19/10/17

Perpres Menghambat Pengadaan di BLU?

Di Badan Layanan Umum (BLU) atau dimanapun, pengadaan barang esensinya adalah upaya untuk memperoleh barang sesuai kebutuhan (sedapat mungkin yang terbaik, baik spesifikasi, mutu maupun pelayanan) dengan harga yang paling wajar (sesuai dengan harga pasarnya).

Bila kebutuhannya hari ini, maka dengan cara apapun, barang yang bersangkutan harus tersedia hari ini. Bahkan, kalau kebutuhannya saat ini juga, maka barang harus ada saat ini juga. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di BLU. Di perusahaan swasta maupun di pemerintah juga terdapat kebutuhan seperti ini.

Jadi bagaimana proses pengadaannya?

Kalau harus ada saat ini juga, maka segera dicari penyedia yang dapat menyediakan barang saat ini juga.  Tidak ada cara lain, kecuali dengan cara penunjukan langsung. Dalam banyak organisasi, penunjukan langsung ini dibatasi kondisinya karena kebutuhan yang seperti ini secara sesungguhnya tidak banyak terjadi atau bisa diantisipasi sehingga selalu dikurangi sifat mendadaknya.

Semakin panjang pengelola pengadaan memiliki pengalaman, semakin sedikit kebutuhan yang tidak dapat direncanakan.

Mengatur proses pengadaan di BLU yang hanya meningkatkan nilai pengadaan yang dapat ditunjuk langsung tidak menyelesaikan masalah pengadaan di BLU.  Bahkan bisa meningkatkan peluang inefisiensi proses maupun harga perolehan yang lebih mahal.


Ikak G. Patriastomo

14/10/17

Pengawasan Masyarakat di Era Pengadaan 2.0

Berkembangnya teknologi Web 2.0 memberi peluang sangat besar bagi aspek pengawasan masyarakat dan dunia pengadaan pada umumnya. Pengadaan dengan Web 2.0 (atau sebut saja dengan Pengadaan 2.0) maka masyarakat luas dapat mengikuti proses pengadaan dari manapun dan kapanpun. Indikasi penyimpangan dalam pengadaan kemudian akan mudah diketahui oleh masyarakat dan dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Selama ini, pengadaan sangat rentan disalahgunakan bila sistem pengawasan tidak memiliki "deterent effect" bagi pengelola pengadaan. Hari-hari ini dunia pengadaan secara terang-terangan mempertontonkan bahwa operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi belum memberi efek jera bagi pengelola pengadaan. Mungkin hal ini dikarenakan oleh masih banyaknya orang atau pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi belum dapat terjerat hukum oleh aparat penegak hukum.

Secara sederhana saya sering membuat sinyalemen bahwa saat ini masih banyak sebenarnya nilai pengadaan yang terindikasi dikorupsi. Dari angka e-procurement saja segera terlihat bahwa masih ada sekitar 60% pengadaan yang tidak menggunakan e-procurement (http://report-lpse.lkpp.go.id ). Misalnya tahun 2016, nilai pengadaan yang menggunakan e-procurement hanya Rp. 305 trilyun (e-tendering) dan Rp. 50 trilyun (e-purchasing). Padahal, total nilai pengadaan tahun 2016 tidak kurang dari Rp. 1.000 (seribu) trilyun. Artinya, ada kecenderungan pengadaannya dilakukan dengan penunjukan langsung atau pemilihan langsung. Ada banyak paket pekerjaan yang dibuat kecil-kecil atau dipecah kecil-kecil sehingga tidak perlu menggunakan e-tendering.

Harapannya, tentunya bukan untuk meningkatkan jumlah kasus hukum, melainkan membuat seseorang tidak memiliki kesempatan untuk lepas dari jeratan hukum bila melakukan korupsi dalam pengadaan. Konsep sederhananya, harus ada "watch dog" yang akan menggonggong bila ada sesuatu yang melanggar batas wilayahnya. Dalam pengadaan peran "watch dong" ini dapat dilakukan oleh pengelola pengadaan itu sendiri maupun oleh penyedia barang peserta lelang pengadaan. "Watch dog" juga dapat diperankan oleh masyarakat penerima manfaat proyek maupun komunitas pemerhati pengadaan  dan berbagai "civil society organization".

Sebelum era e-procurement, gagasan membangun sistem "watch dog" atau sering disebut sebagai sistem pengawasan lebih banyak hanya mengandalkan sistem pengawasan internal dan post audit. Pengawasan oleh masyarakat pada era sebelum ini menghadapi persoalan ketiadaan alat yang efektif untuk memfasilitasi pengawasan masyarakat.

Persoalan utama adalah transparansi proses pengadaan. Mengikuti proses pengadaan di era yang lalu sangat menyita waktu dan energi. Keterlibatan pihak di luar panitia pengadaan selalu berpotensi mengganggu dan menghambat kerja panitia pengadaan. Informasi menjadi barang yang sangat mahal untuk diperoleh.

Dengan e-procurement, transparansi proses pengadaan sudah tidak menjadi persoalan. Keterlibatan masyarakat secara luas praktis tidak menghadapi kendala. Namun demikian, masyarakat terutama pihak-pihak yang peduli dengan pengadaan perlu membangun kesadaran untuk memantau proses pengadaan sehingga apabila ada indikasi penyimpangan dapat diketahui.

Kesimpulannya, kalau hari ini masih ada yang mencoba memanfaatkan kesempatan untuk korupsi di bidang pengadaan melalui manipulasi proses pengadaan, maka tinggal tunggu waktu ada yang melaporkan atau mengadukan yang bersangkutan.