumuman lelang berisi informasi yang sangat tidak menggambarkan kebutuhan pengguna. Juga panitia pengadaan yang tidak mau ada orang lain (walaupun orang lain itu adalah stafnya) terlibat dalam proses evaluasi.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Rencana Pengadaan dan RPJM

Setiap kita akan memasuki tahun baru, harapannya, di tahun yang akan datang kinerja pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih baik dari tahun sebelumnya. Dalam pengadaan, kita perlu mengawali tahun baru dengan langkah-langkah persiapan pengadaan. Langkah pertama yang penting bagi pelaku usaha adalah mengumumkan rencana pengadaan kepada masyarakat luas.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 butir h dan pasal 7 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003, setiap instansi pemerintah wajib mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa setiap awal pelaksanaan tahun anggaran.

Dengan Perpres 8 Tahun 2006, pengumuman secara terbuka rencana pengadaan dilakukan melalui website pengadaan nasional yang dikoordinasi kan oleh Bappenas dengan alamat:
www.pengadaannasional-bappenas.go.id dan/atau website masing-masing instansi yang telah diintegrasikan dalam website pengadaan nasional.

Pengumuman rencana pengadaan adalah bentuk dari penjabaran prinsip transparansi kepada publik tentang kegiatan pengadaan yang akan dilaksanakan selama tahun anggaran berjalan. Dengan melihat rencana pengadaan, setiap orang dapat mengetahui paket-paket pengadaan yang ada, cara melaksanakannya apakah akan dilelang atau tidak, termasuk nilai kegiatan pengadaan di suatu instansi.

Pengumuman rencana pengadaan juga menjadi indikator pemahaman pada prinsip transparansi di instansi yang bersangkutan. Pada hakekatnya, informasi anggaran dan penggunaan nya bukanlah sesuatu yang rahasia.

Sebagaimana kita ketahui, pengadaan barang dan jasa pemerintah diharapkan juga memberi sumbangan pada aspek ekonomi makro. Kebijakan pengadaan kita menginginkan adanya manfaat ekonomi yang luas dari hasil pengadaan dengan semakin tumbuh dan berkembangnya industri dalam negeri yang kompetitif.

Kebijakan pengadaan kita juga menginginkan pengadaan memberi kesempatan yang sangat luas kepada pelaku usaha nasional, khususnya usaha kecil dan koperasi kecil.

Informasi rencana pengadaan ini sangat penting bagi pelaku usaha karena informasi paket-paket pengadan beserta nilainya adalah informasi peluang usaha bagi pelaku usaha. Semakin dini pelaku usaha mengetahui paket-paket pengadaan yang diperlukan oleh instansi pemerintah, semakin siap dunia usaha kita untuk dapat mendapat kesempatan memenangkan persaingan.

Dari kepentingan pelaku usaha, informasi rencana pengadaan di awal tahun anggaran dalam banyak kasus sesungguhnya sudah agak terlambat. Untuk kebutuhan yang tidak rutin, pelaku usaha nasional sangat memerlukan informasi rencana investasi pemerintah ke depan karena untuk dapat mengantisipasi meningkat nya belanja pemerintah untuk suatu komoditas atau barang, termasuk barang modal, dunia usaha perlu menyiapkan kemampuannya (finansial, sumberdaya manusia, maupun teknologi).

Pada tataran makro, informasi rencana pengadaan yang lebih awal dan lebih menyeluruh untuk rencana investasi pemerintah dalam jangka menengah akan meningkatkan cost eficiency belanja pemerintah sekaligus memperbaiki kapasitas suplai dalam negeri.

Apabila suplai dalam negeri tidak dibenahi atau tidak mendapat informasi yang cukup tentang investasi pemerintah secara spesifik (untuk apa saja, dengan proyek seperti apa, di mana dan dengan teknologi yang seperti apa), maka peningkatkan investasi pemerintah tidak akan dapat diantisipasi oleh industri dan usaha dalam negeri.

Dengan kata lain, industri dan usaha dalam negeri tidak akan dapat memanfaatkan peluang usaha dengan maksimal. Saya khawatir yang akan mendapat keuntungan lebih besar dari belanja pemeritah justru adalah usaha asing atau industri negara lain. Contoh yang paling baru adalah kasus impor tabung gas untuk konversi BBM.

Pada situasi suplai terbatas, tingkat persaingan yang ada tidak akan memberi harga yang menguntungkan konsumen. Bahkan, dalam banyak kasus, keterbatasan suplai membuka peluang korupsi. Akhirnya, belanja pemerintah tidak memberi manfaat yang maksimal, bagi pelayanan publik maupun bagi kepentingan dunia usaha nasional.

Di sini saya melihat perlunya indikasi kegiatan pada saat penyusunan RPJM disampaikan secara luas kepada dunia usaha.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

29/11/08

Kontrak Tahun Jamak (Multi Years Contract)

Seringkali kita dihadapkan pada situasi bahwa secara teknis dipastikan suatu pekerjaan misalnya membangun bangunan kantor 20 lantai yang tidak dapat dipecah-pecah ke dalam beberapa paket pekerjaan struktur dan memerlukan waktu pelaksanaan lebih dari satu tahun sehingga ruang lingkup kontrak yang bersangkutan akan meliputi lebih dari satu tahun anggaran.

Pada kasus seperti ini, yang memerlukan waktu pelaksanaan lebih dari 1 tahun, Keppres 80 tahun 2003 mengharuskan pekerjaan dilelangkan sebagai 1 paket lelang, walaupun anggarannya dialokasikan untuk misalnya 2 tahun anggaran.

Di sini, tidak ada alasan untuk melelangkan hanya untuk anggaran tahun pertama, sedangkan lingkup anggaran tahun berikutnya ditunjuk langsung kontraktor sebelumnya. Pada kasus ini, kontrak tahun jamak harus diterapkan. Bagaimana menjamin anggaran tahun berikutnya? Untuk itu perencanaan anggaran harus mempertimbangkan hal ini.

Pada kasus yang lain, kita sering menghadapi kebutuhan suatu barang misalnya obat untuk rumah sakit memerlukan supply yang terus menerus, yang tidak akan berhenti, atau paling tidak dalam jangka waktu tertentu yang lebih dari satu tahun tetap dibutuhkan barang tersebut. Persoalannya adalah bagaimana kebutuhan tersebut dapat dijamin terpenuhi setiap saat sesuai kebutuhan.

Untuk kasus seperti ini, salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan adalah skala kontrak dan kepastian supply. Pada umumnya skala kontrak menentukan harga terbaik yang dicapai, demikian juga kepastian supply dari kepentingan konsumen sekaligus merupakan keuntungan bagi produsen.

Bila kontrak dengan skala tertentu akan memberi tingkat harga terbaik dan skala ini menyebabkan ruang lingkup kontrak perlu lebih dari satu tahun, maka kontrak tahun jamak perlu dipikirkan untuk diterapkan, tentunya dengan tetap memperhatikan kebijakan memberi kesempatan usaha yang luas.

Pada kasus yang lain, misalnya secara teknis pelaksanaan pekerjaan harus dimulai awal musim hujan dan selesai sebelum musim kemarau, sehingga walaupun secara hari kalender pelaksanaannya tidak lebih dari 1 tahun tetapi akan melampaui akhir tahun anggaran dan meliputi dua tahun anggaran. Di sini juga harus menggunakan kontrak tahun jamak.

Pada kasus yang lain lagi, biasanya pada bulan Desember kita diingatkan bahwa batas akhir pembayaran tidak boleh melampaui tanggal 20 Desember. Padahal, antara tanggal 20-31 Desember terdapat pekerjaan yang tetap harus dilakukan yang tanggal 20, pekerjaan belum selesai dilakukan, sehingga tidak dapat dibayar dari anggaran tahun yang berjalan.

Biasanya kontrak dianggap selesai tanggal 20 Desember. Kebingungan yang sering muncul adalah bagaimana membayar kontrak yang sudah selesai dan melaksanakan pekerjaan tersebut?

Pada kasus ini, kontrak tahun jamak adalah salah satu solusi untuk memecahkan persoalan administrasi keuangan, termasuk menjawab persoalan apabila pada bulan Januari anggaran belum dapat dicairkan pembayarannya.

Kasus lain yang seringkali terjadi, suatu pekerjaan semula direncanakan selesai akhir tahun anggaran, namun karena berbagai alasan pekerjaan tidak dapat diselesaikan pada waktunya sehingga sisa pekerjaan akan melampaui tahun anggaran berjalan. Pertanyaan pertama, apakah sisa pekerjaan harus dilelangkan kembali? Kasus ini tidak dipecahkan melalui prosedur pengadaan, melainkan merupakan bagian dari pengelolaan kontrak.

Langkah yang perlu diambil oleh pembuat komitmen adalah memperpanjang kontrak sesuai kebutuhan, dan pengguna anggaran menganggarkan sisa nilai kontrak pekerjaan di tahun berikutnya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Harga Terbaik

Kita maklum bahwa tujuan pengadaan adalah mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan (volume, mutu, waktu dll) dengan harga yang terbaik agar sasaran kinerja kegiatan atau organisasi tercapai.

Dalam berbagai diskusi dengan pelaku pengadaan pemerintah selalu muncul pertanyaan berapa harga yang disebut terbaik? Apakah harga tersebut harus harga yang termurah?

Jawabannya, tergantung pada hitung-hitungan kita, apakah kebutuhan kita cukup terpenuhi dengan karakteristik minimal (jumlah, mutu, waktu dll) dari barang yang kita dapatkan.

Harga terendah

Situasi pertama, seringkali kebutuhan yang ada sudah cukup dipenuhi dengan karakteristik minimal, dan peningkatan karakteristik barang yang diperoleh tidak mempengaruhi peningkatan kinerja.

Apabila kebutuhan kita sama dengan situasi pertama, maka orientasi kita adalah mendapatkan harga terendah, termurah. Di sini menjadi tidak masuk akal bila kita ditawari barang yang sama dengan harga yang berbeda, kita memilih harga yang lebih mahal.

Cara mengevaluasi penawaran pada orientasi yang pertama ini dikenal dengan istilah sistem gugur.

Dalam praktek pelelangan selama ini, banyak dijumpai penawaran harga yang paling rendah tetapi tidak dipilih (tidak dimenangkan) dengan alasan tidak memenuhi persyaratan administrasi.

Pertanyaan yang mengganggu adalah apakah persyaratan administrasi itu sedemikian pentingnya sehingga mengorbankan tujuan pengadaan.

Menyikapi praktek tersebut, Keppres 80 Tahun 2003 menekankan bahwa hal-hal yang tidak substansial tidak boleh menggugurkan penawaran. Hal-hal yang dapat menggugurkan dari aspek administrasi penawaran perlu sangat dibatasi agar tidak kehilangan peluang memperoleh barang dengan harga yang paling menguntungkan.

Pada kasus yang lain lagi, penawaran harga yang terbaik tidak dimenangkan karena alasan tidak memenuhi aspek kualifikasi.

Untuk menjamin kinerja, selain harga, terpenuhinya persyaratan kualifikasi merupakan syarat yang menentukan keberhasilan penyedia barang melaksanakan kontraknya. Harga rendah yang ditawarkan oleh penyedia yang tidak berpengalaman sangat beresiko bagi kegiatan kita.

Seperti halnya kasus persyaratan administrasi, perumusan persyaratan kualifikasi yang tidak cermat atau berlebihan, serta memperlakukannya secara tidak realistik dalam proses evaluasinya akan menyebabkan harga yang terendah terpaksa tidak dimenangkan karena alasan tidak memenuhi syarat kualifikasi.

Untuk menyikapi hal ini, Keppres 80 Tahun 2003 menekankan perlunya menyederhanakan persyaratan dan menilainya secara azas nyata. Hal-hal yang tidak relevan dengan keperluan kita untuk meyakini aspek legalitas, kemampuan usaha dan kredibilitas pelaku usaha tidak perlu disyaratkan.

Jangan sampai akibat persyaratan yang dirumuskan suatu penawaran yang menguntungkan digugurkan padahal dalam faktanya penyedianya nyata-nyata memenuhi kualifikasi.

Harga sepadan

Situasi kedua, pada tahap kita merencanakan kebutuhan, di pasar terdapat banyak barang dengan spesifikasi dan karakteristik yang beragam. Ada barang yang berbeda mutu tetapi harganya tidak berbeda jauh, dan biasanya mutu yang lebih baik harganya lebih mahal. Pada kondisi ini kita perlu memikirkan untuk mendapat barang yang harganya sepadan dengan kualitasnya.

Bila kita berorientasi pada tujuan yang kedua ini, maka dalam pengadaan diperkenalkan metode evaluasi dengan istilah sistem nilai (merit point system). Penggunaan metode ini tidak selalu menghasilkan harga yang terendah.

Dalam praktek pelelangan banyak kasus penggunaan sistem nilai yang tidak tepat. Sistem nilai lebih tepat digunakan untuk pengadaan barang yang nyata-nyata spesifikasi dan mutu barang sudah terjadi dan dapat diukur secara kuantitatif. Sistem nilai tidak tepat digunakan untuk menilai penawaran jasa pemborongan yang masih memerlukan proses untuk mendapatkan outputnya.

Contoh kasus yang tidak tepat lainnya, penilaian dilakukan bukan pada unsur-unsur teknis melainkan pada unsur-unsur aspek kualifikasi,

Situasi lebih lanjut yaitu bila terdapat kebutuhan dalam evaluasi penawaran untuk memperhitungkan perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan serta nilai sisa suatu barang selama umur ekonomis. Untuk kebutuhan ini dikenal metode evaluasi sistem penilaian biaya selama umur ekonomis (economic life cycle cost).

Harga vs HPS

Dalam berbagai diskusi dengan panitia pengadaan, momok yang menakutkan adalah apabila harga yang diperoleh dari pelelangan lebih tinggi dari HPS, takut dituduh “markup”. Sebaliknya, bila HPS terlalu tinggi dibandingkan dengan harga penawaran hasil lelang, panitia juga takut dituduh ‘markup”.

Secara singkat, tidak ada hubungan antara HPS dan harga hasil lelang. Banyak faktor yang bekerja menentukan harga. Bila lelang kita cukup kompetitif, logikanya harga penawaran pasti di bawah HPS. Dengan demikian, bila penawaran paling rendah lebih tinggi dari HPS bisa menjadi indikasi persaingan yang tidak efektif.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

28/11/08

Pengadaan Jasa Konsultansi

Dalam pelaksanaan kegiatan, seringkali kita memerlukan layanan keahlian/ profesi yang keluarannya pada umumnya berujud non-fisik, seperti rekomendasi, nasehat, hasil survey, disain ataupun dukungan manajerial seperti pengawasan, dll. Layanan ini dikenal dengan jasa konsultansi.

Alasan kebutuhan

Jasa konsultansi pada umumnya diperlukan untuk melaksanakan sebagian fungsi user (pengguna) dengan alasan-alasan seperti:
1) Pengguna menilai akan lebih efektif dan efisien apabila lingkup pekerjaan kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan jasa konsultansi karena telah tumbuh bidang-bidang usaha profesi, misalnya jasa konsultan perencana konstruksi.
2) Pengguna memerlukan telaahan atau rekomendasi pihak ketiga untuk menjamin obyektivitas atapun karena kompetensi pihak ketiga ybs dalam mengambil keputusan strategis, misalnya jasa konsultan survey.
3) Pengguna tidak memiliki sumber daya dengan keahlian/pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan bersangkutan, sedangkan di dunia usaha sangat berkembang kebutuhan untuk bidang keahlian ybs.
4) Pengguna tidak memiliki cukup waktu untuk melaksanakan sendiri kegiatan bersangkutan.

Alasan-alasan tersebut menggambarkan berbagai situasi yang menjadi alasan perlu tidaknya kita akan jasa konsultansi. Dalam banyak hal, kebutuhan melaksanakan kegiatan tidak selalu terjawab dengan mengadakan kontrak jasa konsultansi. Ada kalanya, pengguna sudah mengetahui atau lebih mampu dalam melaksanakan kegiatan yang bersangkutan. Pada situasi ini, swakelola untuk melaksanakan pekerjaan lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan yang bersangkutan kepada penyedia jasa konsultansi.

Dengan demikian, adalah kesalahan besar apabila pengguna yang tidak memahami kebutuhan akan jasa konsultansinya maupun ruang lingkup pekerjaan yang tepat dilaksanakan oleh konsultan dan menyerahkan persoalannya kepada konsultan. Hasilnya pasti tidak menjawab persoalan pengguna.

Hal ini biasanya tercermin dalam perumusan Kerangka Acuan Kerja (KAK atau TOR), yang memuat:
1) Gambaran mengenai latar belakang kebutuhan/pekerjaan (termasuk gambaran masalah yang dihadapi), maksud dan tujuannya, termasuk gambaran dari organisasi pengguna.
2) Apa yang menjadi tujuan dan ruang lingkup pekerjaan, yang harus mencerminkan hasil dan ukuran-ukurannya.
3) Bagaimana perkiraan cara melaksanakan kegiatan dan cara mencapai hasil (metodologi).
4) Perkiraan input yang diperlukan dan dukungan yang dapat disediakan oleh pengguna, termasuk rencana pelaksanaan pekerjaan dan jumlah serta kualifikasi tenaga ahli yang harus disediakan.

RAB Jasa Konsultansi

Setelah kita dapat merumuskan TOR, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana anggaran biaya (RAB). Tahap ini memang tidak mudah karena jasa konsultansi merupakan bidang usaha yang output dan produknya pada umumnya tidak selalu dapat diukur dengan pasti.

Untuk dapat memperkiraan biaya yang perlu disediakan untuk suatu jasa konsultansi, pengguna sangat dituntut memahami betul kebutuhannya serta alternatif metodologi pelaksanaan kegiatan dan bagaimana konsultan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Secara garis besar, cara menghitung biaya jasa konsultansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) jasa konsultan yang memiliki standar output, sehingga perhitungan biaya dapat berdasarkan proporsi (persentase) tertentu dari suatu nilai, seperti perancangan bangunan gedung, pengawasan pembangunan gedung dsb, dan (2) jasa konsultansi yang belum atau tidak dapat distandarkan (non-standar), sehinga perhitungan biaya perlu didasarkan pada penggunaan tenaga ahli dalam jangka waktu pelaksanaan kegiatan termasuk biaya-biaya langsung lainnya yang timbul untuk mendukung pelaksanaan kegiatan.

Dengan demikain, kembali lagi, untuk dapat menyusun rencana biaya, syarat utama yang harus dipenuhi adalah sudah dirumuskannya KAK atau TOR yang jelas sehingga tergambar pemahaman pengguna atas kebutuhan jasa konsultansi tersebut, serta perkiraan jumlah tenaga ahli dari berbagai kualifikasi yang diperlukan.

Untuk jasa konsultansi yang standar, TOR juga menjadi acuan untuk menilai apakah usulan teknis yang ditawarkan memenuhi kebutuhan minimal dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Untuk jasa konsultan yang non-standar, TOR juga sangat penting untuk menentukan biaya personel maupun biaya langsung lainnya.

Di waktu yang lalu, dalam rangka memberi pedoman dalam penyusunan anggaran, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan pedoman kepada instansi dalam penyusunan RAB untuk pekerjaan jasa konsultansi yang masuk kategori jasa konsultan non-standar.

Pada pedoman yang dikeluarkan terakhir, tidak lagi digambarkan nilai-nilai rupiah untuk setiap kualifikasi konsultan. Sejak saat itu, pendekatan penentuan billing rate didasarkan pada harga pasar basic salary yang terjadi untuk setiap kualifikasi dan bidang industri konsultan. Bukan harga yang ditetapkan.

Dengan pendekatan ini, untuk suatu kualikasi, pada sektor industri yang berbeda pada lokasi yang berbeda pada waktu yang berbeda, basic salary bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, harga suatu keahlian yang pada hakekatnya adalah kompensasi yang harus diberikan kepada seseorang perlu didasarkan kepada nilai keahlian seseorang tersebut.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Pengadaan Jasa Konsultansi

Dalam pelaksanaan kegiatan, seringkali kita memerlukan layanan keahlian/ profesi yang keluarannya pada umumnya bukan merupakan bentuk fisik, melainkan berbentuk rekomendasi, nasehat, hasil survey, disain ataupun dukungan manajerial seperti pengawasan, dll. Layanan ini dikenal dengan jasa konsultansi.

Alasan kebutuhan

Jasa konsultansi pada umumnya diperlukan untuk melaksanakan sebagian fungsi user (pengguna) dengan alasan-alasan seperti:
1) Pengguna menilai akan lebih efektif dan efisien apabila lingkup pekerjaan kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan jasa konsultansi karena telah tumbuh bidang-bidang usaha profesi, misalnya jasa konsultan perencana konstruksi.
2) Pengguna memerlukan telaahan atau rekomendasi pihak ketiga untuk menjamin obyektivitas atapun karena kompetensi pihak ketiga ybs dalam mengambil keputusan strategis, misalnya jasa konsultan survey.
3) Pengguna tidak memiliki sumber daya dengan keahlian/pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan bersangkutan, sedangkan di dunia usaha sangat berkembang kebutuhan untuk bidang keahlian ybs.
4) Pengguna tidak memiliki cukup waktu untuk melaksanakan sendiri kegiatan bersangkutan.

Alasan-alasan tersebut menggambarkan berbagai situasi yang menjadi titik penentuan perlu tidaknya kita akan jasa konsultansi. Dalam banyak hal, kebutuhan melaksanakan kegiatan tidak selalu terjawab dengan mengadakan kontrak jasa konsultansi. Ada kalanya, pengguna sudah mengetahui atau lebih mampu dalam melaksanakan kegiatan yang bersangkutan. Pada situasi ini, swakelola untuk melaksanakan pekerjaan lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan yang bersangkutan kepada penyedia jasa konsultansi.

Dengan demikian, adalah kesalahan besar apabila pengguna yang tidak memahami kebutuhan akan jasa konsultansinya maupun ruang lingkup pekerjaan yang tepat dilaksanakan oleh konsultan menyerahkan persoalannya kepada konsultan. Hasilnya pasti tidak menjawab persoalan pengguna.

Hal ini biasanya tercermin dalam perumusan Kerangka Acuan Kerja (KAK atau TOR), yang memuat:
1) Gambaran mengenai latar belakang kebutuhan/pekerjaan (termasuk gambaran masalah yang dihadapi), maksud dan tujuannya, termasuk gambaran dari organisasi pengguna.
2) Apa yang menjadi tujuan dan ruang lingkup pekerjaan, yang harus mencerminkan hasil dan ukuran-ukurannya.
3) Bagaimana perkiraan cara melaksanakan kegiatan dan cara mencapai hasil (metodologi).
4) Perkiraan input yang diperlukan dan dukungan yang dapat disediakan oleh pengguna, termasuk rencana pelaksanaan pekerjaan dan jumlah serta kualifikasi tenaga ahli yang harus disediakan.

RAB Jasa Konsultansi

Setelah kita dapat merumuskan TOR, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana anggaran biaya (RAB). Tahap ini memang tidak mudah karena jasa konsultansi merupakan bidang usaha yang output dan produknya pada umumnya tidak dapat diukur.

Untuk dapat memperkiraan biaya yang perlu disediakan untuk suatu jasa konsultansi, pengguna sangat dituntut memahami betul kebutuhannya serta alternatif metodologi pelaksanaan kegiatan dan bagaimana konsultan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Secara garis besar, cara menghitung biaya jasa konsultansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) jasa konsultan yang memiliki standar output, sehingga perhitungan biaya dapat berdasarkan proporsi (persentase) tertentu dari suatu nilai, seperti perancangan bangunan gedung, pengawasan pembangunan gedung dsb, dan (2) jasa konsultansi yang belum atau tidak dapat distandarkan (non-standar), sehinga perhitungan biaya perlu didasarkan pada penggunaan tenaga ahli dalam jangka waktu pelaksanaan kegiatan termasuk biaya-biaya langsung lainnya yang timbul untuk mendukung pelaksanaan kegiatan.

Dengan demikain, kembali lagi, untuk dapat menyusun rencana biaya, syarat utama yang harus dipenuhi adalah sudah dirumuskannya KAK atau TOR yang jelas sehingga tergambar pemahaman pengguna atas kebutuhan jasa konsultansi tersebut, serta perkiraan jumlah tenaga ahli dari berbagai kualifikasi yang diperlukan.

Untuk jasa konsultansi yang standar, TOR juga menjadi acuan untuk menilai apakah usulan teknis yang ditawarkan memenuhi kebutuhan minimal dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Untuk jasa konsultan yang non-standar, TOR juga sangat penting untuk menentukan biaya personel maupun biaya langsung lainnya.

Di waktu yang lalu, dalam rangka memberi pedoman dalam penyusunan anggaran, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan pedoman kepada instansi dalam penyusunan RAB untuk pekerjaan jasa konsultansi yang masuk kategori jasa konsultan non-standar.

Pada pedoman yang dikeluarkan terakhir, tidak lagi digambarkan nilai-nilai rupiah untuk setiap kualifikasi konsultan. Sejak saat itu, pendekatan penentuan billing rate didasarkan pada harga pasar basic salary yang terjadi untuk setiap kualifikasi dan bidang industri konsultan. Bukan harga yang ditetapkan.

Dengan pendekatan ini, untuk suatu kualikasi, pada sektor industri yang berbeda pada lokasi yang berbeda pada waktu yang berbeda, basic salary bisa berbeda-beda.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

20/11/08

LELANG atau TIDAK LELANG

Pengadaan sebagai proses mendapatkan barang atau jasa telah memperkenalkan berbagai cara (metode) dalam upaya mendapatkan barang atau jasa dengan harga yang terbaik (dari sisi konsumen), sesuai kebutuhan, baik dari sisi kualitas, kepastian waktu memperolehnya maupun volumenya.

Metode tersebut dikenal dengan lelang. Di dalam aturan kita (Keppres 80 Tahun 2003) diperkenalkan metode-metode: Pelelangan Umum dan Pelelangan Terbatas.

Pelelangan dalam pengadaan publik merupakan metode memilih penyedia yang paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik. Harga adalah salah satu tujuan penting dalam pengadaan.

Lebih dari pada itu, pelelangan adalah metode yang paling menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil. Hal ini sudah menjadi perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Selanjutnya dengan menggunakan metode pelelangan pengelola pengadaan menjadi lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan hasil pengadaan, termasuk mempertanggung jawabkan harganya. Hal ini yang kemudian menjadi pokok persoalan agar proses yang dilakukan dijamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Namun demikian, pada dasarnya tidak setiap situasi memungkinkan dilaksanakannya proses pelelangan. Hal ini perlu digarisbawahi, karena ada persepsi bahwa proses pengadaan yang tidak melalui lelang langsung dianggap salah.

Situasi pertama, apabila penanganan memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, maka menjadi tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi kedua, pelelangan juga tidak akan efektif apabila diketahui dengan pasti bahwa hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita.

Pengertian satu penyedia tidak harus diartikan di dunia ini hanya ada satu penyedia. Situasi satu penyedia dapat muncul karena faktor lokasi, waktu, volume kebutuhan, spesifikasi dll.

Di samping itu, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu, untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, dan dari sisi waktu dan biaya menjadi tidak sebanding apabila diproses secara pelelangan, maka diperlukan metode yang lain, tanpa mengurangi akuntabilitas.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 dituntut harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.

Ketentuan dalam Keppres 80 Tahun 2003, penentuan apakah pengadaan dapat diproses dengan lelang atau tidak adalah hasil penilaian dan keputusan Panitia Pengadaan bersama-sama dengan pejabat pembuat komitmen. Panitia Pengadaan adalah pihak yang paling kompeten untuk dapat menentukan apakah kebutuhannya mendesak atau tidak, penyedianya satu atau banyak.

Dalam banyak kasus selama ini, Panitia Pengadaan sering dihadapkan pada situasi yang serba salah karena penugasan yang diberikan kepadanya tidak memberi waktu yang cukup untuk memproses lelang. Bukan karena kondisi yang mendesak, tetapi lebih karena terdesak waktu (habis waktu).

Di sini perlunya kerjasama yang baik antara Panitia Pengadaan dengan pemilik/penanggung jawab kegiatan. Penanggung jawab kegiatan perlu menyadari bahwa proses pengadaan yang benar memerlukan waktu minimal 18 hari kerja, sehingga penugasan kepada panitia perlu diberikan jauh-jauh hari sebelumnya.

Oleh karena itu, rencana pengadaan yang tersusun dengan cermat pada saat penyusunan rencana kegiatan dan anggaran, sudah dijadwal kapan harus mulai pengumuman, besarnya jumlah dan nilai paket pengadaan, akan membantu Panitia untuk mendapatkan penawaran yang sebanyak-banyaknya sehingga diperoleh harga yang terbaik.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

14/11/08

Menyederhanakan proses lelang

Sampai hari ini kita masih menjumpai pendapat bahwa proses lelang tidak sederhana dan memakan waktu lama, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa proses lelang tidak efektif karena tidak menjamin keinginan pengguna memperoleh barang/jasa yang sesuai.

Terdapat beberapa pilihan prosedur yang dapat dipilih Panitia Pengadaan berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 untuk menyederhanakan proses lelang.

Prosedur tersebut adalah prosedur pelelangan umum secara pasca kualifikasi, yang baru diperkenalkan mulai Keppres 80 Tahun 2003 sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur lelang. Secara sederhana prosedur ini meliputi 8 tahapan, yaitu:
1. Pengumuman pelelangan;
2. Pendaftaran calon peserta lelang
3. Pengambilan dokumen lelang, penjelasan dokumen dan perubahan-perubahannya;
4. Pemasukan penawaran;
5. Pembukaan penawaran dan evaluasi penawaran termasuk penilaian kualifikasi;
6. Penetapan dan pengumuman pemenang;
7. Masa sanggah;
8. Penunjukan pemenang..

Pengumuman pada pelelangan sangat penting, sehingga diatur agar pelelangan diumumkan secara luas di surat kabar nasional dan provinsi bila nilai pengadaan di atas Rp. 1 milyar, dan cukup di surat kabar provinsi untuk nilai pengadaan di bawah Rp. 1 milyar.

Kemudian, isi pengumuman harus menjelaskan ruang lingkup, nilai pengadaan dan persyaratan penting yang harus dipenuhi pelaksana pekerjaan sehingga penyedia dapat menilai pekerjaan yang dilelangkan, termasuk alamat Panitia Pengadaan, jadwal pendaftaran dan tempat pelelangan. Yang juga penting adalah pengumuman harus memberi cukup waktu sehingga akan banyak penyedia yang mendaftar.

Setelah diumumkan, semua pelaku usaha yang berminat dapat mendaftar dan tidak boleh dihalangi untuk mendaftar serta mengambil dokumen lelang. Pada tahap ini dokumen lelang harus sudah ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Untuk mempermudah para pengelola pengadaan menyusun dokumen, Bappenas telah menerbitkan Model Dokumen Pengadaan yang dapat di-download dari website Bappenas maupun website LKPP.

Proses selanjutnya adalah penjelasan oleh Panitia Pengadaan. Acara ini dimaksudkan untuk memberi informasi yang lebih jelas kepada calon peserta lelang. Untuk mengurangi kerepotan, pada acara ini sebaiknya tidak mengubah dokumen lelang, termasuk mengubah persyaratan kualifikasi dan teknis. Namun demikian, apabila terdapat perubahan yang diperlukan, maka perlu dilakukan addendum dokumen lelang. Acara ini tidak wajib dihadiri calon peserta lelang, namun wajib dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan, sehingga calon peserta yang tidak hadir tidak boleh digugurkan keikut sertaannya.
Tahap berikutnya adalah pemasukan penawaran. Untuk ini, Keppres 80 Tahun 2003 memberi 3 (tiga) alternatif metode, yaitu:
1. Metode Satu Sampul;
2. Metode Dua Sampul;
3. Metode Dua Tahap.

Pada Metode Satu Sampul proposal teknis, proposal harga dan persyaratan administrasi disampaikan dalam satu sampul. Pada saat pembukaan penawaran, baik proposal teknis maupun proposal harga akan dibuka bersamaan dan ditunjukkan kepada semua peserta lelang yang hadir. Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan dapat digunakan untuk sebagian besar proses pelelangan.

Tahap selanjutnya adalah pembukaan dan evaluasi penawaran. Keppres 80 Tahun 2003 memberi 3 pilihan sistem evaluasi yaitu:
1. Sistem Gugur;
2. Sistem Nilai;
3. Sistem Penilaian Biaya selama Umum Ekonomis.

Sistem Gugur adalah evaluasi yang akan menghasilkan kesimpulan bahwa harga terbaik (yang menang) adalah harga yang paling rendah (paling murah) di antara barang/jasa yang secara teknis memenuhi syarat (responsif).

Sistem Nilai adalah evaluasi yang akan menghasilkan kesimpulan bahwa harga terbaik (yang menang) adalah harga yang sepadan dengan karakteristik teknis dari barang/jasa yang ditawarkan.

Di antara 3 (tiga) pilihan tersebut, Sistem Gugur adalah sistem evaluasi yang paling sederhana dan mudah.

Kesederhanaan proses lelang secara pascakualifikasi akan tercipta hanya manakala dipilih metode Satu Sampul pada penyampaian dokumen dan Sistem Gugur pada sistem evaluasinya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Harga Bersaing dan Kualitas Pekerjaan

Salah satu tujuan pengadaan adalah mendapatkan harga terbaik. Harga terbaik dalam banyak kondisi adalah harga yang serendah-rendahnya.
Sementara ini, berkembang beberapa pemahaman yang keliru bahwa harga yang rendah dianggap cenderung mengabaikan mutu pekerjaan. Atau harga yang rendah dinilai meningkatkan resiko kegagalan kontrak maupun kegagalan pekerjaan. Harga yang rendah atau istilah yang sering digunakan adalah banting-bantingan juga dipahami pula sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat.
Dalam pengadaan, tujuan mendapat harga terbaik, mengurangi resiko kegagalan kontrak, atau menciptakan persaingan yang sehat bukanlah hal-hal yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Potensi kegagalan kontrak atau potensi berkurangnya kualitas pekerjaan tidak berkaitan dengan harga yang rendah kecuali penawaran tersebut dari penyedia yang tidak kredibel dan tidak memiliki kemampuan.
Harga yang rendah juga bukan indikator terjadinya persaingan yang tidak sehat, kecuali apabila penawaran harga yang rendah oleh satu unit usaha secara terus menerus telah mematikan pesaing-pesaingnya.

Sebagaimana dimaklumi, proses pengadaan pada akhirnya akan menghasilkan kontrak dengan penyedia barang yang esensinya adalah kesepakatan para pihak akan kewajiban penyedia barang untuk memberikan barang atau menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan kepada pengguna barang (PPK).
Adanya kontrak (perjanjian) pada kenyataannya seringkali tidak cukup menjamin bahwa penyedia barang akan menyediakan barang sesuai dengan kontrak. Kontrak dengan penyedia yang benar (dapat dipercaya, memiliki kemampuan dan pengalaman panjang melaksanakan pekerjaan dengan kompleksitas yang sama) akan lebih menjamin terlaksananya pekerjaan.
Oleh karena itu, dalam proses pengadaan, pada prinsipnya penyedia yang menawar diharapkan adalah penyedia yang diyakini mampu dan dapat dipercaya. Dengan pemahaman ini maka kita perlu menilai kualifikasi penyedia sehingga suatu penawaran diyakini dilakukan oleh penyedia yang memiliki kemampuan dan kredibel.
Secara umum, Keppres 80 Tahun 2003 mengatur bahwa penyedia yang akan melaksanakan pekerjaan (berkontrak dengan pengguna) harus:
a. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa;
b. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
c. secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak;
Ketentuan persyaratan tersebut untuk memastikan bahwa kontrak pengguna dengan penyedia dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan dapat dituntut secara perdata apabila pihak penyedia tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk memastikan kredibilitas dan kemampuan penyedia maka perlu dirumuskan ukuran persyaratan berkaitan dengan:
a. dimilikinya suatu keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa;
b. dimilikinya sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
Secara sederhana untuk memastikan hal tersebut, kita perlu melihat pengalaman sejenis (sifatnya sama) dengan kompleksitas yang sama. Untuk menyederhanakan rumusan, Keppres 80 Tahun 2003 memperkenalkan istilah dan ukuran KD atau kemampuan dasar.
Namun demikian, ukuran KD yang diperkenalkan dalam Keppres 80 Tahun 2003 harus disikapi dengan cermat untuk tidak menghalangi persaingan usaha dan lebih jauh mengurangi kesempatan memperoleh harga yang lebih baik dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi.
Di samping itu, sampai hari ini, kita masih sering menghadapi penyedia yang tidak professional. Untuk mendorong profesionalitas penyedia, maka apabila suatu perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 4 tahun tidak memperoleh pekerjaan baik di pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, maka perusahaan yang bersangkutan tidak boleh dikontrak menjadi penyedia. Demikian pula mekanisme black list, alamat tetap, serta pemenuhan kewajiban perpajakan tahun terakhir.
Ringkasnya, tahap penilaian kualifikasi penyedia yang dengan benar dilakukan akan menghilangkan resiko kegagalan kontrak (termasuk kualitasnya) walaupun penawaran harga sangat rendah.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Etika Pengadaan

Etika Pengadaan

Pada tanggal 26 Juni 2008 telah diselenggarakan Simposium yang ke 3 Ahli Pengadaan Nasional. Pada Simposium ke 2 yang lalu (Desember 2007) disepakati untuk membentuk asosiasi atau perhimpunan profesi ahli pengadaan, sehingga pada Simposium ke 3 ini juga dilaksanakan konggres ahli pengadaan yang pertama.

Dengan mengambil tema meningkatkan profesionalisme para pengelola pengadaan di Indonesia, asosiasi atau perhimpunan profesi ini diharapkan dapat menjadi wadah yang berguna bagi seluruh anggotanya untuk dapat aktif mengembangkan bidang pengadaan barang/jasa di Indonesia. Sementara ini disepakati bahwa keanggotaan asosiasi/perhimpunan ini adalah ahli pengadaan yang telah bersertifikat keahlian dari Kementerian PPN/Bappenas (cq Tim Pengembangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (sekarang LKPP).

Sebagai suatu profesi, bidang pengadaan menuntut adanya suatu standar perilaku yang mencerminkan integritas, independensi, tanggung jawab dan kesungguhan pelaku dalam melaksanakan proses dan tugas pengadaan.

Selama ini, standar perilaku yang diinginkan tertuang dalam pasal 5 Keppres 80 Tahun 2003. Dasar-dasar etika ini pasti disampaikan dalam setiap pelatihan atau sosialisasi selama ini.

Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadaan, bisa pimpro, PPK, Panitia Pengadaan, termasuk penyedia barang/jasa, diharuskan mematuhi etika sebagai berikut :
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;

b. bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;

c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;

d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak;

e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa (conflict of interest);

f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/ jasa;

g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;

h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Rasanya, penerapan etika tersebut memerlukan aktualisasi yang lebih mekanistik, sehingga bagi siapapun yang melanggar etika akan dapat dikenai sanksi profesi dan harus dikeluarkan dari lingkungan profesinya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Pengorganisasian Pengadaan dan Kompetensi Personil

Pengadaan barang/jasa di organisasi manapun selalu mendapat perhatian khusus. Banyak pertimbangan sehingga dalam banyak contoh fungsi pengadaan dilaksanakan secara terpisah dengan fungsi operasi.

Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Perpres No. 8 Tahun 2006, dalam pengelolaan pengadaan diperkenalkan istilah Panitia Pengadaan, Unit Layanan Pengadaan dan Pejabat Pengadaan. Ketiga model organisasi ini ditujuan untuk berbagai alasan.

Panitia Pengadaan adalah bentuk organisasi pengadaan yang utama dalam Keppres 80 karena untuk semua pengadaan wajib dibentuk panitia pengadaan. Namun, implikasi dari pilihan model ini, jumlah personel pengelola pengadaan yang dibutuhkan secara nasional akan sangat besar karena adanya kecenderungan setiap kegiatan (termasuk kegiatan operasional) akan membentuk panitia pengadaan.

Berdasarkan Perpres 8 mulai diperkenalkan unit layanan pengadaan yang dapat dibentuk oleh Pengguna Anggaran, Gubernur, Bupati, Walikota dll untuk melaksanakan semua pengadaan di instansinya. Pilihan model ini akan mengurangi kebutuhan personel pengadaan, karena hanya dibutuhkan 5-7 orang yang bertanggungjawab pada pelaksanaan pengadaan dengan dukungan lebih besar. Pilihan model ini juga sangat menguntungkan dari sisi terakumulasinya pengetahuan dan pengalaman, sehingga kesalahan proses maupun teknis dapat diperbaiki pada pengadaan selanjutnya.

Oleh karena itu, semua pihak perlu mendorong pembentukan Unit Layanan Pengadaan, terutama menghadapi kendala terbatasnya personel yang diyakini memahami pengadaan.

Sebagaimana diketahui, pengelola memiliki tugas:
a. menyusun jadual dan menetapkan cara pelaksanaan serta lokasi pengadaan;
b. menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS);
c. menyiapkan dokumen pengadaan;
d. mengumumkan pengadaan barang/jasa melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan jika memungkinkan melalui media elektronik;
e. menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi;
f. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk;
g. mengusulkan calon pemenang;
h. membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada pengguna barang/jasa.

Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, seseorang dapat diangkat sebagai pengelola pengadaan apabila ybs:
1. memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
2. memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;
3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan yang bersangkutan;
4. memahami isi dokumen pengadaan/ metoda dan prosedur pengadaan;

Dengan tugas-tugas dan tuntutan seperti di atas, diperkenalkan sistem sertifikasi untuk pengelola pengadaan yang ditujukan untuk mengukur kompetensi dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan mengacu kepada kerangka SKKNI (BNSP), unit-unit kompetensi yang dapat dikembangkan akan meliputi 19 (sembilan belas) unit kompetensi, yaitu:
1. Melakukan pengadaan sederhana;
2. Menata asset;
3. Mengadakan barang dan jasa;
4. Menentukan kebutuhan barang dan jasa;
5. Menyusun permintaan penawaran;
6. Menerima dan memilih penawaran;
7. Menatausahakan kontrak;
8. Mengelola resiko kontrak
9. Menentukan pengaturan pengelolaan kontrak;
10. Mengelola pencapaian kinerja kontrak;
11. Menyelesaikan kontrak;
12. Memimpin pengelola kontrak;
13. Melepaskan aset strategis;
14. Merencanakan pengadaan barang/aset yang strategis;
15. Mengatur pengadaan barang/aset yang strategis;
16. Menegosiasi pengadaan barang/aset yang strategis;
17. Menentukan arah kebijakan pengadaan barang/aset yang strategis;
18. Menentukan konteks pengadaan;
19. Mengevaluasi dan memperbaiki kinerja pengadaan.

Apabila dicermati tugas-tugas pengelola pengadaan di atas serta arah kebijakan pengembangan SDM pengadaan, maka sertifikasi yang saat ini dilaksanakan di bawah koordinasi Bappenas barulah tahap awal untuk masuk ke dalam SKKNI yang diatur oleh BNSP.

Hasil dari pelaksanaan sertifikasi yang saat ini telah memberi gambaran tantangan peningkatan kompetensi di bidang pengadaan.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

30/10/08

Tantangan membangun e-procurement

Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis wilayah negara kesatuan Republik Indonesia menciptakan banyak tantangan dalam pengadaan.

Tantangan pertama adalah terbatasnya akesibilitas kepada informasi kebutuhan dan ketersediaan barang dan jasa di pasar. Pelaku usaha penyedia barang atau produsen barang tidak cukup mendapat informasi instansi yang memerlukan barang dan jasa. Sebaliknya, instansi sebagai konsumen tidak mendapat infomasi yang memadai mengenai ketersediaan barang dan jasa oleh pelaku usaha. Persoalan ini memerlukan strategi pengembangan satu sistem yang memungkinkan bertemunya dua sisi kepentingan tersebut. Bappenas telah mengarahkan penggunaan sistem pengadaan yang berbasis internet dan DETIKNAS telah memutuskan untuk hanya dibangunnya satu sistem pengadaan secara elektronik.

Belum berkembangkan infrastruktur komunikasi yang memungkinkan ketersediaan informasi supply-demand pada pasar pengadaan telah menciptakan pasar yang terfragmentasi berdasarkan wilayah-wilayah geografis bahkan cenderung terfragmentasi berdasarkan wilayah administrasi. Kondisi ini memerlukan strategi pengembangan e-proc yang mengarah kepada pemanfaatan semua infrastruktur yang sudah terbangun digunakan secara maksimal bersama-sema dengan sistem yang lain, termasuk digunakan secara bersama oleh berbagai instansi pusat dan daerah.

Pemanfaatan infrastruktur yang tidak tersekat-sekat berdasarkan wilayah administrasi, wilayah kewenangan maupun wilayah geografis akan menghasilkan tingkat efisiensi yang luar biasa. Pada gagasan ini, maka infrastruktur informasi dan komunikasi yang dibangun oleh misalnya Depkeu, dapat dimanfaatkan oleh semua instansi pusat dan daerah. Demikian pula misalnya apabila di suatu wilayah yang sudah berkembang adalah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah daerah, maka infrastruktur tersebut harus dimungkinkan dimanfaatkan oleh instansi pusat dan daerah.

Pada tahap awal pembangunan kesistemannya dan keterbatasan infrastruktur sebelum secara nasional seluruh informasi berkaitan dengan pasar pengadaan dapat diintegrasikan, maka inisiatif-insiatif pemerintah daerah perlu didorong membangun pusat-pusat layanan pengadaan secara elektronik yang memfasilitasi transaksi pengadaan. Untuk itu, perlu dibangun mind set yang dapat diterima oleh pemerintah daerah dalam era otonomi saat ini. Pendekatan participatory yang bersifat memberi dukungan dan empowering semua pihak diyakini lebih efektif secara operasional dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat instruksional maupun pengaturan.

Saat ini, antusiasme para pengelola pengadaan sangat beragam. Sebagian yang enggan terhadap e-proc ada kemungkinan disebabkan oleh tingkat ketrampilan dan pengetahuannya mengelola komputer, termasuk dari dunia usaha. Sebagian besar pengelola pengadaan tidak memiliki ketrampilan yang cukup mengoperasikan komputer atau belum terbiasa dengan teknologi komputer. Untuk itu, keterlibatan semua institusi pendidikan untuk mempercepat penguasaan ketrampilan pengelola pengadaan maupun pelaku usaha perlu sangat didorong. Semua lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah komputer perlu didorong dapat menjadi pusat pelatihan mengoperasikan penggunaan e-procurement.

Dunia pengadaan pemerintah, harus diakui sampai saat ini hanya dikuasi oleh sebagian kecil pelaku usaha. Di antara pelaku usaha yang secara tradisional menguasi peluang pasar pengadaan, sebagian besar pasti akan berkurang dominasinya pada pasar pengadaan apabila kesempatan akses kepada pasar pengadaan menjadi lebih terbuka. Dengan kata lain, dengan penggunaan e-procurement dipastikan akan muncul resistensi dari kelompok pelaku usaha yang akan berkurang dominasinya. Kesadaran pada kepentingan masyarakat luas perlu dibangun melalui kampanye publik yang intensif.

Di samping itu, juga harus diakui bahwa dunia pengadaan kita masih belum cukup transparan dan bebas dari berbagai kepentingan pribadi atau kelompok. Titipan dan tekanan kepada panitia pengadaan masih menjadi momok bagi pengelola pengadaan. Situasi ini pasti juga akan memberi tantangan tersendiri karena dengan e-procurement sebagian besar proses pengadaan digantikan dengan proses elektronik. Dengan proses ini maka peluang untuk memanipulasi proses pengadaan menjadi berkurang. Masyarakat dapat dengan mudah menilai setiap keputusan dalam proses pengadaan. Untuk itu, ada strategi untuk menempatkan peran LSM dalam mengawal proses pengadaan yang transparan.

Berkaitan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda saat ini, mari kita membangun e-procurement dengan semangat: satu nusa-satu bangsa-satu bahasa.

Salam
Ikak G. Patriastomo

19/10/08

Persaingan Usaha yang Sehat

Seperti halnya belanja yang kita lakukan, pengadaan barang atau jasa publik dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat pada prinsipnya harus berorientasi untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga yang terbaik (harga termurah atau sepadan), jumlah dan mutu yang sesuai kebutuhan, serta tepat waktu. Agar keinginan ini dapat tercapai maka pasar harus diatur agar kita sebagai konsumen memiliki peluang untuk memilih barang yang ditawarkan oleh sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang saling bersaing.

Pada sisi yang lain, pelaku usaha melihat kebutuhan belanja akan barang dan jasa (termasuk belanja pemerintah) merupakan peluang pasar. Semua pelaku usaha akan berkeinginan untuk menguasai peluang pasar yang ada sehingga memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Agar keinginan ini juga tercapai maka pasar harus diatur agar semua pelaku usaha terbuka peluangnya untuk ikut persaingan dalam memperebutkan peluang pasar yang ada. Dengan demikian, setiap pelaku usaha akan terdorong untuk terus meningkatkan daya saingnya agar dapat memanfaatkan peluang pasar yang ada.

Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, kedua keinginan ini perlu diatur agar konsumen tidak berkurang peluangnya untuk mendapatkan barang yang sesuai, dan agar semua pelaku usaha tidak berkurang kesempatannya memperoleh akses yang sama.

Pada situasi yang berbeda, proses pengadaan juga perlu diatur untuk mengantisipasi kecenderungan melaku-kan praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat dan memonopoli pasar.

Di sisi konsumen, situasi menjadi kritis pada saat pihak yang melakukan belanja bukanlah konsumen yang langsung berkepentingan atau yang memiliki uang belanja, seperti belanja oleh korporasi atau instansi pemerintah. Pada situasi ini, pihak yang belanja dapat berpotensi menciptakan praktek persaingan yang tidak sehat dengan tujuan untuk mendapat keuntungan pribadi dari belanja yang dilakukannya, dengan mengadakan persekongkolan dengan pelaku usaha, dan menutup peluang bagi pelaku usaha yang lain. Hal ini dikenal sebagai persekongkolan vertikal.

Kasus korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan dan dimulai dengan persekongkolan seperti ini. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi dapat dilakukan karena pelaku usaha bersedia bersekongkol dengan pihak yang melakukan belanja. Demikian pula sebaliknya. Di sini, terdapat hubungan yang sangat erat antara tindak pidana korupsi dengan praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

Di sisi pelaku usaha, akan terdapat kecenderunagn pelaku usaha menguasai pasar sepenuhnya, termasuk meniadakan pesaingnya atau bersama-sama pelaku usaha pesaingnya mengatur pasar. Pada situasi ini, praktek persaingan usaha tidak sehat tidak melibatkan pihak yang belanja, dan dikenal sebagai persekongkolan horisontal.

Antisipasi terhadap kecenderungan tersebut maka dalam pengembangan konsep pengaturan pengadaan barang dan jasa di sektor publik diperkenalkan prinsip terbuka dan bersaing yang berarti proses pengadaan harus dijamin dapat diikuti oleh sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang berminat dan tercipta persaingan sehat yang efektif.

Larangan persaingan usaha tidak sehat dalam pengadaan secara eksplisit telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-undang ini, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang pengadaan sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Praktek yang dapat dikategorikan persekongkolan pengadaan antara lain :
a. Kerjasama dua pihak atau lebih untuk mengatur dan/atau menentu kan pemenang pengadaan.
b. Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya.
c. Membandingkan dokumen penga daan sebelum penyerahan.
d. Menciptakan persaingan semu.
e. Menyetujui dan atau menfasilitasi terjadinya persekongkolan.
f. Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenang kan peserta lelang tertentu.
g. Pemberian kesempatan ekslusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti pelelangan dengan cara melawan hukum.

Dengan demikian, dalam pengadaan terdapat dua UU yang secara langsung mengatur yaitu UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Membangun Trust

Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah ada sinyalemen “takut jadi panitia?”. Mungkin bukan takut tetapi enggan, karena tugas ini menyita banyak waktu dan tenaga, dan di lain pihak insentif untuk menjadi panitia tidak cukup untuk memotivasi seseorang.

Gejala ini perlu dimaklumi oleh semua pihak bukan untuk membela diri panitia melainkan untuk dapat berempati kepada para pengelola pengadaan.

Kalangan profesi dan praktisi pengadaan sangat memaklumi bahwa proses pelelangan bukanlah proses yang sederhana sehingga dituntut dilaksanakan oleh personil yang kredibel, memiliki integritas, motivasi, kompetensi memadai dan kinerja yang baik.

Karena tuntutan ini tidak terpenuhi maka kemudian seringkali proses penunjukan langsung (PL) menjadi sangat disukai karena prosesnya menjadi sangat mudah, semua bisa diatur, semua kekurangan yang ada dapat dinegosiasikan. Bahkan, kalaupun pelelangan diumumkan secara terbuka, seringkali peserta dikumpulkan untuk diatur siapa yang akan dimenangkan (lelang secara arisan).

Tentunya proses PL atau lelang arisan tersebut akan menyebabkan tujuan pengadaan, yaitu mendapatkan penawaran yang terbaik tidak tercapai, termasuk sesungguhnya tidak mudahnya mempertanggung jawabkan hasil pengadaan (dan harga). Proses PL ini mudah ditunggangi oleh kepentingan untuk memperkaya diri (korupsi).

Di masyarakat (hal ini menurut saya yang berbahaya), akibat dari kebiasaan tersebut, masyarakat menjadi skeptis terhadap proses pengadaan. Masyarakat menjadi tidak percaya apakah ada proses lelang yang benar-benar fair. Sehingga, walaupun pengelola pengadaan mengumumkan lelang, saat ini masyarakat dunia usaha masih ragu untuk mengajukan penawaran karena tidak yakin bahwa pelelangan akan fair. Kepercayaan masyarakat sangat rendah karena kebiasaan tersebut.

Saat ini, situasi distrust ini merupakan tantangan yang tidak sederhana bagi panitia pengadaan. Banyak kasus proses pelelangan yang diwarnai dengan kondisi saling curiga dan saling tuduh bahwa terjadi KKN.

Banyaknya sanggahan, sanggahan banding dan pengaduan yang menjadi menu sehari-hari yang hampir selalu ada dalam proses pelelangan adalah indikator masalah tersebut. Akibatnya, proses lelang menjadi tidak efisien, melelahkan dan tujuan utama menjadi terlupakan.

Perlunya membangun trust dalam proses pelelangan ini perlu menjadi isu yang ditonjolkan. Dalam Keppres 80 Tahun 2003 telah terdapat beberapa instrument yang dapat digunakan oleh pengelola pengadaan untuk menunjukkan adanya niat baik dan integritas pengelolaan pengadaan.

Pakta Integritas adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pengelola pengadaan bertekad menjaga integritas proses dan dirinya. Tentunya, di pihak peserta pelelangan juga dituntut hal yang sama.

Walaupun demikian, niat baik dalam proses pelelangan masih juga belum pasti membuahkan hasil sebagaimana diinginkan apabila prosedurnya sangat panjang, sifatnya sangat formal dan melibatkan aktivitas administrasi yang banyak. Dalam situasi ini proses lelang menjadi tidak efisien bila diterapkan untuk nilai pengadaan yang relatif kecil dan sederhana.

Untuk itu, prosedur pelelangan secara pascakualifikasi yang dibarengi dengan penyederhanaan syarat administrasi dapat menjadi instrument berikutnya. Pada prosedur ini, penilaian pemenuhan persyaratan kualifikasi dilakukan setelah diperoleh penawaran terendah yang responsif. Persaingan yang fair lebih dimungkinkan.

Persyaratan administrasi sendiri lalu dibatasi hanya terdiri dari surat penawaran, jaminan penawaran, daftar kuantitas dan harga satuan (bila kontraknya harga satuan), analisa harga satuan, copy bukti SPT dan setoran pajak. Sedangkan, persyaratan kualifikasi secara tegas disebutkan pada Pasal 11 Keppres 80 Tahun 2003, dan panitia pengadaan dilarang menambah nambah persyaratan.

Di lapangan, persyaratan administrasi dan bukti terpenuhinya persyaratan kualifikasi sering salah tempat. Dokumen untuk persyaratan kualifikasi seringkali ditempatkan sebagai syarat administrasi. Padahal sifat dan maksud penggunaannya berbeda.

Untuk itu, Bappenas bersama-sama dengan instansi terkait menyiapkan Model Dokumen Pengadaan yang dapat di download dari website: www.pengadaannasional-bappenas.go.id. Mudah-mudahan dapat membantu mempermudah kita semua.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Visi Pengadaan

Belanja pemerintah dalam APBN maupun APBD yang akan dilaksanakan melalui pengadaan setiap tahunnya akan mencapai nilai lebih dari Rp. 360-400 trilyun. Dengan anggaran sebesar ini, kita akan berpotensi kehilangan Rp. 70-80 trilyun apabila kinerja pengadaan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bisa dibayangkan, dengan Rp. 80 trilyun, berapa banyak infrastruktur yang dapat dibangun, atau berapa banyak sekolah dapat diperbaiki. Kalau tidak salah hanya perlu Rp. 1,2 trilyun untuk membenahi Jakarta agar tidak banjir yang diminta DKI..

Di sini perlu dukungan semua pihak agar masyarakat tidak kehilangan manfaat sebesar Rp. 80 trilyun dalam proses pengadaan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah perlunya perhatian dari semua pejabat di berbagai tingkatan untuk mengevaluasi kembali kinerja pengadaan di unit kerjanya. Pada tahap ini idealnya semua kontrak dilihat satu persatu untuk melihat unit cost yang terjadi dalam kontrak. Di tingkatan yang lebih tinggi, unit cost dapat dibandingkan antara unit kerja yang satu dengan yang unit kerja yang lain. Dapat dipastikan bahwa akan menghasilkan gambaran unit cost yang berbeda-beda. Biasanya, kawan-kawan di pengawasan intern melihat hal ini.

Evaluasi kita selama ini, unit cost pengadaan kita rata-rata lebih tinggi dari harga pasar (20%). Angka ini menunjukkan ada yang salah dengan pengadaan kita. Bila kita dapat mengupayakan pengadaan yang sesuai harga pasar saja, ada tambahan manfaat sebesar Rp. 80 trilyun bagi masyarakat.

Di kalangan profesi dan praktisi pengadaan, proses pengadaan yang memungkinkan memperoleh harga pasar apabila pengadaan dilakukan melalui pelelangan. Namun juga dimaklumi bahwa lelang bukanlah proses yang sederhana sehingga dituntut dilaksanakan oleh personil yang kredibel, memiliki integritas, motivasi, kompetensi memadai dan kinerja yang baik.

Pada saat SDM pengelola pengadaan yang kompeten sangat terbatas, proses pengadaan dengan pelelangan menjadi semakin rumit persoalannya. Maka kemudian muncul kecenderungan untuk memilih proses penunjukan langsung (PL). Sehingga kalau di forum-forum yang muncul selalu pertanyaan di sekitar kriteria PL. Ini menunjukkan PL masih sangat disukai karena prosesnya menjadi sangat mudah, semua bisa diatur, semua kekurangan yang ada dapat dinegosiasikan.

Tentunya proses PL tidak ideal untuk mencapai tujuan pengadaan, yaitu mendapatkan penawaran yang terbaik tidak tercapai, termasuk sesungguhnya tidak mudahnya mempertanggung jawabkan hasil pengadaan (dan harga). Proses PL ini (untuk pekerjaan nilai besar) mudah ditunggangi oleh kepentingan untuk memperkaya diri (korupsi).

Oleh karena itu, sesungguhnya wajar bila di masyarakat (hal ini menurut saya yang berbahaya) berkembang logika bahwa PL sama dengan korupsi.

Kesimpulan pertama, aspek SDM pengelola pengadaan perlu diperhatikan, perlu dilatih agar meningkat.

Pengelola pengadaan yang kompeten dan kredibel akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada birokrasi. Sampai sekarang, masyarakat masih skeptis terhadap proses pengadaan. Masyarakat, khususnya dunia usaha masih belum percaya apakah ada proses lelang yang benar-benar fair. Sehingga, walaupun pengelola pengadaan mengumumkan lelang, pelaku usaha masih ragu untuk mengajukan penawaran. Dengan demikian, jumlah penawaran masih terbatas dari antara pelaku usaha yang selama ini terlibat dengan pengadaan pemerintah. Sebagian besar pelaku usaha (95%) tidak terdorong untuk mengikuti pelelangan.

Situasi distrust ini merupakan tantangan yang tidak sederhana bagi panitia pengadaan. Banyak kasus proses pelelangan yang diwarnai dengan kondisi saling curiga dan saling tuduh bahwa terjadi KKN.

Banyaknya sanggahan, sanggahan banding dan pengaduan yang menjadi menu sehari-hari yang hampir selalu ada dalam proses pelelangan adalah indikator masalah tersebut. Akibatnya, proses lelang menjadi tidak efisien, melelahkan dan tujuan utama menjadi terlupakan.

Perlunya membangun trust dalam proses pelelangan ini perlu menjadi isu yang ditonjolkan. Dalam Keppres 80 Tahun 2003, Pakta Integritas adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pengelola pengadaan bertekad menjaga integritas proses dan dirinya. Tentunya, di pihak peserta pelelangan juga dituntut hal yang sama.

Salam:
Ikak G. Patriastomo