23/09/17

Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Harga perolehan dalam pengadaan selalu menjadi persoalan, apakah lebih mahal, apakah masuk akal, apakah di mark-up, apakah menguntungan pihak tertentu. Bagaimana mendapatkan harga yang benar pada suatu waktu, di tempat tertentu, dengan skala pembelian tertentu menjadi diskusi yang akan selalu menarik karena pelaku usaha akan selalu mencari cara untuk memenangkan kompetisi harga.

Sebelum mendapatkan harga yang benar, pengelola pengadaan terrlebih dahulu akan dihadapkan oleh pertanyaan berapa perkiraan harga, baik yang menjadi dasar anggaran belanja maupun dasar melakukan negosiasi harga maupun menilai penawaran harga dari pemasok atau penyedia.  Tanpa pengetahuan akan perkiraan harga maka negosiasi akan berat sebelah dan dikendalikan oleh pihak pemasok yang lebih tahu pembentukan harganya. Atau akhirnya jadi seperti "tawar kacang", sangat tidak rasional.

Konsep harga secara sederhana ditentukan oleh kesediaan pembeli (willingness to pay), kesediaan penjual menerima (willingness to accept) dan kompetisi yang terjadi. Dalam pengadaan (khususnya pemerintah) praktis tinggal faktor kompetisi yang dominan menentukan harga karena dua faktor yang lain seringkali sudah saling "terpaksa". Bahkan pada umumnya di pengadaan, kebutuhan dan suplai tidak elastis terhadap harga.

Dengan demikian, harga perolehan tergantung pada tingkat kompetisi yang terbangun di antara para pemasok atau penyedia. Tidak semua kebutuhan dapat dibangun kompetisi yang efektif (tinggi), bahkan kebutuhan pada situasi tertentu akan berhadapan dengan penyedia tunggal. Kompetisi pada umumnya akan lebih mudah terbangun pada kebutuhan yang akan memberi keuntungan bagi pemasok atau penyedia dalam jangka panjang dan terdapat banyak penyedia yang mampu memasoknya.

Dengan logika ini, maka akurasi menghitung harga perkiraan sendiri mestinya bukan menjadi persoalan besar. Paling buruk adalah tidak ada yang menawar manakala HPS tidak rasional atau berada di bawah "willingness to accept". Atau, sisa anggaran terlalu besar manakala HPS dihitung terlalu jauh dari harga sesungguhnya. Dengan catatan, persaingan yang efektif di antara para pemasok dapat dibangun sehingga harga perkiraan yang tidak akurat dapat dikoreksi.

Dalam banyak kasus di bisnis pengadaan pemerintah di tanah air, pengelola pengadaan sering berhadapan dengan kelompok penyedia yang menghalangi terjadinya persaingan. Harga diatur atau peserta lelang dihalangi menyebabkan harga perkiraan tidak terkoreksi. Hal ini menjadi salah satu latar belakang regulasi pengadaan pemerintah HPS diatur sebagai pagu penawaran, dan pagu anggaran sebagai pagu HPS agar kerugian akibat kondisi persaingan yang tidak sehat dapat dibatasi.

Metode menghitung HPS dalam pengadaan hampir tidak dapat diseragamkan. Metode menghitung HPS di bidang konstruksi tidak sama dengan menghitung HPS untuk pengadaan barang. Bahkan, barang yang satu bisa sangat berbeda dengan barang yang lain. Namun demikian, menghitung HPS untuk pekerjaan konstruksi  relatif lebih banyak contohnya, terutama pekerjaan konstruksi yang kompleksitasnya rata-rata. Hal ini seringkali menyebabkan para pengelola pengadaan mengikuti pendekatan yang sering dilakukan di pekerjaan konstruksi untuk pengadaan barang atau jasa yang lain.

Walaupun berbeda-beda, secara garis besar HPS dapat dihitung dengan melihat input-proses-ouput maupun hanya melihat harga pasar suatu output. Cara melihat langsung harga pasar barang (sebagai ouput) hanya dapat dilakukan apabila barang dijualbelikan di pasar yang terbuka. Barang seperti ini biasanya mereknya banyak dan saling berkompetisi, serta terdapat banyak pembeli. Harga yang terbentuk untuk barang seperti ini ditentukan oleh harga yang ditetapkan produsen dengan seluruh mata rantai pasoknya. Seringkali, rantai pasok berbeda memberi harga yang berbeda pula. Bahkan tingkat rantai pasok juga dapat menentukan perbedaan harga. Dalam situasi seperti ini, pembeli perlu melihat dimana tingkat rantai pasok yang mampu dan bersedia merespon kebutuhannya. Pada umumnya, skala dan kontinyuitas pembelian memberi kesempatan berhubungan dengan tingkat rantai pasok. Semakin besar pembelian akan semakin pangkal rantai pasok yang potensial. Harganyapun bisa lebih rendah.


20/09/17

Kontrak Lumpsum

Kontrak Lump sum diuraikan dalam pasal 51 ayat (1) Perpres 70 yaitu kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga;
b. Semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa;
c. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak;
d. Sifat pekerjaan berorientasi pada keluaran (output based);
e. Total harga penawaran bersifat mengikat;
f. Tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.

Persoalan yang seringkali muncul, pada saat pelaksanaan di lapangan terjadi perubahan situasi sehingga memerlukan pekerjaan tambah kurang.

Di sini komplikasi terjadi. Karena sifat kontraknya lumpsum, maka perincian volume pekerjaan mestinya tidak mengikat, tapi faktanya ada item pekerjaan yang harus dikurangi, ada juga item pekerjaan yang harus ditambah. Alhasil, pekerjaan ini mestinya tidak layak menggunakan kontrak lumpsum.

Tetapi bagaimana yang sudah terlanjur?

Mau tidak mau para pihak harus duduk bersama dan dengan itikad baik mengubah bagian kontrak yang perlu perubahan menjadi kontrak harga satuan, dan mengurangi ruang lingkup lumpsum kontraknya kalau tidak dilaksanakan.


18/09/17

Procurement Agent: Gagasan untuk memacu peningkatan kompetensi ahli pengadaan

Sejak tahun 2003, dengan Keppres 80/2003, dunia pengadaan pemerintah diperkenalkan dengan profesi pengadaan yang rujukannya adalah gagasan dalam UU No. 13 tentang Ketenakerjaan. Sampai hari ini, jumlah orang pemegang sertifikat keahlian pengadaan sudah mencapai lebih dari 251.300 orang (per 19 Sept 2017).

Apakah kualitas pengelolaan pengadaan barang jasa meningkat? Saya pastikan meningkat. Namun, maturitas pengelola pengadaan ini sangat tergantung pada intensitas keterlibatan yang bersangkutan pada pengadaan di lingkungannya, termasuk karakteristik kompleksitas pengadaan yang sempat ditanganinya.

Dengan demikian, manakala seorang ahli pengadaan berada dalam lingkungan pengadaan di Kabupaten/Kota, maka profil pengadaan di Kabupaten/Kota yang dari segi nilai dan kompleksitasnya rata-rata, maka peluang ahli pengadaan yang bersangkutan berkembang juga terbatas. Ditambah dengan faktor-faktor lain seperti promosi dan mutasi maka peluang seseorang memperoleh pengalaman untuk meningkatkan kompetensinya semakin terbatas.

Hal tersebut setidak-tidaknya akan menjadi faktor pembatas bagi perkembangan maturitas pengelolaan pengadaan secara nasional.

Dalam situasi kebutuhan pengelolaan pengadaan yang lebih advance, maka bertumpu pada perkembangan kompetensi pengelola pengadaan dari unsur internal aparat pemerintah tidak dapat berharap terpenuhi dengan cepat. Kondisi ini tentunya menghalangi harapan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pengadaan manakala pembangunan dipacu melebihi kecepatan maturitas pengelolaan pengadaan.

Kualitas delivery pengelolaan proyek-proyek pemerintah menjadi kurang berkinerja. Terlambat, mutu terbatas, dan biaya mahal menjadi potret sehari-hari pengadaan di tanah air. Tanpa terobosan gaagasan mengenai pengelolaan pengadaan, maka kinerja pengadaan pemerintah relatif akan jalan di tempat.

Di lain pihak, dunia swasta memiliki kemampuan adaptasi yang lebih besar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kompetensi pengelolaan pengadaan. Swasta dapat dengan cepat mencari tenaga ahli yang diperlukan, memberi kompensasi yang sebanding dan terus menerus mengefisienkan cara kerjanya.  Peran swasta dalam pengelolaan pengadaan pemerintah akan dapat dengan cepat menutup kekurangan-kekurangan yang ada di dalam manajemen pengadaan di sektor publik.

Di sini, gagasan procurement agent menjadi sangat relevan untuk segera diakomodasi dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah.



Jakarta, 18 September 2017.