15/04/14

Pengadaan di BUMN

Pengadaan di BUMN bagaimanapun juga perlu tetap dapat memberi dampak bagi perekonomian khususnya bagi peningkatan daya saing usaha nasional. Bila BUMN bisa mengikat kontrak yang lebih panjang dan menciptakan kepastian permintaan barang/jasa tertentu, maka dunia usaha akan membangun kapasitas suplai dan daya saingnya.

Karakteristik pengadaan di BUMN (yang lebih luwes dalam  kebijakan anggarannya) lebih memberi peluang kepada kebijakan pengadaan yang dapat mendorong industri nasional melalui jangka waktu kontrak yang lebih panjang (multi years) tanpa dibatasi dengan proses politik yang bisa tidak menentu.

Beberapa waktu yang lalu kita pernah disuguhi dengan pernyataan Menteri BUMN yang dikutip oleh berbagai media dari sudut pandang yang berbeda-beda dengan issue yang digarisbawahi berbeda pula.

Dari sudut pandang BUMN, prosedur yang diperkenalkan dalam peraturan presiden tentang pengadaan (yang di dalamnya terdapat kebijakan pengembangan industri nasional) dianggap tidak cukup mendukung kecepatan kebutuhan pengadaan untuk operasinya, khususnya untuk pengadaan barang yang memer lukan respon yang cepat. Keterlambatan suplai dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar, termasuk kerugian ekonomi dan masyarakat bila layanan adalah barang/ jasa publik.

Sebaliknya, kalangan pelaku usaha dalam negeri dengan sudut pandangnya mengkhawatirkan tidak adanya keberpihakan pada usaha nasional dan industri dalam negeri sebagaimana kebijakan pengadaan dalam Perpres Pengadaan Pemerintah yang mencoba untuk melihat usaha nasional dan produksi industri dalam negeri wajib dilindungi dan penggunaannya wajib dimaksimalkan. Kemudian, BMUN dikhawatirkan tidak memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha untuk masuk kepada persaingan usaha yang sehat.

Lebih lanjut, masyarakat luas melihat persoalan pengadaan di BUMN dengan pandangan yang skeptikal. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita masih belum mudah percaya bahwa pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun BUMN benar-benar sudah menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan benar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN akan perlunya membangun citra bahwa proses pengadaan yang dilakukan sudah mencerminkan penerapan prinsip good governance. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun tumbuhnya kepercayaan masyarakat.

Kesadaran akan tuntutan tersebut mendasari pemikiran dalam Perpres Pengadaan Pemerintah bahwa sistem pengadaan yang pertama dipilih adalah metode pelelangan umum atau tender dengan tetap responsif.

Walaupun Perpres Pengadaan Pemerintah tidak mengatur BUMN, metode lelang atau tender merupakan metode paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik, dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk menjamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dari perspektif pelaku usaha, pelelangan akan menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil sebagaimana perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Dengan demikian, sekali lagi walaupun Perpres Pengadaan Pemerintah tidak dimaksudkan untuk mengatur BUMN, namun prinsip-prinsip di atas, khususnya berkaitan dengan menegakan good governance dan memberi kesempatan yang luas kepada pelaku usaha nasional tetap tidak boleh dilanggar.

Akan halnya isu prosedur lelang dalam Perpres Pengadaan Pemerintah dianggap rumit, maka saya kira banyak praktisi pengadaan saat ini yang bisa membantu untuk membaca prosedur secara lebih sederhana.

Lepas dari persoalan prosedur, dalam banyak hal, kebutuhan mendesak akan suatu barang dikaitkan dengan proses pengadaan harus dipecahkan pada tahap perencanan kebutuhan dan manajemen kontraknya, bukan dengan penunjukan langsung.

Dalam kegiatan operasional, pada dasarnya semua kebutuhan dapat diren- canakan, termasuk penyediaan anggaran nya. Bahwa kebutuhan barang bisa benar-benar dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, dapat diatur dalam kontrak penyediaannya. Namun demikian, ada kemungkinan perencanaan kebutuhan dan anggaran tidak mempertimbangkan dan menjang kau berbagai resiko operasi.

Dengan alasan tersebut maka Perpres Pengadaan Pemerintah membatasi penggunaan penunjukan langsung hanya untuk penanganan yang memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, sehingga tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi yang lain, pelelangan juga tidak efektif bila diketahui dengan pasti hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita. Selanjutnya, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memerlukan waktu dan biaya, sehingga untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, waktu dan biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003 atau Perpres 54 Tahun 2010), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Change Management, kata kunci penerapan e-procurement di Indonesia

E-procurement adalah change management

Definisi yg sederhana, e-procurement atau Pengadaan secara elektronik adalah pengadaan yang didukung atau memanfaatkan TIK. Ada software dan hardware yang dijalankan. Tetapi, apakah begitu ada software dan hardware e-procurement kemudian langsung bisa berjalan? Membuat e-procurement diterapkan tidak sesederhana pengertiannya.

Dengan menggunakan model dalam "change management", e-procurement sebagai teknologi baru akan mempengaruhi atau memerlukan perubahan "people"nya maupun "process"nya. Digunakannya teknologi dimaksud, maka manusia dan prosesnya juga harus diubah menyesuaikan teknologinya. Demikian seterusnya, teknologinya juga perlu terus update manakala ekspektasi people meningkat dan ditentukannya proses terbaru. Dengan demikian, Interaksi manusia, proses dan teknologi akan terus menerus terjadi yang harus dikelola sebagai perubahan.

Oleh karena itu, mengelola penerapan e-procurement adalah mengelola perubahan (disiplin change management) yang perlu waktu, upaya sistematik, terbangunnya visi yang sama, adanya agen perubahan dan menjaga proses perubahan yang terus menerus.

Interaksi yang terjadi pada penerapan e-proc, sebagaimana penerapan teknologi pd umumnya, akhirnya bukan satu proses yang sekali selesai (Big Bang), karena melibatkan 600 K/L/D/I atau 400.000 pengelola pengadaan, 4,2 juta pelaku usaha maupun pamangku kepentingan yang lainnya.

Otomasi dan transformasi bisnis proses
Pada tahap awal, bisnis proses pengadaan dibangun berdasarkan Keppres 80 yang "dielektronikkan" (bisnis proses aplikasi berdasarkan proses manual). Pada tahap selanjutnya, semakin banyak proses manual yang diganti dengan proses yang memanfaatkan betul proses elektronis. Pada akhirnya, bisnis prosesnya menjadi berbeda sama-sekali. Bisnis proses e-tendering dan e-purchasing adalah perkembangan lanjut saat ini.
akan dilanjutkan...
Change Management, Technology Adoption, Innovation Management Process adalah beberapa kata kunci penerapan e-procurement di Indonesia.