15/04/14

Pengadaan di BUMN

Pengadaan di BUMN bagaimanapun juga perlu tetap dapat memberi dampak bagi perekonomian khususnya bagi peningkatan daya saing usaha nasional. Bila BUMN bisa mengikat kontrak yang lebih panjang dan menciptakan kepastian permintaan barang/jasa tertentu, maka dunia usaha akan membangun kapasitas suplai dan daya saingnya.

Karakteristik pengadaan di BUMN (yang lebih luwes dalam  kebijakan anggarannya) lebih memberi peluang kepada kebijakan pengadaan yang dapat mendorong industri nasional melalui jangka waktu kontrak yang lebih panjang (multi years) tanpa dibatasi dengan proses politik yang bisa tidak menentu.

Beberapa waktu yang lalu kita pernah disuguhi dengan pernyataan Menteri BUMN yang dikutip oleh berbagai media dari sudut pandang yang berbeda-beda dengan issue yang digarisbawahi berbeda pula.

Dari sudut pandang BUMN, prosedur yang diperkenalkan dalam peraturan presiden tentang pengadaan (yang di dalamnya terdapat kebijakan pengembangan industri nasional) dianggap tidak cukup mendukung kecepatan kebutuhan pengadaan untuk operasinya, khususnya untuk pengadaan barang yang memer lukan respon yang cepat. Keterlambatan suplai dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar, termasuk kerugian ekonomi dan masyarakat bila layanan adalah barang/ jasa publik.

Sebaliknya, kalangan pelaku usaha dalam negeri dengan sudut pandangnya mengkhawatirkan tidak adanya keberpihakan pada usaha nasional dan industri dalam negeri sebagaimana kebijakan pengadaan dalam Perpres Pengadaan Pemerintah yang mencoba untuk melihat usaha nasional dan produksi industri dalam negeri wajib dilindungi dan penggunaannya wajib dimaksimalkan. Kemudian, BMUN dikhawatirkan tidak memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha untuk masuk kepada persaingan usaha yang sehat.

Lebih lanjut, masyarakat luas melihat persoalan pengadaan di BUMN dengan pandangan yang skeptikal. Sebagaimana dimaklumi, masyarakat kita masih belum mudah percaya bahwa pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun BUMN benar-benar sudah menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan benar. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BUMN akan perlunya membangun citra bahwa proses pengadaan yang dilakukan sudah mencerminkan penerapan prinsip good governance. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun tumbuhnya kepercayaan masyarakat.

Kesadaran akan tuntutan tersebut mendasari pemikiran dalam Perpres Pengadaan Pemerintah bahwa sistem pengadaan yang pertama dipilih adalah metode pelelangan umum atau tender dengan tetap responsif.

Walaupun Perpres Pengadaan Pemerintah tidak mengatur BUMN, metode lelang atau tender merupakan metode paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik, dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk menjamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Dari perspektif pelaku usaha, pelelangan akan menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil sebagaimana perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Dengan demikian, sekali lagi walaupun Perpres Pengadaan Pemerintah tidak dimaksudkan untuk mengatur BUMN, namun prinsip-prinsip di atas, khususnya berkaitan dengan menegakan good governance dan memberi kesempatan yang luas kepada pelaku usaha nasional tetap tidak boleh dilanggar.

Akan halnya isu prosedur lelang dalam Perpres Pengadaan Pemerintah dianggap rumit, maka saya kira banyak praktisi pengadaan saat ini yang bisa membantu untuk membaca prosedur secara lebih sederhana.

Lepas dari persoalan prosedur, dalam banyak hal, kebutuhan mendesak akan suatu barang dikaitkan dengan proses pengadaan harus dipecahkan pada tahap perencanan kebutuhan dan manajemen kontraknya, bukan dengan penunjukan langsung.

Dalam kegiatan operasional, pada dasarnya semua kebutuhan dapat diren- canakan, termasuk penyediaan anggaran nya. Bahwa kebutuhan barang bisa benar-benar dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, dapat diatur dalam kontrak penyediaannya. Namun demikian, ada kemungkinan perencanaan kebutuhan dan anggaran tidak mempertimbangkan dan menjang kau berbagai resiko operasi.

Dengan alasan tersebut maka Perpres Pengadaan Pemerintah membatasi penggunaan penunjukan langsung hanya untuk penanganan yang memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, sehingga tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi yang lain, pelelangan juga tidak efektif bila diketahui dengan pasti hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita. Selanjutnya, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memerlukan waktu dan biaya, sehingga untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, waktu dan biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003 atau Perpres 54 Tahun 2010), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.


Salam:
Ikak G. Patriastomo

Change Management, kata kunci penerapan e-procurement di Indonesia

E-procurement adalah change management

Definisi yg sederhana, e-procurement atau Pengadaan secara elektronik adalah pengadaan yang didukung atau memanfaatkan TIK. Ada software dan hardware yang dijalankan. Tetapi, apakah begitu ada software dan hardware e-procurement kemudian langsung bisa berjalan? Membuat e-procurement diterapkan tidak sesederhana pengertiannya.

Dengan menggunakan model dalam "change management", e-procurement sebagai teknologi baru akan mempengaruhi atau memerlukan perubahan "people"nya maupun "process"nya. Digunakannya teknologi dimaksud, maka manusia dan prosesnya juga harus diubah menyesuaikan teknologinya. Demikian seterusnya, teknologinya juga perlu terus update manakala ekspektasi people meningkat dan ditentukannya proses terbaru. Dengan demikian, Interaksi manusia, proses dan teknologi akan terus menerus terjadi yang harus dikelola sebagai perubahan.

Oleh karena itu, mengelola penerapan e-procurement adalah mengelola perubahan (disiplin change management) yang perlu waktu, upaya sistematik, terbangunnya visi yang sama, adanya agen perubahan dan menjaga proses perubahan yang terus menerus.

Interaksi yang terjadi pada penerapan e-proc, sebagaimana penerapan teknologi pd umumnya, akhirnya bukan satu proses yang sekali selesai (Big Bang), karena melibatkan 600 K/L/D/I atau 400.000 pengelola pengadaan, 4,2 juta pelaku usaha maupun pamangku kepentingan yang lainnya.

Otomasi dan transformasi bisnis proses
Pada tahap awal, bisnis proses pengadaan dibangun berdasarkan Keppres 80 yang "dielektronikkan" (bisnis proses aplikasi berdasarkan proses manual). Pada tahap selanjutnya, semakin banyak proses manual yang diganti dengan proses yang memanfaatkan betul proses elektronis. Pada akhirnya, bisnis prosesnya menjadi berbeda sama-sekali. Bisnis proses e-tendering dan e-purchasing adalah perkembangan lanjut saat ini.
akan dilanjutkan...
Change Management, Technology Adoption, Innovation Management Process adalah beberapa kata kunci penerapan e-procurement di Indonesia.















02/03/14

Cintailah Pekerjaanmu, Catatan Seorang Ikak G. Patriastomo

Kalau tidak salah ingat, sejak duduk di bangku kelas 5 SD, saya telah menyukai hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan arsitektur. Mungkin karena Bung Karno dari ITB, maka pada saat itu sudah ada keinginan bisa kuliah di ITB dan menjadi seorang insinyur. Mungkin pula karena membaca buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat" karangan Cindy Adams sehingga punya keinginan itu

Di samping buku itu, membaca buku-buku fiksi seperti karangan Jules Verne: "20.000 kaki di Bawah Permukaan Laut", atau buku-buku seperti tentang "Bintang-Bintang di Alam Raya" dan "Pengalaman Ekspedisi Ilmiah Terkenal" juga menjadi buku kegemaran, yang saya baca berkali-kali. Yang saya ingat, saat itu ada seorang mahasiswa Undip atau IKIP yang kost di tempat kami tinggal yang memberi buku-buku itu. Kami memanggilnya Om Hasan, dari Kuningan.

Kalau boleh berbagi, saya selalu mencoba melakukan sesuatu karena didorong oleh rasa kewajiban dan sebagai tanggung jawab atas amanah yang diberikan kepada saya. Kemudian saya akan mencoba membangkitkan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Mungkin karena itu, saya dapat selalu mencintai semua pekerjaan yang diamanahkan dan menekuninya. Harapannya semuanya akan berjalan dengan baik dan lancar. Dengan memahami pekerjaan yang kita geluti kemudian berusaha seoptimal mungkin, kita dapat mengembangkannya supaya bermanfaat bagi institusi, masyarakat dan negara.

Begitu lulus tahun 1996, sesuai bidang pendidikan, saya memulai karir dengan memimpin perencanaan dan pengawasan beberapa proyek di berbagai kota dan kabupaten seperti Cirebon, Subang, Karawang, Rangkas Bitung, Tasikmalaya dan Kalimantan Timur.

Tahun 1991, selesai pendidikan Magister di bidang perencanaan wilayah dan kota di ITB, saya mulai terlibat dengan koordinasi pembangunan perkotaan. Tahun 1994 saya baru memulai karir  di Bappenas. Bapak Sugeng Rahardjo (yang saat itu menjadi pembimbing saya) adalah orang yang mendorong saya berkarir di Bappenas. 

Awal karir saya ini adalah bidang kerjasama ekonomi luar negeri,  khususnya administrasi usulan dan kontrak-kontrak proyek pinjaman luar negeri. Bidang yang sangat tidak berhubungan dengan pendidikan saya. Atasan langsung saya pada saat itu adalah Bapak Agus Rahardjo (saat itu masih Kasie) yang sekarang menjadi Kepala LKPP, dan masih menjadi atasan saya saat ini. Hehehe...

Keterlibatan di bidang pengadaan, dimulai tahun 1995, dengan  keterlibatan saya pada  kegiatan Tim Evaluasi Pengadaan di Bappenas (Tim Keppres 6 Tahun 1995) yang bertugas menyetujui kontrak proyek-proyek besar. Sejak saat itu saya mulai ikut merumuskan dan menyusun Keppres 18/2000 dan Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa, termasuk ikut dalam proses pembentukan LKPP (sejak 1999) dan terbentuk tahun 2007.

Di tahun 2003 awal, saya mulai merintis pengembangan e-Procurement sampai pada akhirnya menjadi Direktur e-Procurement LKPP tahun 2008 s/d 2013. 

Sejak tahun 2005 merintis pembentukan IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) yang pada akhirnya terbentuk pada tahun 2008 melalui Konggres I IAPI di Semarang yang terselenggara atas kerjasama anggota IAPI, UNDIP, ADB dan LKPP. 

Pada tahun yang sama saya mulai menggulirkan implementasi e-procurement dan pembentukan LPSE di 600 K/L/D/I yang hasilnya pada akhir tahun 2013 telah mentransaksikan pengadaan sebesar Rp. 470 trilyun dengan nilai penghematan sebesar Rp. 44 trilyun. Saat ini saya telah menjabat Deputi di LKPP. Saya merasa masih banyak hal yang harus dilakukan. 

Lepas dari semuanya itu, saya selalu berharap bisa mencintai pekerjaan yang ada di depan saya, ikhlas atas upaya kita, dan juga berharap semuanya bisa menjadi ibadah saya.

(kutipan tulisan di Majalah Procurement Indonesia).


23/02/14

Komentar pada Sebuah Cangkir



Pagi itu, 21 Feb 2014, kunikmati secangkir kopi yang seperti biasa dari hari ke hari kusiapkan sendiri. Aku merasa harus menyiapkannya sendiri karena ada formulanya: kopi, creamer dan gula, bahkan panasnya air ada ukurannya. Kalau orang lain yang membuat tidak pernah pas dengan rasa yang kubayangkan.

Sedikit kusruput kopi itu, dan aku seperti tersadarkan sesuatu. Cangkir ini sudah menemaniku lebih dari 10 th menikmati kopi pagi.  Aku tidak ingat  persis kapan mulainya, tapi seingatku sejak aku pindah ke gedung baru Bappenas aku mulai menggunakan cangkir ini. Saat itu tahun 1998. Bisa juga tahun 2000, walaupun kalau tahun 2000, terlalu jauh dari waktu pindah.


Tetapi apakah 1998 atau 2000, tetap saja sudah lebih dari 10 tahun aku bersama cangkir ini melalui ritual minum kopi pagi.

Kuambil foto cangkir yang isinya sudah kuminum sedikit. Iseng-iseng foto ku-upload ke akun facebook milikku. Lumayan untuk dokumentasi sebuah cangkir, pikirku.

Saat itu pula, segera komentar masuk. Komentar pertama datang dari Pak Edy Sunyoto dengan komentar "kesetiaan sebuah cangkir atau tuannya". Bagus juga kalimatnya. Bisa untuk judul film atau sinetron atau tulisan ini.

Rasanya, bukan cangkir itu yang setia, tapi mungkin aku yang tidak pernah berpikir tentang sebuah cangkir untuk minum kopi di pagi hari. Memikirkan akan minum pakai cangkir apa juga tidak pernah. Tapi cangkir itu selalu disediakan tiap pagi oleh Danang yang sudah lebih dari 8 tahun bekerja dengan setianya, sejak LKPP belum berdiri.

Sudah lama aku tidak bertemu dengan Pak Edy. Aku kenal Pak Edy sudah sama lamanya dengan cangkir itu menemaniku minum kopi. Kalau tidak salah, yang ini mungkin perlu konfirmasi dengan beliau, kami mulai sering bertemu sejak aku mulai kewalahan mendapatkan petugas untuk mengawasi ujian pengadaan. Waktu itu tahun 2006.

Sejak saat itu, pak Edy adalah orang yang sering kuminta mengunjungi kabupaten terpencil untuk melaksanakan ujian pengadaan. Pasti banyak yang bisa diceritakan perjuangan menjaga integritas ujian pengadaan. Pada masa-masa itu, tidak akan ada yang percaya bahwa kelulusan ujian tidak bisa dibeli. Dengan berbagai cara, banyak yang berusaha menyogok, membeli soal dan jawabannya. Orang juga tidak percaya bahwa kelulusan adalah lulus.

Komentar kedua dari Dini.    Dini surprise bahwa ternyata aku juga suka kopi seperti suaminya. Sebenarnya saya juga heran mengapa Dini surprise. Dini adalah istri Pipit teman main waktu saya di SMP di Semarang dulu yang sampai saat ini masih sering bertemu di Jakarta. Kedekatanku dengan Pipit karena kami tinggal berdekatan. Walau tdk satu komplek, tapi masih satu kelurahan.

Pada jaman itu setiap anak punya geng. Di semarang banyak kelompok-kelompok geng anak-anak tanggung seperti ini yang ingin eksis.  Hal ini sering membuatku tersenyum geli kalau mengenang masa itu.

Gengku namanya Kismis. Singkatan sekenanya dari kesatuan individu siswa dinamis. Kelompok ini terinspirasi dari tokoh-tokoh pergerakan tahun 1930an. Karena itu kegiatannya lebih banyak belajar bersama, membina Pramuka, diskusi ide-ide besar. Kalau kupikir, agak tidak biasa anak-anak SMP sudah berdiskusi gagasan kebangsaan. Mungkin karena membaca Sukarno, Penyampung Lidah Rakyat.

Kalau tidak salah ada 12 orang yang jadi anggota gengku. Diantaranya Pipit suami Dini dan Retno si dokter kecantikan di Semarang yang membayangkan “harus berhati-hatinya yang nyuci cangkir” atau “begitu hati-hatinya yang mencucinya”.

Waktu membaca komentar Retno:"sing isah isah hati2", agak lama aku harus berpikir untuk mengerti maksudnya, maklum sudah lama bahasa Jawa tidak pernah ada dalam khasanah tulisku. Perlu berkali-kali kubaca ulang komennya.

Mungkin sebagian besar orang Jawa saat ini tidak biasa lagi menulis bahasa Jawa. Bahasa ini masih kupakai berkomunikasi kalau lawan bicaraku orang Jawa yang kenal dekat. Tapi hampir tidak pernah aku menuliskannya dalam tulisan. Komunikasi tulisan dengan adik-adikku saja selalu dalam bahasa Indonesia.

Lain lagi komentar berikutnya. Adik sepupuku yang satu ini, Febi usul untuk ganti cangkir. Usiaku dengan Febi terpaut jauh, sekitar 16 tahun. Mungkin orang seusia dia tidak terlalu melankolik sehingga barang yang sudah terlalu lama layaknya segera diganti. Dari anak-anaknya Febi ini aku menyadari betul makna generasi yang begitu lahir sudah melihat gadget dan internet. Bayangkan, anak sekarang umur 7 tahun begitu sampai di restoran langsung bertanya kepada pelayan resto username dan password hotspotnya.

Komentar Febi ini wajar saja karena dari segi disain, si cangkir ini memang biasa saja, bahkan bisa dikatakan tidak ada nilai artistiknya yang luar biasa. Si cangkir juga bukan keramik mahal yang ekslusif. Di jamannya pasti banyak jumlahnya. Namun mungkin sekarang sukar dicari yang sama. Kalau harus dibuat replika tentu jadi mahal sekali karena cangkir ini produk industri.

Aku juga tidak tahu membelinya dimana. Jaman itu belum ada KPK. Pejabat masih tidak dilarang terima parsel lebaran. Pada posisiku saat itu, setiap lebaran banyak pihak mengirimiku parsel. Cangkir ini adalah salah satu isi parsel yang ada pada waktu itu.

Ada komentar yang datang mungkin dari seorang pelaku usaha yang sering ikut lelang. Terus terang saya tidak ingat kenal dimana. Tapi dia ada di tautan akun FBku. Yang saya ingat dengan teman ini adalah komentarnya yang selalu menuntut apakah LKPP atau orang lain untuk berbuat sesuatu memperbaiki keadaan terutama kindisi pelelangan yang tidak fair.

Maksudnya mungkin benar, tetapi hal ini kadang implisit menggambarkan pengetahuan para pelaku usaha secara umum yang terbatas tentang pengadaan. Dalam benaknya sepertinya semua orang diam tidak melakukan upaya apapun untuk memperbaiki keadaan. Pemberitaan memang tidak sering memberitakan hal yang positif sehingga inisiatif dan perjuangan insan pengadaan tidak pernah menjadi berita.

Yang kulihat, banyak pelaku usaha seperti ini saat ini. Kepercayaannya pada proses lelang sangat rendah. Dalam benaknya seperti tidak ada upaya yang dapat dilakukan atau belum ada upaya apapun untuk melakukan sesuatu. Lebih jauh lagi, seringkali yang bersamgkutan bahkan tidak melakukan suatu apapun apalagi memperjuangkan sesuatu untuk mengubah keadaan yang tidak disukainya.

Kadang-kadang komentar yang datang dari orang seperti ini membuat jengkel juga. Tidak akan ada penjelasan yang dianggapnya benar. Seringkali diskusi menjadi keluar konteks. Yang lebih menjengkelkan kalau kemudian solusi harus datang seseorang atau pihak di luar yang sedang berdiskusi. Untuk apa diskusi di luar kemampuan yang berdiskusi. Pasti tidak akan menghasilkan apa-apa.

Komentar yang datang dari staf yang sudah lama agak lain. Seperti komentar dari Anita. Komentarnya memang agak melo. Mereka pasti bisa membayangkan perjalanan ide-ide di balik kejadian minum kopi setiap pagi dengan cangkir itu. Atau Novi yang bercanda tentang cangkir biru yang sebiru hatiku.. Hehehe

Cangkir jadi pengingat haru-biru perasaan yang mengikutinya dan yang pernah memandangnya. Tentunya yang memandang tidak satu dua kali. Mungkin setiap kali kupanggil yang dipandangnya adalah cangkir itu, karena tidak berani memandangku.

Anita mungkin salah satu stafku yang merasakan kusemprot kalau menjawab pertamyaanku dengan asal jawab. Pada masa itu, rasanya saya memang lebih mudah marah. Tapi hebatnya semua stafku, mereka rasanya tidak pernah sakit hati. Mungkin karena sadar kesalahan mereka. Pada umumnya, mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali. Atau tidak punya pilihan lain. Semoga bukan yang terakhir.

Arso, staf yang baru untuk ukuran perjalanan ide pengadaan, masuk tahun 2010, ternyata punya kesan yang mendalam tapi juga "traumatis". Kuberi tanda kutip karena aku tidak tahu apakah positif atau negatif.

Kalau membaca komentarnya, "...rapat senin an auranya beda kalau ada cangkir itu...ngeri-ngeri sedap", cangkir bisa diartikan secara harafiah kehadiranku. Tapi cangkir juga dapat dimaknai simbolis sebagai tekanan keseriusan tertentu.

Setiap hari Senin saya selalu mengadakan rapat staf untuk menanyakan progress kegiatan masing-masing. Semua staf memiliki tanggung jawab sesuai pilihannya. Pada rapat "Senin an" ini setiap orang akan mendapat sedikit stress kalau tidak bisa menggambarkan progress kegiatannya.

Ada seloroh, rapat senenan diplesetkan dengan rapat "diseneni... ". Bahasa jawa kena marah. Aku tertawa kalau mengingat ini.

Ya, pengadaan memerlukan orang yang serius mengubahnya. Juga memerlukan orang-orang yang tepat untuk dapat mengubahnya.

Lain lagi dengan Pak Made Sudarsana. Walaupun pak Made Sudarsana tidak merasakan aura yang sama dengan Arso pada cangkir itu, tapi pergulatannya sejak dia kenal pertama kali denganku menyebabkan ia berkomentar:" perlu disimpan untuk dilestarikan dimuseum pribadi".

Pak Made Sudarsana dkk di Kabupaten Badung adalah "orang biasa yang tidak biasa".  Dia bukan pejabat tinggi. Bukan pula orang yang dikenal luas. Tapi beliau mampu menjadi katalis di lingkungannya yang menggerakan perubahan. Dari banyak contoh orang seperti ini yang saya jumpai, setiap orang punya potensi menjadi modal sosial untuk perubahan.

Saya lupa kapan persisnya bertemu beliau pertama kali. Yang pasti jauh-jauh hari sebelum tahun 2010 yang bersejarah dan fenomenal dalam perjalanan ide pengadaan.

Ceritanya, kalau tidak salah pada bulan Desember 2009, saya datang ke Kabupaten Badung, Bali, untuk sosialisasi. Tapi dengan kuasaNya, pembicaraan singkat pak Himawan dengan Bupati Badung pada akhirnya mencetuskan ide untuk peresmian dan peluncuran LPSE Kab Badung hari itu juga.

Saya yakin, kalau kawan-kawan di Badung seperti pak Made Sudarsana memiliki dedikasi yang biasa biasa saja, maka pengadaan di Badung tidak akan semaju seperti sekarang ini.

Cangkir ini sepertinya bisa bercerita panjang. Ia  juga bisa jadi saksi bisu semangat perjuangan di pengadaan. Tapi dia juga saksi haru birunya memperjuangkan suatu ide di pengadaan.

Mewujudkan pengadaan bersih untuk Indonesia yang sejahtera bukan ide yang akan dengan segera diterima. Apalagi manakala ide itu mengganggu kepentingan seseorang. Itu sepertinya suatu keniscayaan, tapi itu juga pergulatannya.

Hari ini, sudah akhir Februari 2014. Sudah 14 tahun lebih aku menggeluti pengadaan. Sudah banyak yang kulakukan, namun juga masih banyak yang harus dilakukan. Semoga aku masih mendapat kesempatan mengambil peran tertentu.

Jakarta, 24 Februari 2014

12/02/14

E-PROCUREMENT UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DAN PASAR PENGADAAN YANG SEHAT

Permasalahan pengadaan pemerintah pada hakekatnya adalah permasalahan pasar pengadaan dan permasalahan tata kelola (governance) dalam membelanjakan keuangan negara. Ketiadaan keseimbangan supply-demand, persaingan usaha yang tidak sehat, adanya barrier to entry dan lain-lain pada satu sisi menjadi faktor dominan yang menentukan kinerja kebijakan pengadaan bersama-sama dengan buruknya tata kelola yang berujung pada tindakan korupsi.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK atau ICT) secara signifikan membuka peluang terselesaikannya permasalahan pengadaan melalui penerapan e-procurement (pengadaan secara elektronik) dengan membangun suatu e-market place pengadaan dan sistem pendukungnya. Perkembangan ICT memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara transparan dan akuntabel (memungkinkan semua orang mengawasi prosesnya dan pengelola pengadaan mendapatkan barang dengan harga yang benar dari penyedia yang benar sehingga akuntabel).  Di samping itu, terbangunnya e-market place pengadaan akan memperbaiki mekanisme pasar yang memberikan informasi yang lebih baik kepada pembeli dan penjual atas suplly dan demand suatu barang/jasa.

Pada RPJM periode 2010-2014 saat ini, e-procurement telah menjadi salah satu program strategis dalam mengatasi permasalahan pengadaan. Pengembangan dan implementasi e-Procurement ini telah menjadi prioritas bidang pada RPJMN ini dan diusulkan akan menjadi prioritas nasional pada RPJMN periode 2015 -2019.

Melalui penerapan pengadaan secara elektronik, proses dan prosedur pengadaan menjadi lebih sederhana dan lebih memperkuat aspek akuntabilitas, transparansi, maupun efektivitas kebijakan pengadaan. Dengan terwujudnya e-market place pengadaan, harga pasar akan terbentuk secara benar dan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan sehingga manfaat belanja dapat lebih maksimal. Dalam 5 tahun ke depan, e-market place pengadaan ini akan semakin dewasa sejalan dengan kemajuan ICT dunia dan ketersediaan infrastruktur ICT maupun bisnis ICT di Indonesia. Perkembangan Cloud Computing akan sangat menentukan arah dan kecepatan kemajuan e-market place pengadaan maupun proses pengadaannya.

Sejalan dengan perkembangan ICT dan semakin dewasanya e-market place pengadaan, manajemen pengadaan dimungkinkan dikelola sebagai suatu proses end-to-end, sejak perencanaan anggaran sampai dengan penyerahan barang dan penilaian kinerjanya, bahkan pengadaan dengan mudah akan dapat dibangun kaitannya dengan pengelolaan barang/asset pemerintah. Pengadaan akan dapat dengan mudah dioptimnalisasikan rantai suplainya (Supply Chain Optimazion) sehingga didapatkan harga barang yang paling murah/menguntungkan, dengan tetap menghitung manfaat sosial dan ekonomi dari suatu pengadaan.
Organisasi pengadaan juga akan menjadi sangat efisien dan ramping tanpa mengurangi peluang kontrak pengadaan dan pembelian yang sangat luas bagi usaha kecil khususnya.

Untuk menangkap momentum perkembangan ICT dan pengaruhnya serta peluangnya bagi dunia pengadaan, penerapan e-procurement mutlak harus secepat mungkin diadopsi sebagai sistem utama proses pengadaan. Bersamaan dengan pengembangan sistem, sumber daya manusia pengelola pengadaan perlu disiapkan untuk mampu mengadaptasi teknologi yang diperkenalkan. Sistem regulasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan bisnis proses dan lingkungan pengadaan yang baru. Dalam hal ini, peraturan setingkat undang-undang menjadi sangat diperlukan untuk memberi kesempatan kepada LKPP melakukan perubahan dan berinovasi dalam memperbaiki kinerja pengadaan.

Dalam rangka mengejar dan penyelesaikan persoalan adopsi teknologi, LKPP telah membangun sistem e-procurement dan strategi implementasinya yang dapat diterapkan dalam kondisi infrastruktur, SDM dan organisasi yang berbeda-beda. Secara ekstrem, e-procurement pada kondisi internet yang sangat tidak memadai, sistem tetap dapat berjalan (dengan LAN dan bidding room) hanya sebagai sarana pertukaran dokumen dan pengumuman lelang. Untuk itu, sistem e-procurement dibanguan sebagai suatu sistem, yang baik aplikasi, infrastruktur server dan jaringan, maupun pengelolaannya tersebar dan terdistribusi sampai ketingkat Kabupaten/Kota dengan organisasi pengelolaan yang otonom (setiap Kementerian, Lembaga, Provinsi, Kabupaten, Kota membangun Layanan Pengadaan Secara Eelentronik atau LPSE), namun terhubung menjadi satu sistem secara nasional. Sebagai satu sistem, semua pengguna (PPK, ULP, penyedia maupun masyarakat luas) dapat mengakses informasi dari manapun dengan satu nama user (Single Sign On). LPSE juga menjadi ujung tombak penyelesaian permasalahan digital gap karena selain memberi fasilitas untuk digunakan oleh penyedia mengikuti lelang, LPSE juga menyediakan pelatihan dan helpdesk bagi pengguna sistem.

Pembangunan LPSE yang tersebar di seluruh wilayah dengan sistem elektroniknya dimungkinan karena pendekatan penggunaan open-source software yang bebas lisensi. Pengembangan lebih lanjut dari pendekatan ini adalah pengembangan software secara open-source yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pengembangannya. LKPP dalam hal ini bertindak sebagai software house dan penyedia layanan pemeliharaan dan dukungan teknis sekaligus sebagai pemegang hak cipta mewakili Pemerintah. Peluang dari pendekatan ini, total biaya pengadaan pengembangan aplikasi secara nasional menjadi murah dan tidak membebani institusi yang menyelenggarakan sistem elektronik. Lebih lanjut, pengembangan secara opensource membuka kemungkinan masyarakat memanfaatkan aplikasi tanpa biaya.

Kombinasi berbagai pendekatan dalam implementasi e-procurement di Indonesia pada saatnya akan memberi peluang terbangunnya pasar pengadaan yang terintegrasi dengan e-market place yang berkembang di Indonesia maupun di dunia. Tanpa kehilangan kendali atas kebijakan pengadaan, pasar pengadaan yang terintegrasi dengan pasar yang lebih luas akan memberi peluang balanja yang lebih efisien sekaligus peluang pasar produk nasional yang sudah berdaya saing. Perjalanan implementasi e-procurement dimulai pada tahun 2008, diawali dengan pembentukan LPSE pilot di 11 lokasi/institusi. Dalam perkembangannya hingga awal tahun 2014, telah tercatat sebanyak 602 LPSE yang tersebar di 33 provinsi dan melayani instansi pemerintah pusat, daerah serta BUMN, serta perguruan tinggi. Perkembangan yang menarik, walaupun secara peraturan BUMN tidak diatur dengan peraturan yang sama dengan APBN/APBD, terdapat beberapa BUMN yang juga membangun LPSE, bergabung dalam e-market place yang sama dan memanfaatkan sistem e-procurement yang dibangun LKPP.

Dengan telah terbangunnya 602 LPSE yang tersebar di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia (seluruh Provinsi sudah terlayani), telah membuka akses pasar pengadaan pemerintah dan menciptakan persaingan sehat dalam proses lelang. Sistem e-procurement memungkinkan pelaku usaha di daerah, dengan hanya sekali mendaftarkan diri, mendapatkan akses pasar di seluruh Indonesia dan mengikuti proses lelang maupun menawarkan barangnya di e-katalog. Walaupun demikian, secara alamiah wilayah operasi pelaku usaha tetap terbatasi oleh biaya transportasi dan pengenalan potensi setempat.

Keberhasilan penerapan e-procurement di Indonesia tidak lepas dari adanya respon positif para pelaku pengadaan. Secara kelompok, respon ini mempercepat proses adopsi sistem e-procurement yang dipersepsikan memberikan rasa aman dan nyaman. Rasa aman karena proses pengadaan dirancang pasti sesuai dengan ketentuan karena melekat pada aplikasi dan transparansi yang sangat luas., serta meningkatnya kepercayaan para pelaku usaha karena kompetisi yang adil dan terbuka.

Dengan meningkatnya kepercayaan dunia usaha pada proses pengadaan yang lebih adil dan transparan, partisipasi langsung pelaku usaha dalam pengadaan diharapkan meningkat. Hal ini akan meningkatkan kompetisi dan pada akhirnya akan menjamin harga yang lebih benar.

Sistem e-procurement yang dibangun juga membuka peluang untuk membangun sistem pendukung dalam rangka government financial management yang lebih baik. Interaksi antar sistem di dalam manajemen keuangan akan mengurangi biaya dan waktu proses dan pada akhirnya akan menurunkan ekonomi biaya tinggi. Untuk itu, arsitektur sistem e-procurement dibangun dengan membuka peluang seluas-luasnya interaksi dengan sistem yang lainnya, seperti sistem perencanaan pengadaan, sistem manajemen kontrak, sistem pembayaran (payment system) dan sistem monitoring termasuk pengendalian, dan pengawasan oleh masyarakat.

Salam LPSE
Ikak G. Patriastomo