30/12/11

Tahun 2012: 75/40 e-Procurement

Rekan-rekan pengelola LPSE di seluruh Indonesia, staf Direktorat e-Procurement LKPP dan semua pihak yang mendukung penerapan e-Procurement di tanah air (termasuk yang sedang mempersiapkan LPSE), saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2012.

Sampai dengan akhir tahun 2011 ini, kita patut bersyukur bahwa kita bersama-sama mampu membuktikan bahwa bangsa kita dapat menerapkan pengadaan secara elektronik. Dengan 315 LPSE yang sudah kita bangun, pengadaan secara elektronik akan dapat dijamin terlayani oleh seluruh LPSE. Sekarang tinggal bagaimana rekan-rekan pengelola pengadaan (khususnya panitia pengadaan dan ULP) memanfaatkan kesiapan LPSE.

Tahun 2012, tantangan kita bersama akan lebih besar. Bila sampai tahun ini kita berhasil membangun 315 LPSE, maka masih ada 300 LPSE baru yang harus kita dorong untuk dibangun oleh rekan-rekan yang lain. Kita semua yang sudah membangun LPSE harus ambil bagian membantu dan mendampingi rekan-rekan yang akan mewujudkan LPSE di daerahnya atau di instansinya.

Dengan pengalaman kerjasama kita selama ini, juga pengalaman melewati tantangan yang tidak ringan, saya yakin kita bersama-sama mampu mewujudkan harapan kita semua, harapan bangsa ini untuk terciptanya pengadaan yang kredibel dan menyejahterakan.

Dengan berbekal pada tekad bersama kita di Bali pada waktu itu bahwa kita akan bersatu mengawal pengadaan yang bebas korupsi, saya yakin tekad ini menjadi kekuatan kita yang menyemangati langkah dan perjuangan kita.

Dengan tekad itu, kepada seluruh rekan-rekan di LPSE dan yang sedang merintis membangun LPSE, maupun rekan-rekan di Direktorat e-Procurement LKPP, saya berharap kita tetap fokus pada pembuktian bahwa LPSE dan kita semua adalah unit kerja yang terpercaya dan menjadi kekuatan yang solid mengawal pengadaan bebas korupsi.

Saya mengharapkan, pada tahun 2012 kita bersama-sama dapat membenahi dan meningkatkan kualitas layanan dan kehandalan sistem elektronik pengadaan, sejalan dengan pembenahan organisasi dan SDM LPSE.

Mari kita jaga kekompokan yang terbina sampai tahun 2011 untuk menghadapi peran kita di tahun 2012 ini. Rasanya, tidak lama lagi Indonesia akan kita satukan melalui pengadaan secara elektronik. Kita sambut tahun 2012 dan Instruksi Presiden No 17 Tahun 2011 (75% nilai pengadaan K/L dan 40% nilai pengadaan Daerah dilaksanakan secara elektronik).

Salam LPSE.

Ikak G. Patriastomo

14/12/11

Mengawal Pengadaan Bebas Korupsi

Bali, 21 - 23 Novemper 2011 dilaksanakan Pertemuan Koordinasi ke 7 LPSE Nasional. Dengan 663 peserta dari 223 LPSE yang hadir (belum termasuk LPSE Bali, LPSE Denpasar, LPSE Badung dan LKPP yang menjadi panitia), pertemuan kali ini menciptakan atmosfir yang luar biasa dari para peserta pengelola LPSE di tanah air yang akan membangun komitmen memperbaiki sistem pengadaan.

Pertemuan yang mengambil tema "Bersatu Mengawal Pengadaan Bebas Korupsi" telah membangkitkan heroisme tentang perlunya secara bersama-sama (bersatu) mengawal pengadaan yang pasti tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.

Semua elemen LPSE telah merapatkan barisan dan bertekad berdiri di paling depan dalam proses pengadaan, tentunya bersama-sama elemen masyarakat yang peduli dengan dunia pengadaan di tanah air.

Apa yang perlu dicatat pada peristiwa itu? Pertemuan itu penting untuk membawa emosi semua orang yang hadir larut terbawa dengan atmosfir untuk memperjuangkan perbaikan sistem pengadaan melalui LPSE. Pertemuan itu sekaligus menjadi tonggak yang mengawali perkembangan e-procurement di Indonesia. Saat ini sudah ada 301 LPSE dengan total transaksi Rp. 69,16 trilyun dari 32.255 paket pengadaan. Lihat http://report-lpse.lkpp.go.id/

Saya pribadi semakin optimis bahwa semua orang yang hadir akan mampu membawa perubahan di negeri ini. Siapa lagi yang bersedia ikut dan mengambil bagian dalam gerakan mencegah korupsi dalam pengadaan? banyak ternyata...

22/10/11

4 Tahun e-Procurement di Indonesia (2008-2011)

Implementasi eprocurement di Indonesia praktis sudah memasuki tahun ke 5, sejak tahun 2008 yang dimulainya dengan piloting di 11 instansi (7 Provinsi, 2 Kota dan 2 Kementerian). Bila sampai saat ini sudah dilelangkan lebih dari 30.000 paket pengadaan dengan total nilai HPS Rp. 60 trilyun, maka itu bukan prestasi yang datang begitu saja. Ada point-point penting yang perlu dicatat bila program sejenis ingin mencapai prestasi yang sama.

Komitmen dan “No Interest”: Agak kasar terdengarnya, tetapi selalu ditekankan kepada semua pihak yang terlibat untuk “tidak mencari makan dari kegiatan ini”. Terutama kepada staf di LKPP. Pesannya, silahkan terlibatlah secara maksimal. Sumbangkan tenaga dan pemikiran secara maksimal. Toh ini semata-mata demi bangsa ini bukan demi siapa-siapa. Jangan mengharapkan ada imbalan dari siapapun dan jangan pula berharap untuk dihargai oleh siapapun. Kerjakan saja yang menurut kita baik dan benar.

Point ini penting untuk menepis anggapan berbagai pihak bahwa ini adalah semacam “proyek” saja bagi LKPP. Keraguan dan cibiran yang perlu dijawab dengan bukti, bahwa inisiatif ini tidak akan membebani siapapun yang kemudian memberi manfaat bagi segelintir orang.
Dalam penganggaran kegiatan, tidak ada serupiahpun yang perlu dialokasikan oleh instansi lain untuk kegiatan membeli sofware yang dibangun LKPP (free of charge software dan free lisence) maupun dukungannya. Bahkan lebih lanjut, selama tersedia anggaran di LKPP, maka instansi bersama LKPP dapat membiayai kegiatan bersama dari anggaran LKPP. Untuk pendampingan, instansi tidak perlu menganggarkan membiayai staf/pejabat LKPP yang berkunjung ke daerah. Silahkan setiap instansi menganggarkan untuk kegiatan dan keperluan dirinya sendiri.

Lebih lanjut, siapapun yang terlibat kemudian memiliki kesempatan tampil, dikenal dan berkesempatan mendapat apresiasi. Semua orang yang terlibat dalam pembangunan LPSE (unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik) menjadi dikenal banyak orang, diapresiasi karena perannya, dan seringkali menjadi focal point di instansinya dan daerahnya. Peluang kiprah seperti ini mampu membangun komitmen di semua level.

Walaupun tidak eksplisit dibicarakan dalam banyak literatur, point ini sangat penting menjadi catatan perjalanan pengembangan eprocurement di Indonesia. Manakala suatu kegiatan ditunggangi dengan kepentingan tertentu oleh pihak tertentu yang tidak memberi ruang bagi yang lainnya, maka jangan berharap ide itu akan direspon oleh banyak pihak dengan sepenuh hati.

Fokus : LKPP cukup fokus terhadap pengembangan eprocurement. Anggaran LKPP difokuskan untuk mendukung tersedianya perangkat lunak, pendampingan dan dukungan operasionalisasi eprocurement di semua instansi pemerintah. Walaupun tidak besar, tetapi fokus kegiatan yang dibiayai oleh LKPP menjamin semua LPSE terlayani dengan maksimal, dan sekaligus membangun fokus peran LKPP.

LKPP tidak mengalokasikan anggaran yang besar untuk membangun LPSE berkenaan dengan hardware, software pendukung, infrastruktur jaringan, ruangan dsb. Dengan penyediaan perangkat lunak pengadaan secara elektronik, sudah sangat cukup membantu bagi instansi mengurangi biaya pengembangan perangkat lunak. Bayangkan bila semua instansi (600 LPSE) perlu membangun sendiri software ini. Di samping menjadi mahal, belum tentu berjalan. Dan dari segi kemampuan memahami regulasi dan proses pengadaan juga menjadi persoalan sendiri. Rp. 500 juta x 600 LPSE akan perlu Rp. 300 milyar per tahun/versi. Belum lagi “maintenance support”nya. LKPP bahkan tidak perlu mengarahkan merek hardware maupun infrastruktur seperti apa yang akan digunakan oleh setiap instansi.

Fokus peran dan anggaran LKPP ini juga mampu membangun “trust” dari “customer” bahwa LKPP memang berorientasi pada “service”.

Partisipatif: Pengembangan eprocurement di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif yang sangat kuat. Siapa saja boleh mengambil bagian dalam pengembangan dan implementasinya.

Sebut saja Lemsaneg, ITB, ITS, UI yang terlibat dalam pengembangan perangkat lunak. Lemsaneg terlibat dalam membangun aplikasi persandian, ITB dalam merumuskan bisnis proses epurchasing, ITS mengembangkan modul epurchasing, UI untuk data warehouse dan inaproc. BPK dan BPKP dalam eaudit trail. PTN bahkan dengan inisiatifnya sendiri membangun kemitraan antar perguruan tinggi.

Setiap organisasi pemerintah maupun BUMN dipersilahkan membangun unit penyelenggara sistem elektronik dan memastikan semua penyedia barang/jasa difasilitasi dalam menggunakan sistem elektronik melalui pelatihan, pendampingan dan dukungan pengguna (helpdesk).

Selanjutnya, siapapun diajak untuk mempromosikan eprocurement sehingga banyak pihak terlibat dalam kegiatan sosialiasi maupun pelatihan eprocurement. Strategi “member get member” diterapkan dalam pengembangan eprocurement, dan “one for all and all for one” menjadi istilah untuk menggambarkan bahwa eprocurement dibangun oleh semua orang dan menjadi milik semua orang.

Seluruh LPSE kemudian menjadi komunitas sendiri yang saling membantu, saling belajar dan bersama-sama membangun integritas pengadaan.

Konsistensi: Konsistensi LKPP sebagai lembaga yang mendapat tugas dan kesempatan mendorong penerapan eprocurement mampu diperlihatkan LKPP selama 4 tahun ini. Sampai hari ini, “spirit” dan pendekatan partisipatif yang dibangun dapat terus dipertahankan walaupun dengan jumlah “customer” semakin besar dan terus bertambahnya pihak yang mengambil bagian dalam pembangunan eprocurement di Indonesia. LPSE adalah komunitas yang akan menjamin dan menjaga implementasi eprocurement di Indonesia. (Ikak G. Patriastomo)

24/09/11

e-Procurement Accelerator

Kamis tanggal 22 September 2011, saya menghadiri undangan Warta Ekonomi dalam rangka eGovernment Award 2011. Pada malam ini, ada dua hal yang saya terkesan, yang pertama acara main angklung bersama dengan Saung Angklung Ujo, dan yang kedua penganugerahan predikat e-Procurement Accelerator kepada LKPP disamping peringkat kedua egovernment award. (http://www.wartaegov.com/berita-1468-jawarajawara-smart-city-awards-2011-dan-egovernment-awards-2011.html).

Kesan yang pertama, waktu mengambil tempat duduk, hadirin disuguhi angklung. Semula saya berpikir ini suvenir. Selanjutnya ada pertunjukan musik angklung. Menjadi kejutan manakala kita diajari bagaimana memainkan angklung dan mengikuti isyarat not-not tangga nada yang diperagakan. Mengalunkan lagu dari angklung yang dimainkan hadirin. Kejutan..

Kesan yang kedua, waktu dibacakan bahwa ada penghargaan dengan sebutan "special mention" kepada LKPP yaitu "eProcurement Accelerator". Wah sekali.

Sejak awal, waktu menerima kuesioner dalam rangka award ini saya memang bingung mengisinya. Banyak pertanyaan yang tidak cocok atau tidak bisa dijawab sesuai dengan karakteristik kegiatan pengembangan e-procurement di Indonesia. Tetapi tampaknya, seperti yang saya yakini, pengembangan e-procurement akan membawa dampak luar biasa bagi berkembangnya e-government karena telah terjadi lompatan dalam fase e-government di tanah air akibat penerapan e-procurement di instansi pemerintah. Tentunya hal ini tidak dapat lepas dari perkembangan TIK di masyarakat.

Yang unik dari pengembangan e-procurement yang perlu dicermati adalah sifatnya yang fasilitatif. Berangkat dari semangat menyediakan alat bagi panitia pengadaan untuk dapat melaksanakan proses pengadaan secara lebih mudah dan "nyaman", maka penerapan e-proc yang berbasis sukarela direspon dengan antusias. Tanpa keharusan menerapkan e-proc, banyak instansi berlomba untuk melakukan pengadaan secara elektronik. Sampai hari ini (22 Sept 2011), e-proc bukan sebagai kewajiban dan tidak pernah menjadi kewajiban yang mengikat. Tetapi kalau sistem e-proc ini digunakan, artinya sistem itu ada manfaatnya.

Pertanyaannya, bagaimana sifatnya yang fasilitatif dapat diadopsi secara masif? Kata kunci berikutnya adalah partisipasi banyak pihak. Tanpa partisipasi (keinginan berbagai pihak untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan), maka kebutuhan panitia dan penyedia tidak akan dapat dipenuhi. Oleh karena itu, prinsip kemitraan antar pelaku dalam gerakan e-procurement menjadi spirit yang memberi daya luar biasa bagi berkembangnya penerapan e-procurement di tanah air. Siapa saja dipesilahkan mengambil bagian untuk mengambil peran, karena sekecil apapun peran itu diyakini akan bersinergi dengan yang lainnya. (Ikak G. Patriastomo)



17/08/11

Dirgahayu Indonesia, 17 Agustus 2011

Indonesia sudah merdeka 66 tahun yang lalu. Namun, masih banyak rakyat yang belum sejahtera. Mengapa selama 66 tahun tidak cukup untuk membangun Indonesia yang sejahtera? Mungkin memang diharapkan bangsa ini tidak sejahtera secara merata.

Kata banyak teman, Indonesia ini kaya alamnya. Kalau demikian, mengapa rakyatnya banyak yang tidak sejahtera dengan kekayaan yang dikuasainya? Mungkin memang rakyat ini tidak diharapkan menguasai kekayaan alam itu.

Tidakkah bangsa ini ingin sejahtera bersama? "Bersama"? mungkin kata "bersama" ini yang saat ini menjadi kata yang asing. Lebih banyak kata "aku", "kami" atau kelompok ini, bukan "kita".

Mari kita temukan kata "kita".

09/07/11

Tranparansi Tender

Pemerintahan yang bersih menjadi salah satu misi Pemerintah yang multlak diwujudkan ke dalam program-program pembangunan mengingat birokrasi telah dilanda perilaku koruptif yang kronis. Sebagaimana kita maklumi, penyakit ini tidak hanya diderita jajaran eksekutif, akan tetapi juga telah diidap oleh dua pilar negara yang lain, yaitu: lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Pada jajaran eksekutif atau birokrasi, perilaku korupsi dalam tubuh birokrasi Indonesia sepertinya memang memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut sejumlah pakar, secara historis, birokrasi di Indonesia adalah warisan budaya birokrasi kerajaan (feodal) dan warisan kolonial dengan tugas pokok birokrasi adalah memungut pajak dan menyediakan tenaga kerja gratis dan eksploitatif dengan tugas mengeruk hasil bumi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengikis budaya kolonial dengan mengganti sebutan birokrasi dari pangreh praja menjadi pamong praja, akan tetapi nuansa birokrasi yang paternalistik dan arogan masih sulit untuk dilepaskan. Dengan sosoknya yang demikian, maka tidak mengherankan jika birokrasi publik di Indonesia masih mempraktikan budaya adanya upeti dengan berbagai bentuk transformasinya dalam wujud yang lebih modern seperti: uang terima kasih, uang rokok, "kick back", suap dan sebagainya serta kecenderungannya untuk memposisikan birokrasi lebih tinggi dibanding dengan masyarakat sehingga sulit untuk menjadi pelayan masyarakat.

Dalam pengadaan barang dan jasa, budaya birokrasi yang kolonialistik dan feodalistik ini memberi kontribusi pada inefisensi keuangan negara yang sangat besar akibat dari tindakan koruptif dan tidak transparannya proses pengadaan. Manfaat dari keuangan negara menjadi lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang seharusnya dapat diperoleh. Angka inefisiensi “kebocoran anggaran” yang sering dilansir berbagai pihak dapat mencapai 30% dari total belanja barang/jasa (Rp. 150 trilyun dari total anggaran Rp. 450 trilyun pada tahun 2010).

Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab mengapa pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih sarat dengan KKN. Faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Indonesia dapat dikenali diantaranya adalah: (1) belum lengkapnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pengadaan barang dan jasa, (2) lemahnya implementasi karena para implementor tidak memahami konsep dan prosedur secara baik, (3) lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa, (3) lemahnya kapasitas pelaksana di lapangan, (4) lemahnya pengawasan dan tidak transparannya proses tender.

Selain bersumber dari birokrasi, persoalan buruknya kinerja pengadaan barang dan jasa juga muncul karena para penyedia barang/jasa belum memahami secara baik hak dan kewajiban mereka. Terbatasnya jumlah penyedia yang berpartisipasi memunculkan kecenderungan mengatur tender untuk dibagikan diantara penyedia yang tergabung dalam suatu asosiasi. Bahkan upaya untuk memperoleh kontrak atau memenangkan tender suatu pekerjaan seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya misalnya dengan menjanjikan adanya ‘pembagian keuntungan’ atau pengatur pelaksanaan semua tender yang kemudian terkenal dengan arisan tender bahkan menjadi mafia tender.

Berbagai upaya telah dilakukan selama ini. Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) area yang perlu dilbenahi yaitu: (1) Pembenahan kerangka peraturan perundang-undangan meliputi penyusunan Rencana Undang-Undang Pengadaan, pedoman-pedoman dan standar-standar kerja; (2) Pengembangan kapasitas sumber daya manusia meliputi pengembangan sistem karir, standar kompetensi dan pengujiannya, maupun remunerasi dan sistem pendidikan/pelatihannya; dan (3) Pengembangan kelembagaan kebijakan, pengelola pengadaan, pengelola pelatihan dan kelembagaan pendukung lainnya.

Kebijakan Transparansi

Untuk menjamin proses pengadaan dapat diketahui oleh semua pemangku kepentingan dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha, maka prinsip transparansi harus dijunjung tinggi. Prinsip ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk kewajiban kepada pengelola pengadaan mengumumkan adanya kesempatan kontrak pekerjaan (biasanya disebut dengan pengumuman rencana umum pengadaan), pengumuman lelang dan pengumuman pemenang lelang.

Pada prakteknya, dengan alasan biaya pengumuman di surat kabar tidak murah dan seringkali pihak legislatif tidak memberi persetujuan untuk anggaran pengumuman, pengadaan (baik rencana umum maupun lelangnya) tidak diumumkan dengan memadai. Dalam era sebelum Keppres 80 Tahun 2003 diberlakukan, pengumuman seringkali hanya ditempelkan di papan pengumuman resmi instansi yang memiliki kegiatan. Di samping tempat pengumuman yang tidak menjangkau semua pihak, isi pengumuman seringkali sangat tidak memadai untuk memberi keterangan yang lengkap tentang pekerjaan yang akan dilelangkan. Seringkali, pengumuman hanya ditempel dalam waktu yang sangat terbatas atau dirobek untuk membatasi keikutsertaan banyak penyedia.

Di satu sisi praktek tersebut menggambarkan pemahaman yang terbatas bagi semua pihak yang terlibat akan prinsip transparansi tersebut, di sisi yang lain juga menggambarkan pemahaman yang terbatas pada keterkaitan antara pengumuman tender dengan hasil pengadaan (khusunya harga). Tidak dipahami bahwa semakin banyak peserta lelang akan semakin besar peluang pengelola pengadaan memperoleh harga barang yang baik (murah). Yang dipahami, semakin banyak peserta lelang semakin repot mengelola prosesnya karena menjadi tidak mudah untuk berlaku adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyembunyikan pengumuman tender supaya yang ikut lelang dapat diatur. Karena ada pengaturan, maka peluang untuk mengatur imbalanpun menjadi terbuka (korupsi).

Penunjukan Surat Kabar Nasional

Surat kabar yang beroplag besar dan tersebar menjangkau seluruh wilayah merupakan alternatif tempat pengumuman lelang yang paling potensial membangun dan menegakkan prinsip transparansi. Oleh karena itu, pengelola pengadaan perlu diatur untuk meletakan pengumuman lelang di surat kabar tersebut. Kewajiban ini memiliki implikasi pengelola pengadaan yang satu akan berbeda dengan pengelola pengadaan lainnya apabila tidak diatur nama surat kabar yang dimaksud.

Dari sisi pelaku usaha, surat kabar yang berbeda-beda juga menimbulkan kesulitan untuk mengikuti secara konsisten peluang usaha di bidang pengadaan. Pelaku usaha mungkin perlu berlangganan beberapa surat kabar sekaligus hanya untuk dapat mengikuti pengumuman lelang (peluang usaha) tersebut.

Kebijakan mengumumkan di surat kabar juga masih memiliki potensi dicurangi oleh berbagai pihak. Ada beberapa kasus panitia pengadaan memesan kolom tertentu untuk satu exemplar saja sebatas memenuhi aspek administrasi pengumuman, sedangkan penerbitan tersebut tidak nyata-nyata disebarkan ke publik.

Pelaku usaha juga masih memiliki peluang untuk curang dengan memborong penerbitan yang beredar di suatu wilayah agar pesaing-pesaingnya tidak mendapat pengumuman dan informasi yang memadai. Pelelangan pada akhirnya hanya diketahui oleh kelompok terbatas, biasanya yang sudah lama bekerjasama dengan panitia pengadaan atau pemilik pekerjaan.

Lelang untuk Memilih Surat Kabar

Ditetapkannya satu surat kabar yang akan menjadi tempat pengumuman lelang akan memungkinkan: (1) kontrol terhadap kepatuhan mengumumkan secara lebih mudah; (2) kontrol terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kerjasama antara penerbit dengan panitia pengadaan lebih mudah; (3) memberi kepastian bagi pelaku usaha yang akan melihat secara konsisten peluang usaha pada pasar pengadaan.

Untuk itu, mengingat terdapat beberapa surat kabar yang memenuhi kriteria, maka penunjukan satu surat kabar perlu diproses yang menjamin perlakukan yang adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, pemilihan surat kabar dilelangkan setiap tahun.

Surat kabar yang ditetapkan kemudian perlu membangun unit kerja yang khusus menangani penempatan pengumuman lelang dari seluruh instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

Harga iklan yang lebih murah

Walaupun pelelangan yang dilakukan dalam kriteria evaluasinya tidak semata-mata mendasarkan pada harga yang paling murah, akan tetapi lelang surat kabar ini menghasilkan biaya iklan bagi pengumuman lelang per baris per kolomnya lebih rendah dari harga iklan yang normal.

Rata-rata penawaran menawarkan 30% dari biaya yang dipublikasikan. Hal ini wajar mengingat jumlah iklan per hari akan lebih dari 100 tayangan dengan masing-masing Rp. 5 juta rupiah saja, maka per hari surat kabar akan memiliki pemasukan Rp. 500 juta rupiah atau Rp. 15 Milyar per bulan atau Rp. 180 milyar per tahun.

e-Procurement dan Portal Pengadaan Nasional

Salah satu kelemahan yang menonjol dari kebijakan pengumuman lelang di surat kabar adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan pengumuman. Bila panitia pengadaan cukup kreatif, biaya ini bisa ditekan dengan pengumuman beberapa paket sekaligus.

Kelemahan lain yang juga perlu dievaluasi adalah jangkauan. Tidak semua tempat terjangkau oleh surat kabar yang memenangkan lelang. Dari 498 Kabupaten/Kota, hanya 65% yang terjangkau oleh surat kabar yang ditunjuk, dengan jeda waktu 1-2 hari untuk sampai di wilayah Kabupaten tertentu. Bagi pelaku usaha di wilayah seperti itu, apalagi bila paket pekerjaan berlokasi di wilayah tersebut, maka pengumuman di surat kabar menjadi tidak bermakna.

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, pengumuman di website menjadi solusi yang paling menguntungkan. Saat ini (th 2011) lebih dari 75% instansi pemerintah sudah memiliki website. Dengan demikian, kewajiban mengumumkan lelang di surat kabar sebagai upaya untuk transparan dan memberi kesempatan luas bagi pelaku usaha terlibat dalam pengadaan dapat digantikan dengan kewajiban mengumumkan melalui website.

Lebih jauh, Portal Pengadaan Nasional menjadi alat yang harus dikembangkan untuk menyatukan pengumuman lelang maupun semua informasi termasuk akses utama kepada sistem pengadaan nasional. Sebelum e-Procurement secara menyeluruh dapat diterapkan, kewajiban mengumumkan lelang di website yang dapat diakses melalui portal pengadaan nasional yang tunggal merupakan langkah awal dan strategi yang penting membangun pengadaan nasional yang baik. (Ikak G. Patriastomo)

03/07/11

Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia 3 Tahun

Tanggal 3 Juli 2008, tiga tahun yang lalu, Kongres IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia) Pertama diselenggarakan di Semarang. Saat ini, 3 Juli 2011, baru 9 DPD yang terbentuk.

Bila kita coba menengok ke belakang, Konggres di Semarang terselenggara dari gagasan yang muncul pada acara Simposium ke 2 di Jakarta 6 Desember 2007, sehari sebelum Perpres LKPP ditandatangani.

Perjalanan waktu yang tidak pendek untuk membangun wadah profesi yang memperjuangkan kehormatan profesi pengadaan. Bila ditengok lebih jauh lagi, gagasan wadah seperti ini pernah muncul sejak era Keppres 18 tahun 2000, namun tidak dapat berkembang dengan kokoh.

Pada ulang tahunnya yang ke 3, walau tidak ada acara perayaan ulang tahun, semoga IAPI terus tumbuh dengan kokoh dan memberi makna pembangunan dunia pengadaan Indonesia. Kita ingin yang sedikit ini mampu memberi warna dan mengubah dunia pengadaan Indonesia menuju kondisi yang lebih baik.

Kepada semua anggota dan pengurus IAPI, mari kita satukan tekad dan semangat kita.

Selamat Ulang Tahun IAPI. Salam IAPI: Ikak G. Patriastomo.

19/06/11

LPSE, Wujud Perjuangan Bersama Membangun Bangsa

Menurut saya, LKPP perlu mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang bersedia mengambil peran dan terlibat dalam pengembangan e-procurement. Kita semua yang membangun LPSE pantas mendapat apresiasi karena dapat memenuhi Inpres 2010 dengan terbentuknya 100 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) baru, dan saat ini (Juni 2011) bahkan sudah mencapai 240 LPSE yang menjangkau 31 wilayah Provinsi. Tinggal Provinsi Sulawesi Barat dan Papua Barat yang belum memiliki LPSE sendiri.

Itu membuktikan bahwa teman-teman di LPSE bersedia bekerja keras dalam rangka memperbaiki sistem pengadaan nasional melalui implementasi e-procurement.

Tahun 2011 ini dapat dikatakan merupakan tonggak penting dalam pengembangan sistem pengadaan karena dengan Perpres 54/2010 kita telah memberi arah pelaksanaan pengadaan secara elektronik ke depan. Bila sebelum ini pengadaan secara elektronik sangat bergantung pada inistiatif masing-masing instansi, maka mulai tahun 2012 penerapan e-procurement merupakan kewajiban. Kita semua berharap pada tahun 2014, sebagian besar proses pengadaan sudah dilaksanakan secara elektronik.

Khusus tahun 2011 ini, keberadaan LPSE menurut saya harus terbukti dapat memfasilitasi pengumuman pelelangan yang sebelumnya dilakukan melalui surat kabar karena mulai tahun ini LPSE harus membuktikan bahwa semua pengumuman pelelangan dapat difasilitasi melalui LPSE. Hal sekaligus juga menjadi bukti kemampuan dan optimisme bangsa ini mengadopsi TIK.

Lebih dari pada itu, tidak hanya memfasilitasi pengumunan lelang. Tahun 2011 ini LPSE juga akan mulai memfasilitasi penunjukan langsung kendaraan bermotor dengan harga GSO yang katalognya tercantum pada portal inaproc. Setiap panitia pengadaan perlu terdaftar di LPSE untuk dapat melaksanakan proses penunjukan langsung. LPSE sekali lagi harus mampu menjawab tantangan tersebut.

Artinya, semua orang yang membangun LPSE telah menjadi aktor utama dalam perbaikan sistem pengadaan. Banyak inisiatif yang dilakukan oleh LPSE. Personil LPSE di instansi dan di daerah telah menjadi pelopor dalam banyak hal berhubungan dengan reformasi pengadaan. Khusus dalam hal ini LPSE perlu tetap responsif dalam melayani panitia pengadaan maupun penyedia barang/jasa.

Semangat kebersamaan LPSE melakukan inovasi yang terus menerus dan membaginya kepada semua orang telah menjadi modal sosial bangsa ini dalam menghadapi tantangan di depan. Modal sosial ini pasti akan terus membesar sejalan dengan berkembangnya LPSE dan pasti akan memperkokoh kesatuan Indonesia.

Di samping keberhasilan itu, kredibilitas proses masih menjadi tantangan serius dalam sistem pengadaan nasional. Masih banyak proses pelelangan yang hanya formalitas. Kasus wisma atlet adalah kasus paling mutakhir yang menggambarkan kompleksitas sistem pengadaan dalam lingkungan strategisnya.

Membangun proses pengadaan yang kredibel adalah misi utama LKPP. Untuk inilah sistem e-procurement diperkenalkan dan dibangunlah unit-unit LPSE yang independen. Sistem e-procurement tidak dikelola oleh Panitia Pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga LPSE untuk tetap memperjuangkan kredibilitas sistem ini.

Semua orang di LPSE harus menjawab semua keraguan berkaitan dengan kredibilitas sistem. Kita di LPSE harus dapat mengatakan bahwa di sistem ini tidak ada satu prosespun yang luput dari pengawasan. Oleh karena itu, perlu selalu disampaikan, siapapun yang ragu-ragu dengan suatu proses pengadaan, tidak perlu segan untuk melaporkan kejadiannya, paket mana, kapan kejadian tepatnya, dan dimana.

Hal ini perlu terus disampaikan, karena sampai saat ini masih terdengar keluhan dari pelaku usaha bahwa sistem e-procurement masih bisa diatur untuk memenangkan satu pelaku usaha.

Melalui forum ini, saya mengajak kita semua memelihara dan menjaga apa yang sudah kita bangun ini. Marilah kita satukan visi kita membangun Indonesia yang lebih baik tanpa perlu terganggu dengan hiruk pikuk di sekitar kita. LPSE adalah wujud perjuangan kita bersama membangun bangsa. Salam LPSE, Ikak G. Patriastomo.

18/06/11

Pemanfaatan Teknologi dalam Pengadaan

Untuk menjamin proses pengadaan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha, salah satu prinsip pengadaan adalah transparan. Prinsip ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk kewajiban kepada pengelola pengadaan mengumumkan adanya kesempatan kontrak pekerjaan (biasanya disebut dengan pengumuman rencana pengadaan), pengumuman lelang dan pengumuman pemenang lelang.

Pada prakteknya, dengan alasan biaya pengumuman di surat kabar tidak murah dan seringkali tidak mudah mendapat anggaran pengumuman, pengadaan (baik rencana maupun lelangnya) tidak diumumkan dengan memadai.

Sebelum Keppres 80 Tahun 2003 diberlakukan, pengumuman seringkali hanya ditempelkan di papan pengumuman resmi instansi. Di samping tempat pengumuman yang tidak menjangkau semua pihak, isi pengumuman seringkali sangat tidak memadai untuk memberi keterangan yang lengkap tentang pekerjaan yang akan dilelangkan. Seringkali, pengumuman hanya ditempel dalam waktu yang sangat terbatas atau bahkan dirobek untuk membatasi keikutsertaan banyak penyedia.

Di satu sisi praktek tersebut menggambarkan pemahaman yang terbatas semua pihak yang terlibat terhadap prinsip transparansi tersebut, di sisi yang lain juga menggambarkan pemahaman yang terbatas pada keterkaitan antara pengumuman tender dengan hasil pengadaan (khusunya harga). Tidak dipahami bahwa semakin banyak peserta lelang akan semakin besar peluang pengelola pengadaan memperoleh harga barang yang baik (murah).

Yang justru dipahami, semakin banyak peserta lelang semakin repot mengelola prosesnya karena menjadi tidak mudah untuk berlaku adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyembunyikan pengumuman tender supaya yang ikut lelang dapat diatur. Karena ada pengaturan, maka peluang untuk mengatur imbalanpun menjadi terbuka (korupsi).

Era Penunjukan Satu Surat Kabar: Surat kabar yang beroplag besar dan tersebar menjangkau seluruh wilayah merupakan alternatif tempat pengumuman lelang yang paling potensial untuk menegakkan prinsip transparansi. Oleh karena itu, pengelola pengadaan perlu diatur untuk meletakan pengumuman lelang di surat kabar tersebut. Kewajiban ini memiliki implikasi pengelola pengadaan yang satu akan berbeda dengan pengelola pengadaan lainnya apabila tidak diatur nama surat kabar yang dimaksud.

Dari sisi pelaku usaha, surat kabar yang berbeda-beda juga menimbulkan kesulitan untuk mengikuti secara konsisten peluang usaha di bidang pengadaan. Pelaku usaha mungkin perlu berlangganan beberapa surat kabar sekaligus hanya untuk dapat mengikuti pengumuman lelang (peluang usaha) tersebut.

Kebijakan mengumumkan di surat kabar juga masih memiliki potensi dicurangi oleh berbagai pihak. Ada beberapa kasus panitia pengadaan memesan kolom tertentu untuk satu exemplar saja sebatas memenuhi aspek administrasi pengumuman, sedangkan penerbitan tersebut tidak nyata-nyata disebarkan ke publik.

Pelaku usaha juga masih memiliki peluang untuk curang denga memborong penerbitan yang beredar di suatu wilayah agar pesaing-pesaingnya tidak mendapat pengumuman dan informasi yang memadai. Pelelangan pada akhirnya hanya diketahui oleh kelompok terbatas, biasanya yang sudah lama bekerjasama dengan panitia pengadaan atau pemilik pekerjaan.

Lelang untuk Memilih Surat Kabar: Ditetapkannya satu surat kabar yang akan menjadi tempat pengumuman lelang akan memungkinkan: (1) kontrol terhadap kepatuhan mengumumkan secara lebih mudah; (2) kontrol terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kerjasama antara penerbit dengan panitia pengadaan lebih mudah; (3) memberi kepastian bagi pelaku usaha yang akan melihat secara konsisten peluang usaha pada pasar pengadaan.

Untuk itu, mengingat terdapat beberapa surat kabar yang memenuhi kriteria, maka penunjukan satu surat kabar perlu diproses yang menjamin perlakukan yang adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, pemilihan surat kabar dilelangkan setiap tahun. Surat kabar yang ditetapkan kemudian perlu membangun unit kerja yang khusus menangani penempatan pengumuman lelang dari seluruh instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

Harga iklan yang lebih murah: Walaupun pelelangan yang dilakukan dalam kriteria evaluasinya tidak semata-mata mendasarkan pada harga yang paling murah, akan tetapi lelang surat kabar ini menghasilkan biaya iklan bagi pengumuman lelang per baris per kolomnya lebih rendah dari harga iklan yang normal. Rata-rata penawaran menawarkan 30% dari biaya yang dipublikasikan. Hal ini wajar mengingat jumlah iklan per hari akan lebih dari 100 tayangan dengan masing-masing Rp. 5 juta rupiah saja, maka per hari surat kabar akan memiliki pemasukan Rp. 500 juta rupiah atau Rp. 15 Milyar per bulan atau Rp. 180 milyar per tahun.

e-Procurement dan Portal Pengadaan Nasional: Salah satu kelemahan yang menonjol dari kebijakan pengumuman lelang di surat kabar adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan pengumuman. Bila panitia pengadaan cukup kreatif, biaya ini bisa ditekan dengan pengumuman beberapa paket sekaligus.

Kelemahan lain yang juga perlu dievaluasi adalah jangkauan. Tidak semua tempat terjangkau oleh surat kabar yang memenangkan lelang. Dari 498 Kabupaten/Kota, hanya 65% yang terjangkau oleh surat kabar yang ditunjuk, dengan jeda waktu 1-2 hari untuk sampai di wilayah Kabupaten tertentu. Bagi pelaku usaha di wilayah seperti itu, apalagi bila paket pekerjaan berlokasi di wilayah tersebut, maka pengumuman di surat kabar menjadi tidak bermakna.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, pengumuman di website menjadi solusi yang paling menguntungkan. Saat ini lebih dari 75% instansi pemerintah sudah memiliki website. Dengan demikian, kewajiban mengumumkan lelang di surat kabar sebagai upaya untuk transparan dan memberi kesempatan luas bagi pelaku usaha terlibat dalam pengadaan dapat digantikan dengan kewajiban mengumumkan melalui website.

Lebih jauh, website atau Portal Pengadaan Nasional menjadi alat yang harus dikembangkan untuk menyatukan pengumuman lelang maupun semua informasi termasuk akses utama kepada sistem pengadaan nasional. Sebelum e-Procurement secara menyeluruh dapat diterapkan, kewajiban mengumumkan lelang di website yang dapat diakses melalui portal pengadaan nasional yang tunggal merupakan langkah awal dan strategi yang penting membangun pengadaan nasional yang baik.

Kesimpulannya, pengumuman lelang sebagai wujud dari transparansi dalam rangka good governance dalam pengadaan masih belum sepenuhnya disadari dan dipahami oleh pengelola pengadaan. Untuk itu, kebijakan memperkenalkan prinsip tersebut perlu dibarengi dengan penyamaan persepsi dan mainstreaming prinsip-prinsip good governance untuk mengubah orientasi pelaku pengadaan yang eksploitatif menjadi melayani. Dengan kata lain, satu kebijakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengkaitkannya dengan kebijakan lainnya.


Lebih lanjut, perkembangan gagasan suatu kebijakan bisa berlangsung sangat cepat sehingga penyesuaiannya juga perlu sangat cepat untuk memperoleh manfaat segera. Dengan perkembangan teknologi informasi, suatu kebijakan dapat dimungkinkan berubah dengan sangat cepat mengikuti peluang-peluang yang diberikan oleh teknologi.

Perjalanan e-procurement di Indonesia

Tonggak pengembangan e-procurement di Indonesia dimulai tahun 2003 dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Keppres ini, pengadaan mulai dimungkinkan diproses dengan memanfaatkan sarana elektronik.

Walaupun sudah dimungkinkan dari segi regulasi pengadaan, perkembangan penggunaan e-procurement di instansi pemerintah belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Hanya di beberapa BUMN yang mulai menerapkan kebijakan e-procurement.

Tahun 2004, dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Bappenas mendapat tugas untuk melakukan pilot project implementasi e-procurement. Pilot project berhasil dimulai dan dilakukan di 2 kementerian (Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Nasional) dan 5 provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan Gorontalo), serta secara sukarela oleh Provinsi DIY dan Provinsi Riau Kepulauan, Kota Denpasar dan Kota Yogyakarta.



Dengan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 7 Desember 2007 dibentuk. Tugas pengembangan e-procurement dilanjutkan oleh LKPP mulai pertengahan 2008.

Dari tahun 2003 sampai dengan 2007 perkembangan penerapan e-procurement dapat dikatakan sangat lamban. Bila mengacu framework MDB 2004, periode ini disebut dengan fase persiapan implementasi.

Tahap perkembangan berikutnya terjadi selama periode 2009-2010. Pada periode ini, LPSE berkembang dari 11 LPSE pada tahun 2008, menjadi 33 LPSE pada tahun 2009 dan 135 LPSE pada akhir 2010. Pada periode ini terjadi lompatan eksponensial baik pada segi jumlah layanan (LPSE) maupun nilai transaksinya.

Dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, kebijakan e-procurement memasuki tahap yang lebih “solid”. Dalam Perpres ini e-procurement ditempatkan dalam satu bab pengaturan tersendiri dengan arah kebijakan yang jelas.

Mulai tahun 2012 semua instansi wajib menerapkan e-procurement, dan mulai 2011 seluruh pengumuman lelang dilakukan secara elektronik melalui website portal pengadaan nasional (http://www.inaproc.lkpp.go.id/) menggantikan pengumuman di surat kabar nasional dan surat kabar provinsi. (Ikak G. Patriastomo)

22/01/11

LPSE: Pengelola e-Market Place Pengadaan Indonesia

Mengapa pengadaan barang dan jasa pemerintah tidak efisien? Diskusinya bisa panjang lebar dan berhari-hari. Bisa menjadi diskusi yang menarik, bisa menjadi diskusi yang membosankan manakala jawabannya selalu kembali ke regulasi yang multitafsir.

Saya selalu tidak sependapat dengan menjadikan regulasi sebagai kambing hitam. Dalam pemahaman saya, regulasi yang ada sudah cukup memadai, walaupun tentunya tidak sempurna, untuk menjawab tantangan yang ada. Singkatnya, regulasi yang ada cukup memadai bila pengadaan dilakukan oleh pelaksana yang paham betul dengan kebutuhannya maupun bagaimana dunia usaha merespon kebutuhan itu.

Kapasitas pelaksana ini menjadi salah satu tantangan besar kita. Bagaimana melatih dan mendidik sekian banyak pelaksana pengadaan secepat-cepatnya sehingga efisiensi segera tercipta?

Di sisi yang sebaliknya, dunia usaha merespon kebutuhan barang dan jasa pemerintah dengan persepsi yang sangat beragam yang lebih dominan pada keinginan mengeksploitasinya. Pada mainstream seperti ini, persaingan usaha yang sehat dalam pengadaan adalah kalimat yang “asing”. Tender sebagai mekanisme persaingan usaha yang sehat tidak dapat terwujud dengan benar. Pengadaan kemudian didominasi oleh praktek tender “arisan”, yang diatur baik secara vertikal maupun horisontal.

Tantangan dengan mainstream seperti ini, bagaimana memastikan proses pengadaan (dalam pengertian tender) dapat diikuti oleh sebanyak-banyaknya pelaku usaha, tidak tersekat-sekat oleh batas-batas administrasi maupun wilayah geografi, tidak dihalang-halangi untuk menawar, tidak diancam manakala tidak mau ikut arisan dan sebagainya.

Teknologi informasi dengan solusi e-procurement terbukti mampu menjawab tantangan tersebut. Namun demikian, e-procurement (e-tender) yang bagaimana yang secara maksimal mampu menyelesaikan segala persoalan ikutannya? Persoalan menjamin “trust” (karena banyaknya persekongkolan vertikal), persoalan menjamin akses semua pelaku usaha, persoalan pemahaman pelaku pengadaan maupun pelaku usaha yang pasti tidak semuanya mengerti komputer dan mengoperasikannya, dll.

Oleh karena itu, berkembang visi: e-procurement (e-tender) yang dapat segera diterapkan, sekaligus menjamin pengadaan yang terbuka dan menyatu (perlu huruf tebal), bersaing sehat serta transparan.

Kata kuncinya adalah 1 (satu) e-market place pengadaan nasional. Namun demikian, 1 (satu) tidak boleh kemudian diartikan terpusat dan satu pengelolaan. Dalam konteks Indonesia yang berpulau-pulau, desentralistik, daerah yang otonom termasuk kepercayaan kepada pemerintah yang belum memadai sehingga efektifitas komando biasanya terbatas, serta infrastruktur IT yang belum memadai dan merata di semua wilayah, maka satu e-market place harus dimaknai banyak market place tetapi menjadi satu.

Visi dan gagasan ini ternyata tidak mudah dipahami. Mungkin juga karena tidak cukup memadai dikomunikasikan. Salah persepsi yang pertama, e-market place seolah-olah dikelola oleh instansi pengelola pengadaan (panitia pengadaan atau Unit Pengadaan). Unit pengadaan tidak boleh mengelola e-market place yang dalam hal ini kemudian disebut dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik atau LPSE. Salah persepsi yang kedua, LPSE hanya dibangun oleh Pemerintah. LPSE boleh dibangun oleh siapa saja dan dapat digunakan oleh pengelola pengadaan yang terdekat. Next.... (Ikak G. Patriastomo)

16/01/11

Pranata Konstruksi

PERAN PRANATA KONSTRUKSI
DALAM PERKEMBANGAN JASA KONSTRUKSI
DI INDONESIA

Oleh: Ikak G. Patriastomo
(Disampaikan dalam acara Seminar Sekolah Arsitektur ITB pada Purnabakti Dr. Ir. Sugeng Rahardjo, MArch, 10 Februari 2007)

Tantangan Industri Jasa Konstruksi Nasional

Industri konstruksi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu sektor ekonomi yang meliputi unsur perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi bentuk konstruksi. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang kontribusinya pada perekonomian sangat besar. Secara nasional, sumbangan sektor konstruksi terhadap PDB sekitar 6% (AsiaConstruct 2004). Sumbangan sektor konstruksi pernah mencapai titik tertinggi pada tahun 1997 yang mencapai lebih dari 8%.
Dari segi jumlah usaha, tercatat 110.835 unit usaha (LPJKN, 2002). Jumlah ini menurun dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1997 yang tercatat 199.253 unit usaha. Usaha jasa konstruksi nasional saat ini didominasi oleh usaha kecil, yang pada tahun 2000, jumlah usaha kecil di sektor konstruksi tercatat 136.423 unit usaha (BPS, tahun 2000), yang kemudian berkurang menjadi hanya 95.416 unit usaha (85.19%) pada tahun 2002.
Data tersebut dapat menunjukan pada 3 hal: (1) terdapat penurunan jumlah usaha kecil akibat dari upaya penataan lingkungan usaha yang dimulai di tahun 1999, atau (2) terdapat sejumlah unit usaha yang bergerak secara informal atau tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan mengenai perizinan usaha, atau (3) terdapat hambatan untuk memasuki bisnis di sektor konstruksi sehingga tidak menunjukan perkembangan penambahan jumlah unit usaha baru.

Sejalan dengan perjalanan liberalisasi perdagangan, berdasarkan UU Jasa Konstruksi, badan usaha maupun pekerja asing konstruksi sudah tidak dihalangi-halangi untuk beroperasi dan bekerja di Indonesia (LPJK: Jumlah usaha asing konstruksi tahun 1998: 448 unit usaha, dan terbanyak dari Jepang). Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri makala sebagian besar badan usaha nasional, yang sebagian besar berskala kecil, tidak cukup memiliki daya saing dan kemampuan untuk menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang efisien dan efektif. Indikasi dari persoalan ini adalah harga bangunan yang mahal, kualitas pekerjaan yang tidak memenuhi standar dsb.
Dengan kondisi tersebut, pada saat investasi asing maupun pembiayaan dari luar negeri masuk ke Indonesia, jumlah unit usaha nasional yang dapat memanfaatkan peluang pasar pekerjaan konstruksi yang ada menjadi sangat terbatas. Pada akhirnya, segera terlihat bahwa usaha konstruksi nasional sangat bergantung kepada pasar konstruksi yang dibiayai dari dana pemerintah yang secara nasional hanya sekitar dari 40% pangsa pasar konstruksi atau Rp. 65 trilyun (2004) dari sekitar Rp. 156 trilyun total volume pasar konstruksi (Data : BPKSDM Dep PU).
Pola berpikir yang berkembang, kemampuan usaha yang tidak memadai disebabkan oleh persyaratan usaha dan persyaratan keahlian belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional. Dengan pemahaman ini, sangat mudahnya seseorang mendirikan usaha di bidang konstruksi dan sangat mudahnya seseorang mengaku ahli dalam bidang konstruksi karena tidak jelasnya persyaratan usaha dan persyaratan keahlian sehingga menyebabkan usaha konstruksi secara nasional menjadi tidak kompetitif. Pada akhirnya, usaha jasa konstruksi nasional tidak dapat menguasai sepenuhnya peluang pasar pekerjaan konstruksi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, apalagi yang berteknologi tinggi.
Undang-Undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah menggarisbawahi peran penting jasa konstruksi dalam pembangunan dalam menciptakan bangunan fisik yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan sosial ekonomi, maupun mendukung tumbuh berkembangnya berbagai industri barang dan jasa. Melalui undang-undang ini telah disepakati bahwa jasa konstruksi perlu dikembangkan secara sistematis dengan mengerahkan segenap potensi masyarakat jasa konstruksi sehingga peran jasa konstruksi dalam pembangunan dapat dimaksimalkan.

Gagasan Pengaturan Lingkungan Usaha
Dalam Undang-undang Jasa Konstruksi tersuratkan bahwa iklim usaha yang kondusif sangat diperlukan agar kemampuan usaha jasa konstruksi nasional meningkat. Iklim usaha yang kondusif itu sendiri akan diciptakan melalui instrument-instrumen:
a. Penguatan kepranataan usaha, yang meliputi:
• Persyaratan usaha (klasifikasi dan kualifikasi);
• Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian dan ketrampilan;
• Tanggungjawab profesional;
• Sistem perlindungan pekerja;
• Terbinanya proses kontrak yang terbuka, adil dan setara;
b. Penyediaan dukungan bagi pengembangan usaha, meliputi:
• Tersedianya permodalan;
• Terpenuhinya ketentuan jaminan mutu;
• Berfungsinya asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi dalam memenuhi kepentingan anggotanya;
c. Pengembangan partisipasi masyarakat;
d. Pernyelenggaraan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah maupun masyarakat jasa konstruksi; dan
e. Pembentukan lembaga oleh masyarakat jasa konstruksi dari unsur asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi untuk pengembangan jasa konstruksi.

Di sisi yang lain, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyuratkan bahwa iklim usaha yang kondusif dapat ditumbuhkan melalui :
1. Pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan (sehingga) menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
2. Pelarangan perjanjian yang oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup;
3. Pelarangan kegiatan yang monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, pesekongkolan;
4. Pelarangan penggunaan posisi dominan.

Persyaratan Usaha Jasa Konstruksi
Berdasarkan UU Jasa Konstruksi, setiap usaha dalam bidang konstruksi, yang meliputi perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi, izin diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, diregistrasi oleh LPJK berdasarkan klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi yang bersangkutan. Registrasi oleh LPJK (sertifikasi) itu sendiri adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasinya.
Apabila usaha merupakan usaha orang perseorangan, baik perencana konstruksi maupun pengawas konstruksi, maka orang yang bersangkutan harus memiliki sertifikat keahlian. Demikian juga dengan pelaksana konstruksi orang perseorangan juga harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.
Lebih dari itu, orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian, dan tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.

Klasifikasi usaha
Klasifikasi usaha di bidang jasa konstruksi dibagi ke dalam bidang, sub bidang dan bagian sub bidang yang mengacu kepada Central Product Classification (CPC) yang dikeluarkan oleh PBB.
Usaha pelaksanaan konstruksi yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan , sub bidang dab bagian sub bidang dapat bersifat usaha yang bersifat umum, spesialist dan usaha orang perseorangan yang berketrampilan kerja.

Kualfikasi Usaha
Kualifikasi usaha di bidang jasa pelaksana konstruksi, yang didasarkan pada tingkat/kedalaman/kompetensi SDM dan pengalaman, serta kepemilikan kekayaan bersihnya dibagi ke dalam:
Gred 1: orang perseorangan; maks 2 sub bidang.
Gred 2: usaha kecil; tanpa pengalaman, maks 4 subbidang.
Gred 3: usaha kecil; pengalaman dalam gred di bawahnya, maks 6 subbidang.
Gred 4: usaha kecil; pengalaman dalam gred di bawahnya, maks 8 subbidang.
Gred 5: usaha menengah; 10 subbidang, dst.
Gred 6: usaha besar; 12 subbidang, dst.
Gred 7: usaha besar dan usaha asing; sesuai kompetensinya, tidak ada boleh ada sub bidang pekerjaan gred 2, 3, dan 4.

Kelembagaan Pengembangan Jasa Konstruksi
Dalam UU, asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi dalam kerangka konsep pengembangan jasa konstruksi merupakan unsur masyarakat jasa konstruksi yang dapat berperan secara aktif dan signifikan dalam pengembangan. Oleh karena itu, kedua unsur ini memerlukan wadah untuk penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi. Wadah ini beranggotakan wakil-wakil dari:
1. Asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
2. Asosiasi profesi jasa konstruksi;
3. Pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan;
4. Instansi Pemerintah yang terkait.

Wadah dimaksudkan untuk:
1. Melakukan dan mendorong penelitian dan pengembangan. Upaya mengembangkan kemampuan usaha dalam UU tersebut secara konsep dipahami telah diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat jasa konstruksi.
2. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
3. Mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi;
Dalam rangka menjamin dan menilai kompetensi badan usaha maupun tenaga kerja konstruksi, maka diperlukan lembaga yang:
1. Melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi ketrampilan dan keahlian kerja. Registrasi badan usaha dan tenaga kerja merupakan konsep yang diperkenalkan dalam rangka pengembangan jasa konstruksi melalui penguatan kepranataan usaha.;
2. Melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi.

Pertanyaan Bersama
Apakah pranata konstruksi yang ada sudah cukup? Sementara jawabannya belum, baik dari ruang lingkup pengaturan yang ada maupun terdefinisinya standar untuk mengukur kompetensi badan usaha maupun tenaga kerja konstruksi. Apakah pengaturan kepranataan konstruksi sudah memiliki arah yang benar? Jawabannya, mudah-mudahan.

Bagaimana semua pihak khususnya perguruan tinggi dapat ikut memikirkan dan berperanserta dalam pengembangan jasa konstruksi? Saya kira ini adalah pertanyaan kita bersama, jangan sampai terkesan dunia pendidikan tinggi hanya asyik bergulat dengan pemikiran-pemikiran akademik.

03/01/11

Membangun e-procurement, membangun bangsa

Pada waktu pertama kali saya mendengar gagasan bahwa e-procurement akan menjadi sistem utama pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia, saya termenung. Apa mungkin? Waktu itu tahun 2004.
Enam tahun kemudian, pada waktu tanggal 31 Desember 2010 saya memberikan sambutan akhir tahun di depan teman-teman yang bersama-sama mewujudkan gagasan itu, apa yang pada tahun 2004 rasanya masih menjadi mimpi, saat ini mimpi itu bukan lagi mimpi yang jauh.
Dalam kurun waktu hanya 3 tahun, sejak 2008 sampai akhir 2010 ini, perkembangannya sangat fantastis. Nilai transaksi pengadaan yang diproses secara elektronik menggunakan sistem e-procurement yang dibangun bersama-sama mencapai Rp. 16,69 trilyun. Lebih dari 7.900 paket lelang sudah diproses, padahal pada tahun 2008 hanya 33 paket diujicobakan.
Walaupun baru 51.780 badan usaha yang terdaftar dalam sistem e-procurement, jumlah ini adalah kumulatif 3 kali lipat dari jumlah badan usaha yang terdaftar tahun sebelumnya. Yang dirasakan oleh para pelaku usaha itu, ada perlakuan yang adil bagi mereka. Kesempatan untuk memenangkan lelang menjadi sama bagi semua pelaku usaha.
Melihat perkembangan itu, di tahun lalu, tepatnya tahun 2009 di Batam, saya pernah menyampaikan keyakinan saya di depan teman-teman, bahwa inisiatif membangun e-procurement akan memberi suasana dan optimisme baru di tengah-tengah hiruk pikuk komentar yang pesimistik dengan perkembangan bangsa ini. Inisiatif ini menunjukkan bahwa setiap elemen masyarakat memiliki dinamikanya sendiri untuk bertahan hidup dan memperbaiki dirinya dan lingkungannya.
Tampaknya, respon dari para pengelola pengadaan di daerah sangatlah mendukung dinamika ini. Tim yang dibentuk di setiap Provinsi, Kabupaten, Kota maupun Kementerian dan Lembaga untuk mengelola unit layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) sungguh sangat mengharukan sekligus membanggakan. Setiap orang dengan bersemangat mengambil bagian untuk mewujudkan e-procurement. Tidak mudah diceritakan, bagaimana Ibu-ibu di LPSE Sumatera Barat bersedia roadshow kepada para Bupati dan para kepala dinas di kabupaten se Sumatera Barat memperkenalkan e-procurement dan melakukan pendampingan kepada teman-temannya di kabupaten membentuk LPSE. Atau, kawan-kawan di Jawa Barat, Kalteng, atau Sulsel bersedia ke provinsi-provinsi lain menceritakan keberhasilannya mendorong penerapan e-procurement di provinsinya.
Ternyata, inisiatif membangun e-procurement telah menjadi gerakan bersama. LPSE-LPSE yang dibentuk di daerah maupun di pusat telah menjadi energi perubahan bagi lingkungannya dan perubahan ini dilakukan bersama-sama tanpa terikat dengan batas-batas wilayah dan kewenangan. Siapa saja dapat melakukan inisiatif itu, menyampaikannya kepada masyarakat, melatih panitia pengadaan maupun penyedia barang dan jasa, maupun melatih dan berbagi pengalaman kepada kawan-kawannya yang ingin membangun LPSE.
Birokrasi yang semula dipersepsikan lamban dan tidak mau berubah, saat ini teman-teman di LPSE telah menampilkan sikap yang sangat berbeda. Dengan bersemangat mereka bersedia membantu siapapun apalagi penyedia dan panitia yang ingin mengetahui proses lelang secara elektronik dan bisa mengoperasikan sistem aplikasi. Dengan ikhlas dan penuh dedikasi mereka melayani berbagai suara yang bernada sumbang pada inisiatif mereka. Mereka merasa menjadi tanggung jawab merekalah orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu e-procurement, seperti halnya mereka yang tahu dari kawan-kawan di LPSE yang lain.
Saat ini, ada lebih dari 1.300 orang di negara kita ini yang memiliki semangat seperti itu. Sekali lagi, perubahan itu pasti akan terjadi. Sistem pengadaan yang lebih baik akan segera terwujud oleh orang-orang seperti itu. (Ikak G. Patriastomo)