28/12/08

SIUP, Kemampuan Dasar dan Kualifikasi

Untuk menjadi penyedia barang dan jasa untuk pemerintah, seseorang atau perusahaan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha atau kegiatan sebagai penyedia barang dan jasa.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi, kesehatan, perhubungan, perindustrian, dan perdagangan itu sendiri, yang kemudian diwujudkan sebagai izin usaha.

SIUP atau Surat Izin Usaha Perdagangan adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan. Mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 09/M-DAG/PER/3/2006, setiap perusahaan wajib memiliki SIUP, yang dibedakan atas SIUP Kecil, SIUP Menengah, SIUP Besar, SIUP Perseroan Terbuka.

Memiliki SIUP tidak wajib bagi cabang perusahaan atau perwakilan perusahaan. Cabang atau perwakilan menggunakan SIUP perusahaan induknya dengan kewajiban melapor kepada pejabat penerbit SIUP di tempat kedudukan kantor cabang atau perwakilan.

SIUP juga tidak diwajibkan bagi perusahaan kecil perorangan yang tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan, serta diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau anggota keluarga atau kerabat terdekat.

Pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang pinggir jalan atau pedagang kaki lima juga tidak wajib memiliki SIUP.

Dengan SIUP yang dimilikinya, perusahaan dilarang melakukan perdagangan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan uraian yang tercantum dalam SIUP-nya. Dalam SIUP akan mengandung informasi mengenai bidang usaha (5 digit sesuai KBLI) dan jenis barang dagangan utama. Informasi ini penting bagi pengadaan karena secara hukum berdagang di luar yang dizinkan adalah dilarang.

SIUP berlaku untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan di seluruh wilayah Republik Indonesia selama perusahaan masih menjalankan kegiatan usaha perdagangan walaupun SIUP diterbitkan oleh pejabat penerbit SIUP di setiap Kabupaten dan Kota di masing-masing domisili perusahaan.

Lebih lanjut. SIUP tidak berlaku untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan selain yang tercantum di dalam SIUP-nya. Dengan kata lain, perusahaan tidak boleh melakukan kegiatan usaha di luar yang tertulis dalam SIUP-nya.

Aspek lain yang harus dipenuhi adalah aspek kemampuan usaha. Uraian bidang usaha maupun jenis barang dagangan utama yang tertulis di SIUP seringkali masih sangat luas, yang dalam banyak kasus perusahaan yang bersangkutan pada prakteknya hanya bergerak di satu barang dagangan saja, tetapi di dalam SIUP tercatum lingkup bidang usaha yang lebih dari yang biasa dijalankannya.

Di sini pentingnya panitia merumuskan tuntutan kemampuan calon penyedia. Cara paling lazim adalah mempersyaratkan pernah memiliki pengalaman melaksanakan atau menyediakan barang sejenis. Dalam ketentuan Keppres 80 tahun 2003, rumusan ini dapat diperlunak dengan rumusan memiliki kemampuan dasar (KD) untuk bidang atau sub bidang usaha. Maksudnya, perusahaan diberi kesempatan untuk memperlebar bidang usahanya melalui pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Namun demikian, panitia pengadaan tetap harus menilai tingkat resiko keberhasilan tersedianya barang dan jasa setelah kontrak. Pada pengadaan dengan tingkat resiko yang tinggi, pengalaman penyedia untuk melaksanakan pekerjaan sejenis dengan nilai yang kurang lebih sama akan mengurangi resiko kegagalan kontrak. Pada situasi ini, rumusan KD bisa jadi masih kurang menjamin kesuksesan pengadaan.

Sebaliknya, untuk pekerjaan dengan tingkat resiko rendah, mempersyaratkan pengalaman sejenis akan mengurangi peluang persaingan usaha dan kesempatan berusaha. Pada situasi ini rumusan KD masih dianggap berlebihan.

Akhirnya, aspek legal (perizinan) dan aspek kemampuan harus disandingkan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi, di samping yang tidak kalah pentingnya adalah track record.

Untuk poin yang terakhir, ketentuan pengadaan pemerintah memperkenalkan Black List bagi penyedia yang pengalaman kontraknya tidak memuaskan pengguna barang dan jasa.

.
Salam:
Ikak G. Patriastomo

25/12/08

Peluang Usaha Kecil

Sebagaimana kita ketahui, usaha kecil memiliki peran dalam mendistribusikan kesejahteraan yang lebih merata. Dengan pandangan ini, semakin besar jumlah usaha kecil yang mendapat kontrak pengadaan dari pemerintah semakin besar pula peluang terjadinya distribusi kesejahteraan yang lebih merata.

Selama ini, peluang usaha bagi usaha kecil dalam pengadaan barang/jasa pemerintah berkisar antara 30 – 40% dari total nilai pengadaan secara nasional. Dengan melihat karakteristik barang/jasa yang dibutuhkan pemerintah, porsi peluang usaha tersebut mestinya dapat diupayakan lebih besar.

Di samping itu, jumlah usaha kecil yang mendapat akses untuk memanfaatkan peluang pasar pengadaan juga sangat terbatas. Sebagai gambaran, jumlah usaha kecil yang sebenarnya potensial mengikuti pelelangan pengadaan barang/jasa tidak kurang dari 4 juta unit usaha kecil dari berbagai lapangan usaha seperti pertanian, jasa perdagangan, bangunan dan industri manufaktur skala kecil.

Namun data tahun 2002, jumlah total usaha kecil yang selama ini telah terlibat dalam pengadaan tidak lebih dari 150 ribu unit usaha (Data: KADIN dan LPJKN), yang sekitar 90 ribunya adalah usaha kecil di bidang jasa konstruksi.

Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa satu pengusaha pada umumnya menguasai lebih dari 3-5 unit usaha. Secara sederhana, pangsa pasar yang 30-40% (Rp. 100 trilyun) hanya dikuasai oleh sekitar 50 ribu pengusaha.

Kenyataan yang memprihatinkan ini disebabkan oleh kondisi persaingan usaha yang tidak sehat dan kolutif sehingga jumlah usaha kecil yang mendapat akses pada peluang usaha dalam pengadaan terbatas. Kita akan menjumpai di banyak kantor, penyedianya itu-itu saja. Sedangkan usaha kecil lainnya enggan ikut dalam pengadaan karena tidak yakin akan mendapat kesempatan yang sama (fair).

Oleh karena itu, sistem pengadaan yang dibangun mencoba untuk berpihak kepada kepentingan ini dan menjamin dapat memberi peluang usaha bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil dalam pengadaan barang/jasa melalui berbagai pengaturan sehingga menghasilkan pemerataan kesempatan berusaha kepada seluruh pelaku usaha.

Landasan hukum untuk itu sudah dimiliki, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1995 yang mewajibkan pemerintah memberikan peluang usaha kepada usaha kecil. Namun demikian, kontrol masyarakat untuk mengawasi implementasinya perlu juga ditingkatkan kesadarannya sehingga peluang yang diberikan kepada usaha kecil tidak dimanfaatkan oleh usaha yang bukan usaha kecil (usaha menengah dan usaha besar).

Pokok-pokok pengaturan Keppres 80 Tahun 2003 menjabarkan amanat UU tersebut meliputi:
1). Setiap instansi diwajibkan untuk mencadangkan paket pekerjaan yang hanya akan dilelangkan diantara usaha kecil. Salah satu ukurannya adalah paket pekerjaan dengan nilai sampai dengan Rp. 1 milyar. Di sini, apabila suatu instasi memiliki paket dengan nilai dibawah Rp. 1 milar, instansi yang bersangkutan harus menilai apakah paket pekerjaan tersebut mampu dilaksanakan oleh usaha kecil sehingga dapat dicadangkan untuk usaha kecil. Walaupun demikian, dalam banyak hal, memang tidak selalu paket di bawah Rp. 1 milyar dapat dilaksanakan oleh usaha kecil.

2). Perencanaan pemaketan pekerjaan (termasuk didorongnya pemecahan paket pekerjaan) perlu memberi peluang usaha sehingga memungkinkan akses usaha kecil dapat diperbesar sesuai dengan kemampuan usahanya.

3). Dilarangnya pembatasan wilayah operasi serta tidak dikenalnya klasifikasi badan usaha usaha dengan maksud mendorong usaha kecil berkembang sesuai dengan kemampuan dan peluang usaha yang lebih besar tanpa dibatasi dengan wilayah.

4). Kewajiban mengumumkan secara luas rencana maupun pelaksanaan pengadaan yang dimaksudkan untuk memberi akses yang sama kepada semua pelaku usaha kecil.

5). Disederhanakannya persyaratan usaha kecil dalam mengikuti pelalangan untuk mempermudah keterlibatan usaha kecil.

6). Dihapuskannya kewajiban sertifikat badan usaha secara umum untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi dan mendorong persaingan usaha.

Dengan pendekatan tersebut, pengelola pengadaan memang diminta untuk sedikit bertambah kerepotannya, namun kerepotan tersebut adalah bagian dari upaya kita untuk menumbuhkan usaha kecil yang kompetitif dan memeratakan kesempatan usaha melalui pengadaan.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Lelang di BUMN

BUMN dan Keppres 80/2003

Beberapa hari ini kita disuguhi dengan pernyataan Menteri BUMN yang dikutip oleh berbagai media dari sudut pandang yang berbeda-beda dengan issue yang digarisbawahi berbeda pula.

Dari sudut pandang BUMN, prosedur yang diperkenalkan dalam Keppres 80 Tahun 2003 dianggap tidak cukup mendukung kecepatan kebutuhan pengadaan untuk operasinya, khususnya untuk pengadaan barang yang memer lukan respon yang cepat. Keterlambatan suplai dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar, termasuk kerugian ekonomi dan masyarakat bila layanan adalah barang/ jasa publik.

Kalangan pelaku usaha dalam negeri dengan sudut pandangnya mengkhawatir kan tidak adanya keberpihakan pada usaha nasional dan industri dalam negeri sebagaimana kebijakan pengadaan dalam Keppres 80 yang mencoba untuk melihat usaha nasional dan produksi industri dalam negeri wajib dilindungi dan penggunaannya wajib dimaksimalkan. Kemudian, BMUN dikhawatirkan tidak memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha untuk masuk kepada persaingan usaha yang sehat.

Lebih lanjut, masyarakat luas melihat persoalan pengadaan di BUMN dengan pandangan yang skeptikal. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita masih belum mudah percaya bahwa pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun BUMN benar-benar sudah menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan benar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN akan perlunya membangun citra bahwa proses pengadaan yang dilakukan sudah mencerminkan penerapan prinsip good governance. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun tumbuhnya kepercayaan masyarakat.

Kesadaran akan tuntutan tersebut mendasari pemikiran dalam Keppres 80 bahwa sistem pengadaan yang pertama dipilih adalah metode pelelangan umum atau tender dengan tetap responsif.

Walaupun Keppres 80 tidak mengatur BUMN, metode lelang atau tender merupakan metode paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik, dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk menjamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dari perspektif pelaku usaha, pelelangan akan menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil sebagaimana perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Dengan demikian, sekali lagi wa laupun Keppres 80 tidak dimaksudkan untuk mengatur BUMN, namun prinsip-prinsip di atas, khususnya berkaitan dengan menegakan good governance dan memberi kesempatan yang luas kepada pelaku usaha nasional tetap tidak boleh dilanggar.

Akan halnya isu prosedur lelang dalam Keppres 80 dianggap rumit, maka saya kira banyak praktisi pengadaan saat ini yang bisa membantu untuk membaca prosedur secara lebih sederhana.

Lepas dari persoalan prosedur, dalam banyak hal, kebutuhan mendesak akan suatu barang dikaitkan dengan proses pengadaan harus dipecahkan pada tahap perencanan kebutuhan dan manajemen kontraknya, bukan dengan penunjukan langsung.

Dalam kegiatan operasional, pada dasarnya semua kebutuhan dapat diren- canakan, termasuk penyediaan anggaran nya. Bahwa kebutuhan barang bisa benar-benar dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, dapat diatur dalam kontrak penyediaannya. Namun demikian, ada kemungkinan perencanaan kebutuhan dan anggaran tidak mempertimbangkan dan menjang kau berbagai resiko operasi.

Dengan alasan tersebut maka Keppres 80 membatasi penggunaan penunjukan langsung hanya untuk penanganan yang memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, sehingga tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi yang lain, pelelangan juga tidak efektif bila diketahui dengan pasti hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita. Selanjutnya, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memerlukan waktu dan biaya, sehingga untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, waktu dan biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Billing Rate Konsultan

Pertanyaan yang sering muncul dalam setiap pertemuan adalah bagaimana mendapatkan harga yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai imbalan suatu pekerjaan jasa konsultansi.

Di pada yang lalu, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) berkaitan dengan standar harga satuan untuk jasa konsultan yang terkenal dengan sebutan Billing Rate Bappenas. Dalam perjalanannya, praktek penerapan billing rate tersebut menimbulkan kerancuan banyak pihak.

Angka-angka billing rate kemudian digunakan sebagai dasar negosiasi harga, dan panitia pengadaan cenderung tidak berani keluar dari angka yang ada. Akhirnya, pengguna seringkali menghadapi persoalan karena angka-angka tersebut tidak mencerminkan harga pasar sesungguhnya untuk suatu keahlian. Yang terjadi kemudian adalah akal-akalan (akrobat) dengan angka yang ada. Hal ini jelas tidak sehat. Pada waktu pemeriksaaan oleh auditor, persepsi serupa juga terjadi. Auditor memandang angka dalam SEB tersebut sebagai harga yang tidak boleh dilampaui.

Dari sisi penyedia, karena billing rate diperlakukan sebagai pagu yang tidak dapat dilampaui maka penyedia juga tidak dapat memberikan proposal yang baik. Penyedia jasa konsultansi kemudian menggunakan dan memberikan tenaga ahli yang mau dibayar di bawah harga pasar, atau mengajukan proposal yang dalam perjalanannya diganti dengan tenaga ahli yang lebih rendah kualifikasinya.

Alhasil, dua belah pihak terbelenggu oleh implementasi dari angka billing rate dalam SEB dan menyebabkan hasil pekerjaan tidak optimal.

Studi yang dilakukan oleh Bappenas tahun 1999 terhadap perkembangan jasa konsultansi nasional menyimpulkan bahwa billing rate dalam SEB yang diperlakukan sebagai pagu atau ”plafon” merupakan salah satu penyebab dunia jasa konsultansi nasional (proyek pemerintah) tidak berkembang dan tidak menarik.

Dari hasil studi tersebut, konsep billing rate harus diluruskan, dan pada tahun 2000 Bappenas dan Depkeu menerbitkan SEB untuk pedoman penyusunan rencana anggaran biaya jasa konsultansi yang di dalamnya tidak mencerminkan angka-angka sebagai pagu.

Lebih lanjut, dengan terbitnya Keppres 80 Tahun 2003, secara tegas diatur dalam pasal 53 bahwa semua ketentuan sebelumnya yang berkaitan dengan pengadaan dinyatakan tidak berlaku, termasuk pengaturan mengenai penetapan billing rate.

Singkatnya, berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, harga atau biaya pekerjaan jasa konsultansi yang dapat dipertanggung jawabkan pada prinsipnya merupakan harga yang diperoleh sebagai hasil proses seleksi umum yang kompetitif.

Pada proses seleksi, perusahaan jasa konsultansi harus menawarkan proposal teknis sebaik-baiknya dan proposal biaya, baik biaya langsung personil maupun biaya lainnya. Billing rate sebagai rincian dari komponen biaya personil yang ditawarkan adalah harga sesungguhnya dari suatu keahlian seseorang dan tingkat efisiensi perusahaan.

Pada metode evaluasi kualitas dan metode evaluasi kualitas dan biaya, karena faktor keahlian ini sangat penting dalam jasa konsultansi maka billing rate tenaga ahli yang ditawarkan tidak boleh dinegosiasi sepanjang billing rate yang bersangkutan tidak lebih dari 3,2 kali gaji dasar yang diterima tenaga ahli yang bersangkutan.

Dua metode evaluasi ini pada umumnya digunakan untuk pekerjaan yang relatif kompleks, atau perlu inovasi, dan tidak dapat mengacu kepada standar yang umum berlaku. Penyusunan RAB maupun proposal biaya jasa konsultansi perlu diperinci sampai kepada menentukan biaya langsung personil.

Istilah yang dulu pernah dikenal adalah jasa konsultansi yang lazimnya tidak memiliki standar fee (non standar). RAB maupun proposal biaya dapat diperinci ke dalam dua komponen biaya yaitu: Biaya Langsung Personil (Remuneration); dan Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost).

Pengertian Biaya Langsung Personil adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai tenaga ahli dan tenaga pendukung. Tenaga ahli adalah personel dengan jenis keahlian dan persyaratan tertentu seperti: Tingkat pendidikan tertentu misalnya perlu lulusan perguruan tinggi; Jenis keahlian (spesialisasi) tertentu; Pengalaman kerja profesional tertentu; Penguasaan bahasa, adat-istiadat dsb. Tenaga pendukung adalah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam rangka mendukung tenaga ahli baik dengan kualifikasi tertentu seperti operator komputer, sekretaris, sopir, maupun tenaga kerja tanpa kualifikasi seperti kurir, penjaga kantor, dsb.

Biaya Langsung Non Personil adalah semua perkiraan pengeluaran yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan kegiatan oleh tenaga ahli maupun tenaga pendukung. Untuk jasa konsultansi lazim biaya ini tidak lebih dari 40 persen total biaya.

Di samping perkerjaan konsultansi yang non-standar, juga dikenal pekerjaan jasa konsultansi yang dapat diberlakukan suatu standar fee. Biaya atau fee atau RAB dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari pekerjaan fisik terkaitnya, misalnya untuk disain gedung sebesar 4-7%, pengawasan 4%.

Pada jenis imbalan dengan standar tertentu, maka dengan mengacu pada Keppres 80 dapat dipilih metode evaluasi pagu anggaran. Pada metode ini, harga yang ditawarkan sama sekali tidak boleh dinegosiasi.

Pada metode ini, peserta seleksi perlu mengajukan proposal teknis sebaik-baiknya (dengan tenaga ahli terbaik) dan proposal biayanya tidak melampaui pagu. Pada metode ini tidak dipersoalkan billing rate. Jadi tidak perlu banting-bantingan.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

20/12/08

Pengumuman Lelang

Pengumuman dalam proses lelang merupakan salah satu tahapan yang sangat penting bagi tercapainya tujuan pengadaan. Pengumuman yang terbatas akan mengurangi peluang mendapatkan penawaran yang terbaik.

Di sisi pelaku usaha, pengumuman lelang yang luas akan memberi kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha yang memiliki kemampuan menyediakan barang/jasa. Pengumuman yang terbatas dapat dicurigai sebagai upaya panitia untuk membatasi peserta pelelangan.

Dalam praktek pengadaan barang/ jasa pemerintah, pengumuman lelang seringkali tidak cukup dipahami perlu dilakukan secara luas dan jelas. Alasan yang paling klasik adalah tidak disediakannya anggaran untuk biaya pengumuman. Untuk alasan ini tergambar bahwa dari tahap perencanaan anggaran, perencana tidak memahami pentingnya pengumuman bagi hasil belanja yang efisien. Ada pula laporan yang secara sengaja tidak menyediakan biaya untuk pengumuman agar pengadaan dapat diarahkan kepada penyedia tertentu (KKN).

Ketidakpahaman terhadap tujuan pengumuman paling gamblang dapat tergambar dari isi pengumuman yang dimuat. Sampai hari ini masih sering dijumpai muatan pengumuman yang hanya bersifat formalitas untuk memenuhi prosedur sehingga tidak memberi informasi yang jelas bagi pelaku usaha mengenai kebutuhan panitia maupun rencana pelaksanaan lelangnya.

Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, ada ketentuan bahwa isi pengumuman lelang harus memuat sekurang-kurangnya :
a) nama dan alamat pengguna barang/jasa yang akan mengadakan pelelangan umum;
b) uraian singkat mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan atau barang yang akan dibeli;
c) perkiraan nilai pekerjaan;
d) syarat-syarat peserta lelang umum;
e) tempat, tanggal, hari, dan waktu untuk mengambil dokumen pengadaan.

Pertanyaannya, apakah dengan memuat 5 butir yang diatur di atas informasi sudah pasti mencukupi? Dalam banyak kasus tidak cukup.

Informasi yang lengkap dan jelas selanjutnya harus dijamin tepat sasaran. Artinya, semua pelaku usaha yang mampu harus dipastikan tahu mengenai pengumuman lelang.

Penempatan pengumuman yang menjamin tepat sasaran sering juga tidak cukup dipahami. Panitia sering hanya menempatkan pengumuman pada surat kabar yang memberi tarif paling murah, yang biasanya peredaran dan oplahnya terbatas bahkan tidak dibaca oleh pelaku usaha. Dalam banyak kasus, hal ini juga ada unsur disengaja untuk mengurangi persaingan pada saat lelang.

Secara prosedur, pengumuman yang tepat sasaran dan menjangkau masyarakat pengusaha yang dituju diatur dalam Perpres 8 Tahun 2006 dengan ketentuan yang pada intinya pengumuman harus ditempatkan di:
a. Surat kabar yang ditetapkan oleh masing-masing Gubernur untuk pengumuman di provinsi yang bersangkutan untuk semua paket pekerjaan instansi pusat maupun daerah yang akan dilaksanakan di provinsi yang bersangkutan.
b. Surat kabar yang ditetapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk semua nilai paket pekerjaan di atas Rp. 1 milyar.

Dengan dipastikannya surat kabar yang menjadi tempat pengumuman, maka semua pelaku usaha menjadi lebih mudah mengikuti informasi pengadaan di semua instansi pemerintah. Di sisi lain, masyarakat menjadi lebih mudah untuk ikut mengontrol praktek-praktek penyimpangan proses pengadaan dalam tahap pengumuman.

Kembali pada pertanyaan, apakah sudah cukup dengan hanya menempatkan pengumuman di surat kabar yang ditetapkan? Jawabannya adalah selalu belum cukup. Untuk lebih menjamin tepat sasaran, media komuniasi lain masih diperlukan. Misalnya, memberi tahu pelaku usaha melalui telepon, fax, e-mail dll.

Akhirnya, walaupun pelelangan umum adalah metode yang paling menjamin tercapainya tujuan pengadaan dan semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil, harus diikuti dengan pengumuman yang memadai (muatan dan tempat meletakan pengumumannya).

Tanpa pengumuman yang benar, lelang akan menghasilkan harga barang yang mahal karena tidak kompetitif. Harga mahal bukan karena lelang.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Reformasi Birokrasi - Pegawai Tidak Harus PNS

Banyak pertanyaan yang mengganggu manakala memperhatikan kinerja birokrasi di Indonesia. Dalam banyak hal, mulai dari tingkat kesejahteraan, etos kerja, sampai pada etika, sangat jauh dari yang diharapkan oleh siapapun.

Hipotesis pertama: apakah pekerjaan yang selama ini ditangani oleh birokrat (pegawai negeri sipil) tidak dapat dikerjakan oleh kalangan non-birokrat (swasta-masyarakat).

Melihat banyaknya contoh pekerjaan yang semula didefinisikan sebagai tugas negara untuk melayani masyarakat namun kemudian masyarakat dan pelaku usaha juga memasuki lapangan pekerjaan tersebut, rasanya tidak ada alasan lagi bagi birokrat (PNS) untuk memonopoli peran dalam memberikan pelayanan kepada masyakat. Contoh: sekolah swasta untuk pendidikan, RS swasta untuk kesehatan, perusahaan asuransi untuk menyediakan jaminan sosial dll.

Dengan cara berpikir itu, keberadaan PNS sebagai suatu kelompok yang eksklusif (yang tidak bebas keluar masuk kelompok) menjadi pertanyaan besar. Rasanya PNS harus didefinisikan kembali. Lebih lanjut, apakah yang disebut dengan birokrat harus identik dengan PNS? rasanya harus ditinjau ulang.

Perkembangan dunia usaha dan pendidikan telah membuka banyak kemungkinan fungsi-fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan kepada publik dilaksanakan oleh masyarakat dan pelaku usaha. Bila di masa yang lalu pekerjaan seperti kebersihan kantor dilakukan oleh pegawai negeri sipil, kita lihat sekarang ini sudah banyak dilakukan oleh perusahaan cleaning service. Bila di masa lalu membangun jalan dilaksanakan oleh pegawai Dep. PU, saat ini suda banyak usaha jasa kontraktor. Dengan demikian, pada pada umumnya, akan banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang saat ini dilaksanakan oleh seseorang yang disebut PNS akan dikerjakan oleh pekerja-pekerja yang bukan berstatus PNS.

Bila demikian, maka hipotesis pertama di atas sudah terpatahkan. Administrasi kepegawaian dalam formatnya yang sekarang rasanya mendesak harus diubah. Pegawai negeri bukan lagi sebagai jabatan yang melekat seumur hidup sebelum pensiun, melainkan jabatan yang disandang manakala seseorang mengabdikan diri pada profesi dalam struktur organisasi pemerintahan.

Tidak diperlukan lagi guru/dosen yang PNS, atau Direktur RS yang PNS dll. Dirjen Bina Marga PU boleh jadi adalah profesional yang mengerti tentang kebinamargaan. Siapapun yang memenuhi syarat untuk pekerjaan di pemerintahan harus dimungkinkan melakukan pekerjaan memberi pelayanan kepada masyarakat atas beban anggaran negara.

Di masa yang akan datang akan ada pengumuman "Lowongan Pekerjaan Direktur RS Cipto Mangunkusumo" yang diiklankan oleh Depkes bagi siapa saja yang memenuhi syarat dan kompeten, baik yang sudah di dalam struktur pemerintahan maupun di luar struktur. Seorang Direktur RS Swasta yang profesional dapat memimpin RS Cipto.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

06/12/08

Transparansi dan Pengadaan

Setelah reformasi berjalan 5 tahun, pada tahun 2002 yang lalu Tim Pengembangan Kebijakan Tata Pemerintahan yang Baik ("Good Public Governance") Bappenas melakukan penelitian terhadap tingkat pemahaman 14 prinsip-prinsip "good public governance" yang meliputi prinsip-prinsip:
1. Visioner;
2. Transparansi;
3. Responsif;
4. Akuntabel;
5. Profesional & Kompeten;
6. Efisien & Efektif;
7. Desentralistis;
8. Demokratis;
9. Partisipatif;
10. Kemitraan;
11. Supremasi Hukum;
12. Pengurangan Kesenjangan;
13. Komitmen Pasar; dan
14. Lingkungan Hidup.

Berdasarkan penelitian terhadap 441 peserta pendidikan dan pelatihan ADUM dan SPAMA seluruh Indonesia, secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar responden memahami secara umum prinsip-prinsip tata pemerintahan, dengan tingkat pemahaman yang cukup tinggi. Tingkat pemahaman rata-rata mencapai nilai 7,81. Di samping itu, sebagian besar responden memiliki nilai pemahaman di atas 6,5 (lower quartile). Namun demikian, ternyata terdapat pula responden yang tidak memahami sama sekali prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Dalam penelitian ini juga diperoleh gambaran bahwa terdapat responden yang mampu menjawab dengan benar terhadap hampir semua pertanyaan yang diajukan.

Pengukuran pemahaman terhadap satu persatu prinsip-prinsip tersebut, diperoleh gambaran bahwa prinsip ke 2 (transparansi) menduduki urutan pertama diantara prinsip-prinsip yang paling tidak dipahami. Terdapat 49,4 persen responden yang tidak dapat memahami konsep tentang transparansi. Di urutan kedua, dengan persentase 43,4 persen, responden juga tidak memahami Prinsip-14 yaitu tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup. Sedangkan urutan ketiga yang tidak dipahami adalah Prinsip-9 yaitu tata pemerintahan yang
mendorong partisipasi masyarakat, meliputi 36,6 persen responden.

Dengan hasil tersebut dapat dimengerti kesulitan pengelola pengadaan dalam memahami konsep transparansi dalam Keppres 80 Tahun 2003 sehingga proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat dikatakan masih belum transparan sampai saat ini. Lebih lanjut dapat dimaklumi pula apabila ujian sertifikasi keahlian pengadaan banyak yang tidak lulus karena kesulitan memahami salah satu prinsip dasar pengadaan publik, yaitu transparansi.

Transparansi dalam proses pengadaan adalah prinsip dasar yang apabila mampu diimplementasikan secara maksimal akan menjamin hak-hak semua pihak yang terlibat dalam pengadaan. Sebaliknya, pengadaan yang tidak transparan sangat berpotensi disalahgunakan. Lebih lanjut, pengadaan yang tidak transparan dapat saja menjadi ukuran tingginya tingkat kepentingan yang tidak semestinya dalam pengadaan.

Lebih lanjut, proses pengadaan yang tidak transparan menyebabkan "trust" kepada pengelola pengadaan menjadi sangat rendah sehingga akan membuat proses pengadaan mengalami banyak hambatan. Pengalaman penulis selama ini untuk meyakinkan para pengelola pengadaan bahwa proses pengadaan bersifat tidak rahasia sangat sukar untuk diterima.

Beberapa contoh perilaku yang menggambarkan tidak tepatnya pemahaman berkaitan dengan prinsip ini misalnya pengumuman yang hanya sebatas memenuhi aturan Keppres. Kita banyak menjumpai pengumuman lelang berisi informasi yang sangat tidak menggambarkan kebutuhan pengguna. Juga panitia pengadaan yang tidak mau ada orang lain (walaupun orang lain itu adalah stafnya) terlibat dalam proses evaluasi.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Rencana Pengadaan dan RPJM

Setiap kita akan memasuki tahun baru, harapannya, di tahun yang akan datang kinerja pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih baik dari tahun sebelumnya. Dalam pengadaan, kita perlu mengawali tahun baru dengan langkah-langkah persiapan pengadaan. Langkah pertama yang penting bagi pelaku usaha adalah mengumumkan rencana pengadaan kepada masyarakat luas.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 butir h dan pasal 7 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003, setiap instansi pemerintah wajib mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa setiap awal pelaksanaan tahun anggaran.

Dengan Perpres 8 Tahun 2006, pengumuman secara terbuka rencana pengadaan dilakukan melalui website pengadaan nasional yang dikoordinasi kan oleh Bappenas dengan alamat:
www.pengadaannasional-bappenas.go.id dan/atau website masing-masing instansi yang telah diintegrasikan dalam website pengadaan nasional.

Pengumuman rencana pengadaan adalah bentuk dari penjabaran prinsip transparansi kepada publik tentang kegiatan pengadaan yang akan dilaksanakan selama tahun anggaran berjalan. Dengan melihat rencana pengadaan, setiap orang dapat mengetahui paket-paket pengadaan yang ada, cara melaksanakannya apakah akan dilelang atau tidak, termasuk nilai kegiatan pengadaan di suatu instansi.

Pengumuman rencana pengadaan juga menjadi indikator pemahaman pada prinsip transparansi di instansi yang bersangkutan. Pada hakekatnya, informasi anggaran dan penggunaan nya bukanlah sesuatu yang rahasia.

Sebagaimana kita ketahui, pengadaan barang dan jasa pemerintah diharapkan juga memberi sumbangan pada aspek ekonomi makro. Kebijakan pengadaan kita menginginkan adanya manfaat ekonomi yang luas dari hasil pengadaan dengan semakin tumbuh dan berkembangnya industri dalam negeri yang kompetitif.

Kebijakan pengadaan kita juga menginginkan pengadaan memberi kesempatan yang sangat luas kepada pelaku usaha nasional, khususnya usaha kecil dan koperasi kecil.

Informasi rencana pengadaan ini sangat penting bagi pelaku usaha karena informasi paket-paket pengadan beserta nilainya adalah informasi peluang usaha bagi pelaku usaha. Semakin dini pelaku usaha mengetahui paket-paket pengadaan yang diperlukan oleh instansi pemerintah, semakin siap dunia usaha kita untuk dapat mendapat kesempatan memenangkan persaingan.

Dari kepentingan pelaku usaha, informasi rencana pengadaan di awal tahun anggaran dalam banyak kasus sesungguhnya sudah agak terlambat. Untuk kebutuhan yang tidak rutin, pelaku usaha nasional sangat memerlukan informasi rencana investasi pemerintah ke depan karena untuk dapat mengantisipasi meningkat nya belanja pemerintah untuk suatu komoditas atau barang, termasuk barang modal, dunia usaha perlu menyiapkan kemampuannya (finansial, sumberdaya manusia, maupun teknologi).

Pada tataran makro, informasi rencana pengadaan yang lebih awal dan lebih menyeluruh untuk rencana investasi pemerintah dalam jangka menengah akan meningkatkan cost eficiency belanja pemerintah sekaligus memperbaiki kapasitas suplai dalam negeri.

Apabila suplai dalam negeri tidak dibenahi atau tidak mendapat informasi yang cukup tentang investasi pemerintah secara spesifik (untuk apa saja, dengan proyek seperti apa, di mana dan dengan teknologi yang seperti apa), maka peningkatkan investasi pemerintah tidak akan dapat diantisipasi oleh industri dan usaha dalam negeri.

Dengan kata lain, industri dan usaha dalam negeri tidak akan dapat memanfaatkan peluang usaha dengan maksimal. Saya khawatir yang akan mendapat keuntungan lebih besar dari belanja pemeritah justru adalah usaha asing atau industri negara lain. Contoh yang paling baru adalah kasus impor tabung gas untuk konversi BBM.

Pada situasi suplai terbatas, tingkat persaingan yang ada tidak akan memberi harga yang menguntungkan konsumen. Bahkan, dalam banyak kasus, keterbatasan suplai membuka peluang korupsi. Akhirnya, belanja pemerintah tidak memberi manfaat yang maksimal, bagi pelayanan publik maupun bagi kepentingan dunia usaha nasional.

Di sini saya melihat perlunya indikasi kegiatan pada saat penyusunan RPJM disampaikan secara luas kepada dunia usaha.

Salam:
Ikak G. Patriastomo