19/06/11

LPSE, Wujud Perjuangan Bersama Membangun Bangsa

Menurut saya, LKPP perlu mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang bersedia mengambil peran dan terlibat dalam pengembangan e-procurement. Kita semua yang membangun LPSE pantas mendapat apresiasi karena dapat memenuhi Inpres 2010 dengan terbentuknya 100 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) baru, dan saat ini (Juni 2011) bahkan sudah mencapai 240 LPSE yang menjangkau 31 wilayah Provinsi. Tinggal Provinsi Sulawesi Barat dan Papua Barat yang belum memiliki LPSE sendiri.

Itu membuktikan bahwa teman-teman di LPSE bersedia bekerja keras dalam rangka memperbaiki sistem pengadaan nasional melalui implementasi e-procurement.

Tahun 2011 ini dapat dikatakan merupakan tonggak penting dalam pengembangan sistem pengadaan karena dengan Perpres 54/2010 kita telah memberi arah pelaksanaan pengadaan secara elektronik ke depan. Bila sebelum ini pengadaan secara elektronik sangat bergantung pada inistiatif masing-masing instansi, maka mulai tahun 2012 penerapan e-procurement merupakan kewajiban. Kita semua berharap pada tahun 2014, sebagian besar proses pengadaan sudah dilaksanakan secara elektronik.

Khusus tahun 2011 ini, keberadaan LPSE menurut saya harus terbukti dapat memfasilitasi pengumuman pelelangan yang sebelumnya dilakukan melalui surat kabar karena mulai tahun ini LPSE harus membuktikan bahwa semua pengumuman pelelangan dapat difasilitasi melalui LPSE. Hal sekaligus juga menjadi bukti kemampuan dan optimisme bangsa ini mengadopsi TIK.

Lebih dari pada itu, tidak hanya memfasilitasi pengumunan lelang. Tahun 2011 ini LPSE juga akan mulai memfasilitasi penunjukan langsung kendaraan bermotor dengan harga GSO yang katalognya tercantum pada portal inaproc. Setiap panitia pengadaan perlu terdaftar di LPSE untuk dapat melaksanakan proses penunjukan langsung. LPSE sekali lagi harus mampu menjawab tantangan tersebut.

Artinya, semua orang yang membangun LPSE telah menjadi aktor utama dalam perbaikan sistem pengadaan. Banyak inisiatif yang dilakukan oleh LPSE. Personil LPSE di instansi dan di daerah telah menjadi pelopor dalam banyak hal berhubungan dengan reformasi pengadaan. Khusus dalam hal ini LPSE perlu tetap responsif dalam melayani panitia pengadaan maupun penyedia barang/jasa.

Semangat kebersamaan LPSE melakukan inovasi yang terus menerus dan membaginya kepada semua orang telah menjadi modal sosial bangsa ini dalam menghadapi tantangan di depan. Modal sosial ini pasti akan terus membesar sejalan dengan berkembangnya LPSE dan pasti akan memperkokoh kesatuan Indonesia.

Di samping keberhasilan itu, kredibilitas proses masih menjadi tantangan serius dalam sistem pengadaan nasional. Masih banyak proses pelelangan yang hanya formalitas. Kasus wisma atlet adalah kasus paling mutakhir yang menggambarkan kompleksitas sistem pengadaan dalam lingkungan strategisnya.

Membangun proses pengadaan yang kredibel adalah misi utama LKPP. Untuk inilah sistem e-procurement diperkenalkan dan dibangunlah unit-unit LPSE yang independen. Sistem e-procurement tidak dikelola oleh Panitia Pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga LPSE untuk tetap memperjuangkan kredibilitas sistem ini.

Semua orang di LPSE harus menjawab semua keraguan berkaitan dengan kredibilitas sistem. Kita di LPSE harus dapat mengatakan bahwa di sistem ini tidak ada satu prosespun yang luput dari pengawasan. Oleh karena itu, perlu selalu disampaikan, siapapun yang ragu-ragu dengan suatu proses pengadaan, tidak perlu segan untuk melaporkan kejadiannya, paket mana, kapan kejadian tepatnya, dan dimana.

Hal ini perlu terus disampaikan, karena sampai saat ini masih terdengar keluhan dari pelaku usaha bahwa sistem e-procurement masih bisa diatur untuk memenangkan satu pelaku usaha.

Melalui forum ini, saya mengajak kita semua memelihara dan menjaga apa yang sudah kita bangun ini. Marilah kita satukan visi kita membangun Indonesia yang lebih baik tanpa perlu terganggu dengan hiruk pikuk di sekitar kita. LPSE adalah wujud perjuangan kita bersama membangun bangsa. Salam LPSE, Ikak G. Patriastomo.

18/06/11

Pemanfaatan Teknologi dalam Pengadaan

Untuk menjamin proses pengadaan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha, salah satu prinsip pengadaan adalah transparan. Prinsip ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk kewajiban kepada pengelola pengadaan mengumumkan adanya kesempatan kontrak pekerjaan (biasanya disebut dengan pengumuman rencana pengadaan), pengumuman lelang dan pengumuman pemenang lelang.

Pada prakteknya, dengan alasan biaya pengumuman di surat kabar tidak murah dan seringkali tidak mudah mendapat anggaran pengumuman, pengadaan (baik rencana maupun lelangnya) tidak diumumkan dengan memadai.

Sebelum Keppres 80 Tahun 2003 diberlakukan, pengumuman seringkali hanya ditempelkan di papan pengumuman resmi instansi. Di samping tempat pengumuman yang tidak menjangkau semua pihak, isi pengumuman seringkali sangat tidak memadai untuk memberi keterangan yang lengkap tentang pekerjaan yang akan dilelangkan. Seringkali, pengumuman hanya ditempel dalam waktu yang sangat terbatas atau bahkan dirobek untuk membatasi keikutsertaan banyak penyedia.

Di satu sisi praktek tersebut menggambarkan pemahaman yang terbatas semua pihak yang terlibat terhadap prinsip transparansi tersebut, di sisi yang lain juga menggambarkan pemahaman yang terbatas pada keterkaitan antara pengumuman tender dengan hasil pengadaan (khusunya harga). Tidak dipahami bahwa semakin banyak peserta lelang akan semakin besar peluang pengelola pengadaan memperoleh harga barang yang baik (murah).

Yang justru dipahami, semakin banyak peserta lelang semakin repot mengelola prosesnya karena menjadi tidak mudah untuk berlaku adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyembunyikan pengumuman tender supaya yang ikut lelang dapat diatur. Karena ada pengaturan, maka peluang untuk mengatur imbalanpun menjadi terbuka (korupsi).

Era Penunjukan Satu Surat Kabar: Surat kabar yang beroplag besar dan tersebar menjangkau seluruh wilayah merupakan alternatif tempat pengumuman lelang yang paling potensial untuk menegakkan prinsip transparansi. Oleh karena itu, pengelola pengadaan perlu diatur untuk meletakan pengumuman lelang di surat kabar tersebut. Kewajiban ini memiliki implikasi pengelola pengadaan yang satu akan berbeda dengan pengelola pengadaan lainnya apabila tidak diatur nama surat kabar yang dimaksud.

Dari sisi pelaku usaha, surat kabar yang berbeda-beda juga menimbulkan kesulitan untuk mengikuti secara konsisten peluang usaha di bidang pengadaan. Pelaku usaha mungkin perlu berlangganan beberapa surat kabar sekaligus hanya untuk dapat mengikuti pengumuman lelang (peluang usaha) tersebut.

Kebijakan mengumumkan di surat kabar juga masih memiliki potensi dicurangi oleh berbagai pihak. Ada beberapa kasus panitia pengadaan memesan kolom tertentu untuk satu exemplar saja sebatas memenuhi aspek administrasi pengumuman, sedangkan penerbitan tersebut tidak nyata-nyata disebarkan ke publik.

Pelaku usaha juga masih memiliki peluang untuk curang denga memborong penerbitan yang beredar di suatu wilayah agar pesaing-pesaingnya tidak mendapat pengumuman dan informasi yang memadai. Pelelangan pada akhirnya hanya diketahui oleh kelompok terbatas, biasanya yang sudah lama bekerjasama dengan panitia pengadaan atau pemilik pekerjaan.

Lelang untuk Memilih Surat Kabar: Ditetapkannya satu surat kabar yang akan menjadi tempat pengumuman lelang akan memungkinkan: (1) kontrol terhadap kepatuhan mengumumkan secara lebih mudah; (2) kontrol terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kerjasama antara penerbit dengan panitia pengadaan lebih mudah; (3) memberi kepastian bagi pelaku usaha yang akan melihat secara konsisten peluang usaha pada pasar pengadaan.

Untuk itu, mengingat terdapat beberapa surat kabar yang memenuhi kriteria, maka penunjukan satu surat kabar perlu diproses yang menjamin perlakukan yang adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, pemilihan surat kabar dilelangkan setiap tahun. Surat kabar yang ditetapkan kemudian perlu membangun unit kerja yang khusus menangani penempatan pengumuman lelang dari seluruh instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

Harga iklan yang lebih murah: Walaupun pelelangan yang dilakukan dalam kriteria evaluasinya tidak semata-mata mendasarkan pada harga yang paling murah, akan tetapi lelang surat kabar ini menghasilkan biaya iklan bagi pengumuman lelang per baris per kolomnya lebih rendah dari harga iklan yang normal. Rata-rata penawaran menawarkan 30% dari biaya yang dipublikasikan. Hal ini wajar mengingat jumlah iklan per hari akan lebih dari 100 tayangan dengan masing-masing Rp. 5 juta rupiah saja, maka per hari surat kabar akan memiliki pemasukan Rp. 500 juta rupiah atau Rp. 15 Milyar per bulan atau Rp. 180 milyar per tahun.

e-Procurement dan Portal Pengadaan Nasional: Salah satu kelemahan yang menonjol dari kebijakan pengumuman lelang di surat kabar adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan pengumuman. Bila panitia pengadaan cukup kreatif, biaya ini bisa ditekan dengan pengumuman beberapa paket sekaligus.

Kelemahan lain yang juga perlu dievaluasi adalah jangkauan. Tidak semua tempat terjangkau oleh surat kabar yang memenangkan lelang. Dari 498 Kabupaten/Kota, hanya 65% yang terjangkau oleh surat kabar yang ditunjuk, dengan jeda waktu 1-2 hari untuk sampai di wilayah Kabupaten tertentu. Bagi pelaku usaha di wilayah seperti itu, apalagi bila paket pekerjaan berlokasi di wilayah tersebut, maka pengumuman di surat kabar menjadi tidak bermakna.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, pengumuman di website menjadi solusi yang paling menguntungkan. Saat ini lebih dari 75% instansi pemerintah sudah memiliki website. Dengan demikian, kewajiban mengumumkan lelang di surat kabar sebagai upaya untuk transparan dan memberi kesempatan luas bagi pelaku usaha terlibat dalam pengadaan dapat digantikan dengan kewajiban mengumumkan melalui website.

Lebih jauh, website atau Portal Pengadaan Nasional menjadi alat yang harus dikembangkan untuk menyatukan pengumuman lelang maupun semua informasi termasuk akses utama kepada sistem pengadaan nasional. Sebelum e-Procurement secara menyeluruh dapat diterapkan, kewajiban mengumumkan lelang di website yang dapat diakses melalui portal pengadaan nasional yang tunggal merupakan langkah awal dan strategi yang penting membangun pengadaan nasional yang baik.

Kesimpulannya, pengumuman lelang sebagai wujud dari transparansi dalam rangka good governance dalam pengadaan masih belum sepenuhnya disadari dan dipahami oleh pengelola pengadaan. Untuk itu, kebijakan memperkenalkan prinsip tersebut perlu dibarengi dengan penyamaan persepsi dan mainstreaming prinsip-prinsip good governance untuk mengubah orientasi pelaku pengadaan yang eksploitatif menjadi melayani. Dengan kata lain, satu kebijakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengkaitkannya dengan kebijakan lainnya.


Lebih lanjut, perkembangan gagasan suatu kebijakan bisa berlangsung sangat cepat sehingga penyesuaiannya juga perlu sangat cepat untuk memperoleh manfaat segera. Dengan perkembangan teknologi informasi, suatu kebijakan dapat dimungkinkan berubah dengan sangat cepat mengikuti peluang-peluang yang diberikan oleh teknologi.

Perjalanan e-procurement di Indonesia

Tonggak pengembangan e-procurement di Indonesia dimulai tahun 2003 dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Keppres ini, pengadaan mulai dimungkinkan diproses dengan memanfaatkan sarana elektronik.

Walaupun sudah dimungkinkan dari segi regulasi pengadaan, perkembangan penggunaan e-procurement di instansi pemerintah belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Hanya di beberapa BUMN yang mulai menerapkan kebijakan e-procurement.

Tahun 2004, dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Bappenas mendapat tugas untuk melakukan pilot project implementasi e-procurement. Pilot project berhasil dimulai dan dilakukan di 2 kementerian (Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Nasional) dan 5 provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan Gorontalo), serta secara sukarela oleh Provinsi DIY dan Provinsi Riau Kepulauan, Kota Denpasar dan Kota Yogyakarta.



Dengan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 7 Desember 2007 dibentuk. Tugas pengembangan e-procurement dilanjutkan oleh LKPP mulai pertengahan 2008.

Dari tahun 2003 sampai dengan 2007 perkembangan penerapan e-procurement dapat dikatakan sangat lamban. Bila mengacu framework MDB 2004, periode ini disebut dengan fase persiapan implementasi.

Tahap perkembangan berikutnya terjadi selama periode 2009-2010. Pada periode ini, LPSE berkembang dari 11 LPSE pada tahun 2008, menjadi 33 LPSE pada tahun 2009 dan 135 LPSE pada akhir 2010. Pada periode ini terjadi lompatan eksponensial baik pada segi jumlah layanan (LPSE) maupun nilai transaksinya.

Dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, kebijakan e-procurement memasuki tahap yang lebih “solid”. Dalam Perpres ini e-procurement ditempatkan dalam satu bab pengaturan tersendiri dengan arah kebijakan yang jelas.

Mulai tahun 2012 semua instansi wajib menerapkan e-procurement, dan mulai 2011 seluruh pengumuman lelang dilakukan secara elektronik melalui website portal pengadaan nasional (http://www.inaproc.lkpp.go.id/) menggantikan pengumuman di surat kabar nasional dan surat kabar provinsi. (Ikak G. Patriastomo)