30/10/08

Tantangan membangun e-procurement

Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis wilayah negara kesatuan Republik Indonesia menciptakan banyak tantangan dalam pengadaan.

Tantangan pertama adalah terbatasnya akesibilitas kepada informasi kebutuhan dan ketersediaan barang dan jasa di pasar. Pelaku usaha penyedia barang atau produsen barang tidak cukup mendapat informasi instansi yang memerlukan barang dan jasa. Sebaliknya, instansi sebagai konsumen tidak mendapat infomasi yang memadai mengenai ketersediaan barang dan jasa oleh pelaku usaha. Persoalan ini memerlukan strategi pengembangan satu sistem yang memungkinkan bertemunya dua sisi kepentingan tersebut. Bappenas telah mengarahkan penggunaan sistem pengadaan yang berbasis internet dan DETIKNAS telah memutuskan untuk hanya dibangunnya satu sistem pengadaan secara elektronik.

Belum berkembangkan infrastruktur komunikasi yang memungkinkan ketersediaan informasi supply-demand pada pasar pengadaan telah menciptakan pasar yang terfragmentasi berdasarkan wilayah-wilayah geografis bahkan cenderung terfragmentasi berdasarkan wilayah administrasi. Kondisi ini memerlukan strategi pengembangan e-proc yang mengarah kepada pemanfaatan semua infrastruktur yang sudah terbangun digunakan secara maksimal bersama-sema dengan sistem yang lain, termasuk digunakan secara bersama oleh berbagai instansi pusat dan daerah.

Pemanfaatan infrastruktur yang tidak tersekat-sekat berdasarkan wilayah administrasi, wilayah kewenangan maupun wilayah geografis akan menghasilkan tingkat efisiensi yang luar biasa. Pada gagasan ini, maka infrastruktur informasi dan komunikasi yang dibangun oleh misalnya Depkeu, dapat dimanfaatkan oleh semua instansi pusat dan daerah. Demikian pula misalnya apabila di suatu wilayah yang sudah berkembang adalah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah daerah, maka infrastruktur tersebut harus dimungkinkan dimanfaatkan oleh instansi pusat dan daerah.

Pada tahap awal pembangunan kesistemannya dan keterbatasan infrastruktur sebelum secara nasional seluruh informasi berkaitan dengan pasar pengadaan dapat diintegrasikan, maka inisiatif-insiatif pemerintah daerah perlu didorong membangun pusat-pusat layanan pengadaan secara elektronik yang memfasilitasi transaksi pengadaan. Untuk itu, perlu dibangun mind set yang dapat diterima oleh pemerintah daerah dalam era otonomi saat ini. Pendekatan participatory yang bersifat memberi dukungan dan empowering semua pihak diyakini lebih efektif secara operasional dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat instruksional maupun pengaturan.

Saat ini, antusiasme para pengelola pengadaan sangat beragam. Sebagian yang enggan terhadap e-proc ada kemungkinan disebabkan oleh tingkat ketrampilan dan pengetahuannya mengelola komputer, termasuk dari dunia usaha. Sebagian besar pengelola pengadaan tidak memiliki ketrampilan yang cukup mengoperasikan komputer atau belum terbiasa dengan teknologi komputer. Untuk itu, keterlibatan semua institusi pendidikan untuk mempercepat penguasaan ketrampilan pengelola pengadaan maupun pelaku usaha perlu sangat didorong. Semua lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah komputer perlu didorong dapat menjadi pusat pelatihan mengoperasikan penggunaan e-procurement.

Dunia pengadaan pemerintah, harus diakui sampai saat ini hanya dikuasi oleh sebagian kecil pelaku usaha. Di antara pelaku usaha yang secara tradisional menguasi peluang pasar pengadaan, sebagian besar pasti akan berkurang dominasinya pada pasar pengadaan apabila kesempatan akses kepada pasar pengadaan menjadi lebih terbuka. Dengan kata lain, dengan penggunaan e-procurement dipastikan akan muncul resistensi dari kelompok pelaku usaha yang akan berkurang dominasinya. Kesadaran pada kepentingan masyarakat luas perlu dibangun melalui kampanye publik yang intensif.

Di samping itu, juga harus diakui bahwa dunia pengadaan kita masih belum cukup transparan dan bebas dari berbagai kepentingan pribadi atau kelompok. Titipan dan tekanan kepada panitia pengadaan masih menjadi momok bagi pengelola pengadaan. Situasi ini pasti juga akan memberi tantangan tersendiri karena dengan e-procurement sebagian besar proses pengadaan digantikan dengan proses elektronik. Dengan proses ini maka peluang untuk memanipulasi proses pengadaan menjadi berkurang. Masyarakat dapat dengan mudah menilai setiap keputusan dalam proses pengadaan. Untuk itu, ada strategi untuk menempatkan peran LSM dalam mengawal proses pengadaan yang transparan.

Berkaitan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda saat ini, mari kita membangun e-procurement dengan semangat: satu nusa-satu bangsa-satu bahasa.

Salam
Ikak G. Patriastomo

19/10/08

Persaingan Usaha yang Sehat

Seperti halnya belanja yang kita lakukan, pengadaan barang atau jasa publik dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat pada prinsipnya harus berorientasi untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga yang terbaik (harga termurah atau sepadan), jumlah dan mutu yang sesuai kebutuhan, serta tepat waktu. Agar keinginan ini dapat tercapai maka pasar harus diatur agar kita sebagai konsumen memiliki peluang untuk memilih barang yang ditawarkan oleh sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang saling bersaing.

Pada sisi yang lain, pelaku usaha melihat kebutuhan belanja akan barang dan jasa (termasuk belanja pemerintah) merupakan peluang pasar. Semua pelaku usaha akan berkeinginan untuk menguasai peluang pasar yang ada sehingga memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Agar keinginan ini juga tercapai maka pasar harus diatur agar semua pelaku usaha terbuka peluangnya untuk ikut persaingan dalam memperebutkan peluang pasar yang ada. Dengan demikian, setiap pelaku usaha akan terdorong untuk terus meningkatkan daya saingnya agar dapat memanfaatkan peluang pasar yang ada.

Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, kedua keinginan ini perlu diatur agar konsumen tidak berkurang peluangnya untuk mendapatkan barang yang sesuai, dan agar semua pelaku usaha tidak berkurang kesempatannya memperoleh akses yang sama.

Pada situasi yang berbeda, proses pengadaan juga perlu diatur untuk mengantisipasi kecenderungan melaku-kan praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat dan memonopoli pasar.

Di sisi konsumen, situasi menjadi kritis pada saat pihak yang melakukan belanja bukanlah konsumen yang langsung berkepentingan atau yang memiliki uang belanja, seperti belanja oleh korporasi atau instansi pemerintah. Pada situasi ini, pihak yang belanja dapat berpotensi menciptakan praktek persaingan yang tidak sehat dengan tujuan untuk mendapat keuntungan pribadi dari belanja yang dilakukannya, dengan mengadakan persekongkolan dengan pelaku usaha, dan menutup peluang bagi pelaku usaha yang lain. Hal ini dikenal sebagai persekongkolan vertikal.

Kasus korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan dan dimulai dengan persekongkolan seperti ini. Dengan kata lain, tindak pidana korupsi dapat dilakukan karena pelaku usaha bersedia bersekongkol dengan pihak yang melakukan belanja. Demikian pula sebaliknya. Di sini, terdapat hubungan yang sangat erat antara tindak pidana korupsi dengan praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

Di sisi pelaku usaha, akan terdapat kecenderunagn pelaku usaha menguasai pasar sepenuhnya, termasuk meniadakan pesaingnya atau bersama-sama pelaku usaha pesaingnya mengatur pasar. Pada situasi ini, praktek persaingan usaha tidak sehat tidak melibatkan pihak yang belanja, dan dikenal sebagai persekongkolan horisontal.

Antisipasi terhadap kecenderungan tersebut maka dalam pengembangan konsep pengaturan pengadaan barang dan jasa di sektor publik diperkenalkan prinsip terbuka dan bersaing yang berarti proses pengadaan harus dijamin dapat diikuti oleh sebanyak-banyaknya pelaku usaha yang berminat dan tercipta persaingan sehat yang efektif.

Larangan persaingan usaha tidak sehat dalam pengadaan secara eksplisit telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-undang ini, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang pengadaan sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Praktek yang dapat dikategorikan persekongkolan pengadaan antara lain :
a. Kerjasama dua pihak atau lebih untuk mengatur dan/atau menentu kan pemenang pengadaan.
b. Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya.
c. Membandingkan dokumen penga daan sebelum penyerahan.
d. Menciptakan persaingan semu.
e. Menyetujui dan atau menfasilitasi terjadinya persekongkolan.
f. Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenang kan peserta lelang tertentu.
g. Pemberian kesempatan ekslusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti pelelangan dengan cara melawan hukum.

Dengan demikian, dalam pengadaan terdapat dua UU yang secara langsung mengatur yaitu UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Membangun Trust

Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah ada sinyalemen “takut jadi panitia?”. Mungkin bukan takut tetapi enggan, karena tugas ini menyita banyak waktu dan tenaga, dan di lain pihak insentif untuk menjadi panitia tidak cukup untuk memotivasi seseorang.

Gejala ini perlu dimaklumi oleh semua pihak bukan untuk membela diri panitia melainkan untuk dapat berempati kepada para pengelola pengadaan.

Kalangan profesi dan praktisi pengadaan sangat memaklumi bahwa proses pelelangan bukanlah proses yang sederhana sehingga dituntut dilaksanakan oleh personil yang kredibel, memiliki integritas, motivasi, kompetensi memadai dan kinerja yang baik.

Karena tuntutan ini tidak terpenuhi maka kemudian seringkali proses penunjukan langsung (PL) menjadi sangat disukai karena prosesnya menjadi sangat mudah, semua bisa diatur, semua kekurangan yang ada dapat dinegosiasikan. Bahkan, kalaupun pelelangan diumumkan secara terbuka, seringkali peserta dikumpulkan untuk diatur siapa yang akan dimenangkan (lelang secara arisan).

Tentunya proses PL atau lelang arisan tersebut akan menyebabkan tujuan pengadaan, yaitu mendapatkan penawaran yang terbaik tidak tercapai, termasuk sesungguhnya tidak mudahnya mempertanggung jawabkan hasil pengadaan (dan harga). Proses PL ini mudah ditunggangi oleh kepentingan untuk memperkaya diri (korupsi).

Di masyarakat (hal ini menurut saya yang berbahaya), akibat dari kebiasaan tersebut, masyarakat menjadi skeptis terhadap proses pengadaan. Masyarakat menjadi tidak percaya apakah ada proses lelang yang benar-benar fair. Sehingga, walaupun pengelola pengadaan mengumumkan lelang, saat ini masyarakat dunia usaha masih ragu untuk mengajukan penawaran karena tidak yakin bahwa pelelangan akan fair. Kepercayaan masyarakat sangat rendah karena kebiasaan tersebut.

Saat ini, situasi distrust ini merupakan tantangan yang tidak sederhana bagi panitia pengadaan. Banyak kasus proses pelelangan yang diwarnai dengan kondisi saling curiga dan saling tuduh bahwa terjadi KKN.

Banyaknya sanggahan, sanggahan banding dan pengaduan yang menjadi menu sehari-hari yang hampir selalu ada dalam proses pelelangan adalah indikator masalah tersebut. Akibatnya, proses lelang menjadi tidak efisien, melelahkan dan tujuan utama menjadi terlupakan.

Perlunya membangun trust dalam proses pelelangan ini perlu menjadi isu yang ditonjolkan. Dalam Keppres 80 Tahun 2003 telah terdapat beberapa instrument yang dapat digunakan oleh pengelola pengadaan untuk menunjukkan adanya niat baik dan integritas pengelolaan pengadaan.

Pakta Integritas adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pengelola pengadaan bertekad menjaga integritas proses dan dirinya. Tentunya, di pihak peserta pelelangan juga dituntut hal yang sama.

Walaupun demikian, niat baik dalam proses pelelangan masih juga belum pasti membuahkan hasil sebagaimana diinginkan apabila prosedurnya sangat panjang, sifatnya sangat formal dan melibatkan aktivitas administrasi yang banyak. Dalam situasi ini proses lelang menjadi tidak efisien bila diterapkan untuk nilai pengadaan yang relatif kecil dan sederhana.

Untuk itu, prosedur pelelangan secara pascakualifikasi yang dibarengi dengan penyederhanaan syarat administrasi dapat menjadi instrument berikutnya. Pada prosedur ini, penilaian pemenuhan persyaratan kualifikasi dilakukan setelah diperoleh penawaran terendah yang responsif. Persaingan yang fair lebih dimungkinkan.

Persyaratan administrasi sendiri lalu dibatasi hanya terdiri dari surat penawaran, jaminan penawaran, daftar kuantitas dan harga satuan (bila kontraknya harga satuan), analisa harga satuan, copy bukti SPT dan setoran pajak. Sedangkan, persyaratan kualifikasi secara tegas disebutkan pada Pasal 11 Keppres 80 Tahun 2003, dan panitia pengadaan dilarang menambah nambah persyaratan.

Di lapangan, persyaratan administrasi dan bukti terpenuhinya persyaratan kualifikasi sering salah tempat. Dokumen untuk persyaratan kualifikasi seringkali ditempatkan sebagai syarat administrasi. Padahal sifat dan maksud penggunaannya berbeda.

Untuk itu, Bappenas bersama-sama dengan instansi terkait menyiapkan Model Dokumen Pengadaan yang dapat di download dari website: www.pengadaannasional-bappenas.go.id. Mudah-mudahan dapat membantu mempermudah kita semua.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Visi Pengadaan

Belanja pemerintah dalam APBN maupun APBD yang akan dilaksanakan melalui pengadaan setiap tahunnya akan mencapai nilai lebih dari Rp. 360-400 trilyun. Dengan anggaran sebesar ini, kita akan berpotensi kehilangan Rp. 70-80 trilyun apabila kinerja pengadaan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bisa dibayangkan, dengan Rp. 80 trilyun, berapa banyak infrastruktur yang dapat dibangun, atau berapa banyak sekolah dapat diperbaiki. Kalau tidak salah hanya perlu Rp. 1,2 trilyun untuk membenahi Jakarta agar tidak banjir yang diminta DKI..

Di sini perlu dukungan semua pihak agar masyarakat tidak kehilangan manfaat sebesar Rp. 80 trilyun dalam proses pengadaan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah perlunya perhatian dari semua pejabat di berbagai tingkatan untuk mengevaluasi kembali kinerja pengadaan di unit kerjanya. Pada tahap ini idealnya semua kontrak dilihat satu persatu untuk melihat unit cost yang terjadi dalam kontrak. Di tingkatan yang lebih tinggi, unit cost dapat dibandingkan antara unit kerja yang satu dengan yang unit kerja yang lain. Dapat dipastikan bahwa akan menghasilkan gambaran unit cost yang berbeda-beda. Biasanya, kawan-kawan di pengawasan intern melihat hal ini.

Evaluasi kita selama ini, unit cost pengadaan kita rata-rata lebih tinggi dari harga pasar (20%). Angka ini menunjukkan ada yang salah dengan pengadaan kita. Bila kita dapat mengupayakan pengadaan yang sesuai harga pasar saja, ada tambahan manfaat sebesar Rp. 80 trilyun bagi masyarakat.

Di kalangan profesi dan praktisi pengadaan, proses pengadaan yang memungkinkan memperoleh harga pasar apabila pengadaan dilakukan melalui pelelangan. Namun juga dimaklumi bahwa lelang bukanlah proses yang sederhana sehingga dituntut dilaksanakan oleh personil yang kredibel, memiliki integritas, motivasi, kompetensi memadai dan kinerja yang baik.

Pada saat SDM pengelola pengadaan yang kompeten sangat terbatas, proses pengadaan dengan pelelangan menjadi semakin rumit persoalannya. Maka kemudian muncul kecenderungan untuk memilih proses penunjukan langsung (PL). Sehingga kalau di forum-forum yang muncul selalu pertanyaan di sekitar kriteria PL. Ini menunjukkan PL masih sangat disukai karena prosesnya menjadi sangat mudah, semua bisa diatur, semua kekurangan yang ada dapat dinegosiasikan.

Tentunya proses PL tidak ideal untuk mencapai tujuan pengadaan, yaitu mendapatkan penawaran yang terbaik tidak tercapai, termasuk sesungguhnya tidak mudahnya mempertanggung jawabkan hasil pengadaan (dan harga). Proses PL ini (untuk pekerjaan nilai besar) mudah ditunggangi oleh kepentingan untuk memperkaya diri (korupsi).

Oleh karena itu, sesungguhnya wajar bila di masyarakat (hal ini menurut saya yang berbahaya) berkembang logika bahwa PL sama dengan korupsi.

Kesimpulan pertama, aspek SDM pengelola pengadaan perlu diperhatikan, perlu dilatih agar meningkat.

Pengelola pengadaan yang kompeten dan kredibel akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada birokrasi. Sampai sekarang, masyarakat masih skeptis terhadap proses pengadaan. Masyarakat, khususnya dunia usaha masih belum percaya apakah ada proses lelang yang benar-benar fair. Sehingga, walaupun pengelola pengadaan mengumumkan lelang, pelaku usaha masih ragu untuk mengajukan penawaran. Dengan demikian, jumlah penawaran masih terbatas dari antara pelaku usaha yang selama ini terlibat dengan pengadaan pemerintah. Sebagian besar pelaku usaha (95%) tidak terdorong untuk mengikuti pelelangan.

Situasi distrust ini merupakan tantangan yang tidak sederhana bagi panitia pengadaan. Banyak kasus proses pelelangan yang diwarnai dengan kondisi saling curiga dan saling tuduh bahwa terjadi KKN.

Banyaknya sanggahan, sanggahan banding dan pengaduan yang menjadi menu sehari-hari yang hampir selalu ada dalam proses pelelangan adalah indikator masalah tersebut. Akibatnya, proses lelang menjadi tidak efisien, melelahkan dan tujuan utama menjadi terlupakan.

Perlunya membangun trust dalam proses pelelangan ini perlu menjadi isu yang ditonjolkan. Dalam Keppres 80 Tahun 2003, Pakta Integritas adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa pengelola pengadaan bertekad menjaga integritas proses dan dirinya. Tentunya, di pihak peserta pelelangan juga dituntut hal yang sama.

Salam:
Ikak G. Patriastomo