22/10/11

4 Tahun e-Procurement di Indonesia (2008-2011)

Implementasi eprocurement di Indonesia praktis sudah memasuki tahun ke 5, sejak tahun 2008 yang dimulainya dengan piloting di 11 instansi (7 Provinsi, 2 Kota dan 2 Kementerian). Bila sampai saat ini sudah dilelangkan lebih dari 30.000 paket pengadaan dengan total nilai HPS Rp. 60 trilyun, maka itu bukan prestasi yang datang begitu saja. Ada point-point penting yang perlu dicatat bila program sejenis ingin mencapai prestasi yang sama.

Komitmen dan “No Interest”: Agak kasar terdengarnya, tetapi selalu ditekankan kepada semua pihak yang terlibat untuk “tidak mencari makan dari kegiatan ini”. Terutama kepada staf di LKPP. Pesannya, silahkan terlibatlah secara maksimal. Sumbangkan tenaga dan pemikiran secara maksimal. Toh ini semata-mata demi bangsa ini bukan demi siapa-siapa. Jangan mengharapkan ada imbalan dari siapapun dan jangan pula berharap untuk dihargai oleh siapapun. Kerjakan saja yang menurut kita baik dan benar.

Point ini penting untuk menepis anggapan berbagai pihak bahwa ini adalah semacam “proyek” saja bagi LKPP. Keraguan dan cibiran yang perlu dijawab dengan bukti, bahwa inisiatif ini tidak akan membebani siapapun yang kemudian memberi manfaat bagi segelintir orang.
Dalam penganggaran kegiatan, tidak ada serupiahpun yang perlu dialokasikan oleh instansi lain untuk kegiatan membeli sofware yang dibangun LKPP (free of charge software dan free lisence) maupun dukungannya. Bahkan lebih lanjut, selama tersedia anggaran di LKPP, maka instansi bersama LKPP dapat membiayai kegiatan bersama dari anggaran LKPP. Untuk pendampingan, instansi tidak perlu menganggarkan membiayai staf/pejabat LKPP yang berkunjung ke daerah. Silahkan setiap instansi menganggarkan untuk kegiatan dan keperluan dirinya sendiri.

Lebih lanjut, siapapun yang terlibat kemudian memiliki kesempatan tampil, dikenal dan berkesempatan mendapat apresiasi. Semua orang yang terlibat dalam pembangunan LPSE (unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik) menjadi dikenal banyak orang, diapresiasi karena perannya, dan seringkali menjadi focal point di instansinya dan daerahnya. Peluang kiprah seperti ini mampu membangun komitmen di semua level.

Walaupun tidak eksplisit dibicarakan dalam banyak literatur, point ini sangat penting menjadi catatan perjalanan pengembangan eprocurement di Indonesia. Manakala suatu kegiatan ditunggangi dengan kepentingan tertentu oleh pihak tertentu yang tidak memberi ruang bagi yang lainnya, maka jangan berharap ide itu akan direspon oleh banyak pihak dengan sepenuh hati.

Fokus : LKPP cukup fokus terhadap pengembangan eprocurement. Anggaran LKPP difokuskan untuk mendukung tersedianya perangkat lunak, pendampingan dan dukungan operasionalisasi eprocurement di semua instansi pemerintah. Walaupun tidak besar, tetapi fokus kegiatan yang dibiayai oleh LKPP menjamin semua LPSE terlayani dengan maksimal, dan sekaligus membangun fokus peran LKPP.

LKPP tidak mengalokasikan anggaran yang besar untuk membangun LPSE berkenaan dengan hardware, software pendukung, infrastruktur jaringan, ruangan dsb. Dengan penyediaan perangkat lunak pengadaan secara elektronik, sudah sangat cukup membantu bagi instansi mengurangi biaya pengembangan perangkat lunak. Bayangkan bila semua instansi (600 LPSE) perlu membangun sendiri software ini. Di samping menjadi mahal, belum tentu berjalan. Dan dari segi kemampuan memahami regulasi dan proses pengadaan juga menjadi persoalan sendiri. Rp. 500 juta x 600 LPSE akan perlu Rp. 300 milyar per tahun/versi. Belum lagi “maintenance support”nya. LKPP bahkan tidak perlu mengarahkan merek hardware maupun infrastruktur seperti apa yang akan digunakan oleh setiap instansi.

Fokus peran dan anggaran LKPP ini juga mampu membangun “trust” dari “customer” bahwa LKPP memang berorientasi pada “service”.

Partisipatif: Pengembangan eprocurement di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif yang sangat kuat. Siapa saja boleh mengambil bagian dalam pengembangan dan implementasinya.

Sebut saja Lemsaneg, ITB, ITS, UI yang terlibat dalam pengembangan perangkat lunak. Lemsaneg terlibat dalam membangun aplikasi persandian, ITB dalam merumuskan bisnis proses epurchasing, ITS mengembangkan modul epurchasing, UI untuk data warehouse dan inaproc. BPK dan BPKP dalam eaudit trail. PTN bahkan dengan inisiatifnya sendiri membangun kemitraan antar perguruan tinggi.

Setiap organisasi pemerintah maupun BUMN dipersilahkan membangun unit penyelenggara sistem elektronik dan memastikan semua penyedia barang/jasa difasilitasi dalam menggunakan sistem elektronik melalui pelatihan, pendampingan dan dukungan pengguna (helpdesk).

Selanjutnya, siapapun diajak untuk mempromosikan eprocurement sehingga banyak pihak terlibat dalam kegiatan sosialiasi maupun pelatihan eprocurement. Strategi “member get member” diterapkan dalam pengembangan eprocurement, dan “one for all and all for one” menjadi istilah untuk menggambarkan bahwa eprocurement dibangun oleh semua orang dan menjadi milik semua orang.

Seluruh LPSE kemudian menjadi komunitas sendiri yang saling membantu, saling belajar dan bersama-sama membangun integritas pengadaan.

Konsistensi: Konsistensi LKPP sebagai lembaga yang mendapat tugas dan kesempatan mendorong penerapan eprocurement mampu diperlihatkan LKPP selama 4 tahun ini. Sampai hari ini, “spirit” dan pendekatan partisipatif yang dibangun dapat terus dipertahankan walaupun dengan jumlah “customer” semakin besar dan terus bertambahnya pihak yang mengambil bagian dalam pembangunan eprocurement di Indonesia. LPSE adalah komunitas yang akan menjamin dan menjaga implementasi eprocurement di Indonesia. (Ikak G. Patriastomo)