29/11/08

Kontrak Tahun Jamak (Multi Years Contract)

Seringkali kita dihadapkan pada situasi bahwa secara teknis dipastikan suatu pekerjaan misalnya membangun bangunan kantor 20 lantai yang tidak dapat dipecah-pecah ke dalam beberapa paket pekerjaan struktur dan memerlukan waktu pelaksanaan lebih dari satu tahun sehingga ruang lingkup kontrak yang bersangkutan akan meliputi lebih dari satu tahun anggaran.

Pada kasus seperti ini, yang memerlukan waktu pelaksanaan lebih dari 1 tahun, Keppres 80 tahun 2003 mengharuskan pekerjaan dilelangkan sebagai 1 paket lelang, walaupun anggarannya dialokasikan untuk misalnya 2 tahun anggaran.

Di sini, tidak ada alasan untuk melelangkan hanya untuk anggaran tahun pertama, sedangkan lingkup anggaran tahun berikutnya ditunjuk langsung kontraktor sebelumnya. Pada kasus ini, kontrak tahun jamak harus diterapkan. Bagaimana menjamin anggaran tahun berikutnya? Untuk itu perencanaan anggaran harus mempertimbangkan hal ini.

Pada kasus yang lain, kita sering menghadapi kebutuhan suatu barang misalnya obat untuk rumah sakit memerlukan supply yang terus menerus, yang tidak akan berhenti, atau paling tidak dalam jangka waktu tertentu yang lebih dari satu tahun tetap dibutuhkan barang tersebut. Persoalannya adalah bagaimana kebutuhan tersebut dapat dijamin terpenuhi setiap saat sesuai kebutuhan.

Untuk kasus seperti ini, salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan adalah skala kontrak dan kepastian supply. Pada umumnya skala kontrak menentukan harga terbaik yang dicapai, demikian juga kepastian supply dari kepentingan konsumen sekaligus merupakan keuntungan bagi produsen.

Bila kontrak dengan skala tertentu akan memberi tingkat harga terbaik dan skala ini menyebabkan ruang lingkup kontrak perlu lebih dari satu tahun, maka kontrak tahun jamak perlu dipikirkan untuk diterapkan, tentunya dengan tetap memperhatikan kebijakan memberi kesempatan usaha yang luas.

Pada kasus yang lain, misalnya secara teknis pelaksanaan pekerjaan harus dimulai awal musim hujan dan selesai sebelum musim kemarau, sehingga walaupun secara hari kalender pelaksanaannya tidak lebih dari 1 tahun tetapi akan melampaui akhir tahun anggaran dan meliputi dua tahun anggaran. Di sini juga harus menggunakan kontrak tahun jamak.

Pada kasus yang lain lagi, biasanya pada bulan Desember kita diingatkan bahwa batas akhir pembayaran tidak boleh melampaui tanggal 20 Desember. Padahal, antara tanggal 20-31 Desember terdapat pekerjaan yang tetap harus dilakukan yang tanggal 20, pekerjaan belum selesai dilakukan, sehingga tidak dapat dibayar dari anggaran tahun yang berjalan.

Biasanya kontrak dianggap selesai tanggal 20 Desember. Kebingungan yang sering muncul adalah bagaimana membayar kontrak yang sudah selesai dan melaksanakan pekerjaan tersebut?

Pada kasus ini, kontrak tahun jamak adalah salah satu solusi untuk memecahkan persoalan administrasi keuangan, termasuk menjawab persoalan apabila pada bulan Januari anggaran belum dapat dicairkan pembayarannya.

Kasus lain yang seringkali terjadi, suatu pekerjaan semula direncanakan selesai akhir tahun anggaran, namun karena berbagai alasan pekerjaan tidak dapat diselesaikan pada waktunya sehingga sisa pekerjaan akan melampaui tahun anggaran berjalan. Pertanyaan pertama, apakah sisa pekerjaan harus dilelangkan kembali? Kasus ini tidak dipecahkan melalui prosedur pengadaan, melainkan merupakan bagian dari pengelolaan kontrak.

Langkah yang perlu diambil oleh pembuat komitmen adalah memperpanjang kontrak sesuai kebutuhan, dan pengguna anggaran menganggarkan sisa nilai kontrak pekerjaan di tahun berikutnya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Harga Terbaik

Kita maklum bahwa tujuan pengadaan adalah mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan (volume, mutu, waktu dll) dengan harga yang terbaik agar sasaran kinerja kegiatan atau organisasi tercapai.

Dalam berbagai diskusi dengan pelaku pengadaan pemerintah selalu muncul pertanyaan berapa harga yang disebut terbaik? Apakah harga tersebut harus harga yang termurah?

Jawabannya, tergantung pada hitung-hitungan kita, apakah kebutuhan kita cukup terpenuhi dengan karakteristik minimal (jumlah, mutu, waktu dll) dari barang yang kita dapatkan.

Harga terendah

Situasi pertama, seringkali kebutuhan yang ada sudah cukup dipenuhi dengan karakteristik minimal, dan peningkatan karakteristik barang yang diperoleh tidak mempengaruhi peningkatan kinerja.

Apabila kebutuhan kita sama dengan situasi pertama, maka orientasi kita adalah mendapatkan harga terendah, termurah. Di sini menjadi tidak masuk akal bila kita ditawari barang yang sama dengan harga yang berbeda, kita memilih harga yang lebih mahal.

Cara mengevaluasi penawaran pada orientasi yang pertama ini dikenal dengan istilah sistem gugur.

Dalam praktek pelelangan selama ini, banyak dijumpai penawaran harga yang paling rendah tetapi tidak dipilih (tidak dimenangkan) dengan alasan tidak memenuhi persyaratan administrasi.

Pertanyaan yang mengganggu adalah apakah persyaratan administrasi itu sedemikian pentingnya sehingga mengorbankan tujuan pengadaan.

Menyikapi praktek tersebut, Keppres 80 Tahun 2003 menekankan bahwa hal-hal yang tidak substansial tidak boleh menggugurkan penawaran. Hal-hal yang dapat menggugurkan dari aspek administrasi penawaran perlu sangat dibatasi agar tidak kehilangan peluang memperoleh barang dengan harga yang paling menguntungkan.

Pada kasus yang lain lagi, penawaran harga yang terbaik tidak dimenangkan karena alasan tidak memenuhi aspek kualifikasi.

Untuk menjamin kinerja, selain harga, terpenuhinya persyaratan kualifikasi merupakan syarat yang menentukan keberhasilan penyedia barang melaksanakan kontraknya. Harga rendah yang ditawarkan oleh penyedia yang tidak berpengalaman sangat beresiko bagi kegiatan kita.

Seperti halnya kasus persyaratan administrasi, perumusan persyaratan kualifikasi yang tidak cermat atau berlebihan, serta memperlakukannya secara tidak realistik dalam proses evaluasinya akan menyebabkan harga yang terendah terpaksa tidak dimenangkan karena alasan tidak memenuhi syarat kualifikasi.

Untuk menyikapi hal ini, Keppres 80 Tahun 2003 menekankan perlunya menyederhanakan persyaratan dan menilainya secara azas nyata. Hal-hal yang tidak relevan dengan keperluan kita untuk meyakini aspek legalitas, kemampuan usaha dan kredibilitas pelaku usaha tidak perlu disyaratkan.

Jangan sampai akibat persyaratan yang dirumuskan suatu penawaran yang menguntungkan digugurkan padahal dalam faktanya penyedianya nyata-nyata memenuhi kualifikasi.

Harga sepadan

Situasi kedua, pada tahap kita merencanakan kebutuhan, di pasar terdapat banyak barang dengan spesifikasi dan karakteristik yang beragam. Ada barang yang berbeda mutu tetapi harganya tidak berbeda jauh, dan biasanya mutu yang lebih baik harganya lebih mahal. Pada kondisi ini kita perlu memikirkan untuk mendapat barang yang harganya sepadan dengan kualitasnya.

Bila kita berorientasi pada tujuan yang kedua ini, maka dalam pengadaan diperkenalkan metode evaluasi dengan istilah sistem nilai (merit point system). Penggunaan metode ini tidak selalu menghasilkan harga yang terendah.

Dalam praktek pelelangan banyak kasus penggunaan sistem nilai yang tidak tepat. Sistem nilai lebih tepat digunakan untuk pengadaan barang yang nyata-nyata spesifikasi dan mutu barang sudah terjadi dan dapat diukur secara kuantitatif. Sistem nilai tidak tepat digunakan untuk menilai penawaran jasa pemborongan yang masih memerlukan proses untuk mendapatkan outputnya.

Contoh kasus yang tidak tepat lainnya, penilaian dilakukan bukan pada unsur-unsur teknis melainkan pada unsur-unsur aspek kualifikasi,

Situasi lebih lanjut yaitu bila terdapat kebutuhan dalam evaluasi penawaran untuk memperhitungkan perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan serta nilai sisa suatu barang selama umur ekonomis. Untuk kebutuhan ini dikenal metode evaluasi sistem penilaian biaya selama umur ekonomis (economic life cycle cost).

Harga vs HPS

Dalam berbagai diskusi dengan panitia pengadaan, momok yang menakutkan adalah apabila harga yang diperoleh dari pelelangan lebih tinggi dari HPS, takut dituduh “markup”. Sebaliknya, bila HPS terlalu tinggi dibandingkan dengan harga penawaran hasil lelang, panitia juga takut dituduh ‘markup”.

Secara singkat, tidak ada hubungan antara HPS dan harga hasil lelang. Banyak faktor yang bekerja menentukan harga. Bila lelang kita cukup kompetitif, logikanya harga penawaran pasti di bawah HPS. Dengan demikian, bila penawaran paling rendah lebih tinggi dari HPS bisa menjadi indikasi persaingan yang tidak efektif.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

28/11/08

Pengadaan Jasa Konsultansi

Dalam pelaksanaan kegiatan, seringkali kita memerlukan layanan keahlian/ profesi yang keluarannya pada umumnya berujud non-fisik, seperti rekomendasi, nasehat, hasil survey, disain ataupun dukungan manajerial seperti pengawasan, dll. Layanan ini dikenal dengan jasa konsultansi.

Alasan kebutuhan

Jasa konsultansi pada umumnya diperlukan untuk melaksanakan sebagian fungsi user (pengguna) dengan alasan-alasan seperti:
1) Pengguna menilai akan lebih efektif dan efisien apabila lingkup pekerjaan kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan jasa konsultansi karena telah tumbuh bidang-bidang usaha profesi, misalnya jasa konsultan perencana konstruksi.
2) Pengguna memerlukan telaahan atau rekomendasi pihak ketiga untuk menjamin obyektivitas atapun karena kompetensi pihak ketiga ybs dalam mengambil keputusan strategis, misalnya jasa konsultan survey.
3) Pengguna tidak memiliki sumber daya dengan keahlian/pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan bersangkutan, sedangkan di dunia usaha sangat berkembang kebutuhan untuk bidang keahlian ybs.
4) Pengguna tidak memiliki cukup waktu untuk melaksanakan sendiri kegiatan bersangkutan.

Alasan-alasan tersebut menggambarkan berbagai situasi yang menjadi alasan perlu tidaknya kita akan jasa konsultansi. Dalam banyak hal, kebutuhan melaksanakan kegiatan tidak selalu terjawab dengan mengadakan kontrak jasa konsultansi. Ada kalanya, pengguna sudah mengetahui atau lebih mampu dalam melaksanakan kegiatan yang bersangkutan. Pada situasi ini, swakelola untuk melaksanakan pekerjaan lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan yang bersangkutan kepada penyedia jasa konsultansi.

Dengan demikian, adalah kesalahan besar apabila pengguna yang tidak memahami kebutuhan akan jasa konsultansinya maupun ruang lingkup pekerjaan yang tepat dilaksanakan oleh konsultan dan menyerahkan persoalannya kepada konsultan. Hasilnya pasti tidak menjawab persoalan pengguna.

Hal ini biasanya tercermin dalam perumusan Kerangka Acuan Kerja (KAK atau TOR), yang memuat:
1) Gambaran mengenai latar belakang kebutuhan/pekerjaan (termasuk gambaran masalah yang dihadapi), maksud dan tujuannya, termasuk gambaran dari organisasi pengguna.
2) Apa yang menjadi tujuan dan ruang lingkup pekerjaan, yang harus mencerminkan hasil dan ukuran-ukurannya.
3) Bagaimana perkiraan cara melaksanakan kegiatan dan cara mencapai hasil (metodologi).
4) Perkiraan input yang diperlukan dan dukungan yang dapat disediakan oleh pengguna, termasuk rencana pelaksanaan pekerjaan dan jumlah serta kualifikasi tenaga ahli yang harus disediakan.

RAB Jasa Konsultansi

Setelah kita dapat merumuskan TOR, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana anggaran biaya (RAB). Tahap ini memang tidak mudah karena jasa konsultansi merupakan bidang usaha yang output dan produknya pada umumnya tidak selalu dapat diukur dengan pasti.

Untuk dapat memperkiraan biaya yang perlu disediakan untuk suatu jasa konsultansi, pengguna sangat dituntut memahami betul kebutuhannya serta alternatif metodologi pelaksanaan kegiatan dan bagaimana konsultan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Secara garis besar, cara menghitung biaya jasa konsultansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) jasa konsultan yang memiliki standar output, sehingga perhitungan biaya dapat berdasarkan proporsi (persentase) tertentu dari suatu nilai, seperti perancangan bangunan gedung, pengawasan pembangunan gedung dsb, dan (2) jasa konsultansi yang belum atau tidak dapat distandarkan (non-standar), sehinga perhitungan biaya perlu didasarkan pada penggunaan tenaga ahli dalam jangka waktu pelaksanaan kegiatan termasuk biaya-biaya langsung lainnya yang timbul untuk mendukung pelaksanaan kegiatan.

Dengan demikain, kembali lagi, untuk dapat menyusun rencana biaya, syarat utama yang harus dipenuhi adalah sudah dirumuskannya KAK atau TOR yang jelas sehingga tergambar pemahaman pengguna atas kebutuhan jasa konsultansi tersebut, serta perkiraan jumlah tenaga ahli dari berbagai kualifikasi yang diperlukan.

Untuk jasa konsultansi yang standar, TOR juga menjadi acuan untuk menilai apakah usulan teknis yang ditawarkan memenuhi kebutuhan minimal dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Untuk jasa konsultan yang non-standar, TOR juga sangat penting untuk menentukan biaya personel maupun biaya langsung lainnya.

Di waktu yang lalu, dalam rangka memberi pedoman dalam penyusunan anggaran, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan pedoman kepada instansi dalam penyusunan RAB untuk pekerjaan jasa konsultansi yang masuk kategori jasa konsultan non-standar.

Pada pedoman yang dikeluarkan terakhir, tidak lagi digambarkan nilai-nilai rupiah untuk setiap kualifikasi konsultan. Sejak saat itu, pendekatan penentuan billing rate didasarkan pada harga pasar basic salary yang terjadi untuk setiap kualifikasi dan bidang industri konsultan. Bukan harga yang ditetapkan.

Dengan pendekatan ini, untuk suatu kualikasi, pada sektor industri yang berbeda pada lokasi yang berbeda pada waktu yang berbeda, basic salary bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, harga suatu keahlian yang pada hakekatnya adalah kompensasi yang harus diberikan kepada seseorang perlu didasarkan kepada nilai keahlian seseorang tersebut.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Pengadaan Jasa Konsultansi

Dalam pelaksanaan kegiatan, seringkali kita memerlukan layanan keahlian/ profesi yang keluarannya pada umumnya bukan merupakan bentuk fisik, melainkan berbentuk rekomendasi, nasehat, hasil survey, disain ataupun dukungan manajerial seperti pengawasan, dll. Layanan ini dikenal dengan jasa konsultansi.

Alasan kebutuhan

Jasa konsultansi pada umumnya diperlukan untuk melaksanakan sebagian fungsi user (pengguna) dengan alasan-alasan seperti:
1) Pengguna menilai akan lebih efektif dan efisien apabila lingkup pekerjaan kegiatan tersebut dilakukan oleh perusahaan jasa konsultansi karena telah tumbuh bidang-bidang usaha profesi, misalnya jasa konsultan perencana konstruksi.
2) Pengguna memerlukan telaahan atau rekomendasi pihak ketiga untuk menjamin obyektivitas atapun karena kompetensi pihak ketiga ybs dalam mengambil keputusan strategis, misalnya jasa konsultan survey.
3) Pengguna tidak memiliki sumber daya dengan keahlian/pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan bersangkutan, sedangkan di dunia usaha sangat berkembang kebutuhan untuk bidang keahlian ybs.
4) Pengguna tidak memiliki cukup waktu untuk melaksanakan sendiri kegiatan bersangkutan.

Alasan-alasan tersebut menggambarkan berbagai situasi yang menjadi titik penentuan perlu tidaknya kita akan jasa konsultansi. Dalam banyak hal, kebutuhan melaksanakan kegiatan tidak selalu terjawab dengan mengadakan kontrak jasa konsultansi. Ada kalanya, pengguna sudah mengetahui atau lebih mampu dalam melaksanakan kegiatan yang bersangkutan. Pada situasi ini, swakelola untuk melaksanakan pekerjaan lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan menyerahkan sepenuhnya pekerjaan yang bersangkutan kepada penyedia jasa konsultansi.

Dengan demikian, adalah kesalahan besar apabila pengguna yang tidak memahami kebutuhan akan jasa konsultansinya maupun ruang lingkup pekerjaan yang tepat dilaksanakan oleh konsultan menyerahkan persoalannya kepada konsultan. Hasilnya pasti tidak menjawab persoalan pengguna.

Hal ini biasanya tercermin dalam perumusan Kerangka Acuan Kerja (KAK atau TOR), yang memuat:
1) Gambaran mengenai latar belakang kebutuhan/pekerjaan (termasuk gambaran masalah yang dihadapi), maksud dan tujuannya, termasuk gambaran dari organisasi pengguna.
2) Apa yang menjadi tujuan dan ruang lingkup pekerjaan, yang harus mencerminkan hasil dan ukuran-ukurannya.
3) Bagaimana perkiraan cara melaksanakan kegiatan dan cara mencapai hasil (metodologi).
4) Perkiraan input yang diperlukan dan dukungan yang dapat disediakan oleh pengguna, termasuk rencana pelaksanaan pekerjaan dan jumlah serta kualifikasi tenaga ahli yang harus disediakan.

RAB Jasa Konsultansi

Setelah kita dapat merumuskan TOR, maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana anggaran biaya (RAB). Tahap ini memang tidak mudah karena jasa konsultansi merupakan bidang usaha yang output dan produknya pada umumnya tidak dapat diukur.

Untuk dapat memperkiraan biaya yang perlu disediakan untuk suatu jasa konsultansi, pengguna sangat dituntut memahami betul kebutuhannya serta alternatif metodologi pelaksanaan kegiatan dan bagaimana konsultan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Secara garis besar, cara menghitung biaya jasa konsultansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) jasa konsultan yang memiliki standar output, sehingga perhitungan biaya dapat berdasarkan proporsi (persentase) tertentu dari suatu nilai, seperti perancangan bangunan gedung, pengawasan pembangunan gedung dsb, dan (2) jasa konsultansi yang belum atau tidak dapat distandarkan (non-standar), sehinga perhitungan biaya perlu didasarkan pada penggunaan tenaga ahli dalam jangka waktu pelaksanaan kegiatan termasuk biaya-biaya langsung lainnya yang timbul untuk mendukung pelaksanaan kegiatan.

Dengan demikain, kembali lagi, untuk dapat menyusun rencana biaya, syarat utama yang harus dipenuhi adalah sudah dirumuskannya KAK atau TOR yang jelas sehingga tergambar pemahaman pengguna atas kebutuhan jasa konsultansi tersebut, serta perkiraan jumlah tenaga ahli dari berbagai kualifikasi yang diperlukan.

Untuk jasa konsultansi yang standar, TOR juga menjadi acuan untuk menilai apakah usulan teknis yang ditawarkan memenuhi kebutuhan minimal dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. Untuk jasa konsultan yang non-standar, TOR juga sangat penting untuk menentukan biaya personel maupun biaya langsung lainnya.

Di waktu yang lalu, dalam rangka memberi pedoman dalam penyusunan anggaran, Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan pedoman kepada instansi dalam penyusunan RAB untuk pekerjaan jasa konsultansi yang masuk kategori jasa konsultan non-standar.

Pada pedoman yang dikeluarkan terakhir, tidak lagi digambarkan nilai-nilai rupiah untuk setiap kualifikasi konsultan. Sejak saat itu, pendekatan penentuan billing rate didasarkan pada harga pasar basic salary yang terjadi untuk setiap kualifikasi dan bidang industri konsultan. Bukan harga yang ditetapkan.

Dengan pendekatan ini, untuk suatu kualikasi, pada sektor industri yang berbeda pada lokasi yang berbeda pada waktu yang berbeda, basic salary bisa berbeda-beda.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

20/11/08

LELANG atau TIDAK LELANG

Pengadaan sebagai proses mendapatkan barang atau jasa telah memperkenalkan berbagai cara (metode) dalam upaya mendapatkan barang atau jasa dengan harga yang terbaik (dari sisi konsumen), sesuai kebutuhan, baik dari sisi kualitas, kepastian waktu memperolehnya maupun volumenya.

Metode tersebut dikenal dengan lelang. Di dalam aturan kita (Keppres 80 Tahun 2003) diperkenalkan metode-metode: Pelelangan Umum dan Pelelangan Terbatas.

Pelelangan dalam pengadaan publik merupakan metode memilih penyedia yang paling menjamin bahwa harga yang diperoleh merupakan harga yang terbaik. Harga adalah salah satu tujuan penting dalam pengadaan.

Lebih dari pada itu, pelelangan adalah metode yang paling menjamin bahwa semua pelaku usaha mendapat kesempatan berkompetisi secara adil. Hal ini sudah menjadi perintah undang-undang yang mengatur persaingan usaha yang sehat.

Selanjutnya dengan menggunakan metode pelelangan pengelola pengadaan menjadi lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan hasil pengadaan, termasuk mempertanggung jawabkan harganya. Hal ini yang kemudian menjadi pokok persoalan agar proses yang dilakukan dijamin tidak terdapat unsur tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Namun demikian, pada dasarnya tidak setiap situasi memungkinkan dilaksanakannya proses pelelangan. Hal ini perlu digarisbawahi, karena ada persepsi bahwa proses pengadaan yang tidak melalui lelang langsung dianggap salah.

Situasi pertama, apabila penanganan memerlukan waktu yang cepat (mendesak), biasanya karena darurat atau bencana, maka menjadi tidak mungkin dilakukan proses pelelangan.

Situasi kedua, pelelangan juga tidak akan efektif apabila diketahui dengan pasti bahwa hanya terdapat satu penyedia yang dapat memberi barang atau jasa sesuai kebutuhan kita.

Pengertian satu penyedia tidak harus diartikan di dunia ini hanya ada satu penyedia. Situasi satu penyedia dapat muncul karena faktor lokasi, waktu, volume kebutuhan, spesifikasi dll.

Di samping itu, pelelangan pada dasarnya adalah proses yang memakan waktu dan biaya. Oleh karena itu, untuk pengadaan dengan skala kecil atau nilai kecil, dan dari sisi waktu dan biaya menjadi tidak sebanding apabila diproses secara pelelangan, maka diperlukan metode yang lain, tanpa mengurangi akuntabilitas.

Di banyak pedoman pengadaan (termasuk Keppres 80 Tahun 2003), skala dan nilai tersebut kemudian ditetapkan dan diatur untuk mengurangi peluang disalahgunakan. Misalnya untuk organisasinya PBB, pengadaan dengan nilai antara US$ 2.500 sampai dengan US$ 30.000 dituntut harus membandingkan penawaran dari 5 (lima) penyedia dengan jangkauan domisili seluas mungkin.

Ketentuan dalam Keppres 80 Tahun 2003, penentuan apakah pengadaan dapat diproses dengan lelang atau tidak adalah hasil penilaian dan keputusan Panitia Pengadaan bersama-sama dengan pejabat pembuat komitmen. Panitia Pengadaan adalah pihak yang paling kompeten untuk dapat menentukan apakah kebutuhannya mendesak atau tidak, penyedianya satu atau banyak.

Dalam banyak kasus selama ini, Panitia Pengadaan sering dihadapkan pada situasi yang serba salah karena penugasan yang diberikan kepadanya tidak memberi waktu yang cukup untuk memproses lelang. Bukan karena kondisi yang mendesak, tetapi lebih karena terdesak waktu (habis waktu).

Di sini perlunya kerjasama yang baik antara Panitia Pengadaan dengan pemilik/penanggung jawab kegiatan. Penanggung jawab kegiatan perlu menyadari bahwa proses pengadaan yang benar memerlukan waktu minimal 18 hari kerja, sehingga penugasan kepada panitia perlu diberikan jauh-jauh hari sebelumnya.

Oleh karena itu, rencana pengadaan yang tersusun dengan cermat pada saat penyusunan rencana kegiatan dan anggaran, sudah dijadwal kapan harus mulai pengumuman, besarnya jumlah dan nilai paket pengadaan, akan membantu Panitia untuk mendapatkan penawaran yang sebanyak-banyaknya sehingga diperoleh harga yang terbaik.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

14/11/08

Menyederhanakan proses lelang

Sampai hari ini kita masih menjumpai pendapat bahwa proses lelang tidak sederhana dan memakan waktu lama, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa proses lelang tidak efektif karena tidak menjamin keinginan pengguna memperoleh barang/jasa yang sesuai.

Terdapat beberapa pilihan prosedur yang dapat dipilih Panitia Pengadaan berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 untuk menyederhanakan proses lelang.

Prosedur tersebut adalah prosedur pelelangan umum secara pasca kualifikasi, yang baru diperkenalkan mulai Keppres 80 Tahun 2003 sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur lelang. Secara sederhana prosedur ini meliputi 8 tahapan, yaitu:
1. Pengumuman pelelangan;
2. Pendaftaran calon peserta lelang
3. Pengambilan dokumen lelang, penjelasan dokumen dan perubahan-perubahannya;
4. Pemasukan penawaran;
5. Pembukaan penawaran dan evaluasi penawaran termasuk penilaian kualifikasi;
6. Penetapan dan pengumuman pemenang;
7. Masa sanggah;
8. Penunjukan pemenang..

Pengumuman pada pelelangan sangat penting, sehingga diatur agar pelelangan diumumkan secara luas di surat kabar nasional dan provinsi bila nilai pengadaan di atas Rp. 1 milyar, dan cukup di surat kabar provinsi untuk nilai pengadaan di bawah Rp. 1 milyar.

Kemudian, isi pengumuman harus menjelaskan ruang lingkup, nilai pengadaan dan persyaratan penting yang harus dipenuhi pelaksana pekerjaan sehingga penyedia dapat menilai pekerjaan yang dilelangkan, termasuk alamat Panitia Pengadaan, jadwal pendaftaran dan tempat pelelangan. Yang juga penting adalah pengumuman harus memberi cukup waktu sehingga akan banyak penyedia yang mendaftar.

Setelah diumumkan, semua pelaku usaha yang berminat dapat mendaftar dan tidak boleh dihalangi untuk mendaftar serta mengambil dokumen lelang. Pada tahap ini dokumen lelang harus sudah ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Untuk mempermudah para pengelola pengadaan menyusun dokumen, Bappenas telah menerbitkan Model Dokumen Pengadaan yang dapat di-download dari website Bappenas maupun website LKPP.

Proses selanjutnya adalah penjelasan oleh Panitia Pengadaan. Acara ini dimaksudkan untuk memberi informasi yang lebih jelas kepada calon peserta lelang. Untuk mengurangi kerepotan, pada acara ini sebaiknya tidak mengubah dokumen lelang, termasuk mengubah persyaratan kualifikasi dan teknis. Namun demikian, apabila terdapat perubahan yang diperlukan, maka perlu dilakukan addendum dokumen lelang. Acara ini tidak wajib dihadiri calon peserta lelang, namun wajib dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan, sehingga calon peserta yang tidak hadir tidak boleh digugurkan keikut sertaannya.
Tahap berikutnya adalah pemasukan penawaran. Untuk ini, Keppres 80 Tahun 2003 memberi 3 (tiga) alternatif metode, yaitu:
1. Metode Satu Sampul;
2. Metode Dua Sampul;
3. Metode Dua Tahap.

Pada Metode Satu Sampul proposal teknis, proposal harga dan persyaratan administrasi disampaikan dalam satu sampul. Pada saat pembukaan penawaran, baik proposal teknis maupun proposal harga akan dibuka bersamaan dan ditunjukkan kepada semua peserta lelang yang hadir. Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan dapat digunakan untuk sebagian besar proses pelelangan.

Tahap selanjutnya adalah pembukaan dan evaluasi penawaran. Keppres 80 Tahun 2003 memberi 3 pilihan sistem evaluasi yaitu:
1. Sistem Gugur;
2. Sistem Nilai;
3. Sistem Penilaian Biaya selama Umum Ekonomis.

Sistem Gugur adalah evaluasi yang akan menghasilkan kesimpulan bahwa harga terbaik (yang menang) adalah harga yang paling rendah (paling murah) di antara barang/jasa yang secara teknis memenuhi syarat (responsif).

Sistem Nilai adalah evaluasi yang akan menghasilkan kesimpulan bahwa harga terbaik (yang menang) adalah harga yang sepadan dengan karakteristik teknis dari barang/jasa yang ditawarkan.

Di antara 3 (tiga) pilihan tersebut, Sistem Gugur adalah sistem evaluasi yang paling sederhana dan mudah.

Kesederhanaan proses lelang secara pascakualifikasi akan tercipta hanya manakala dipilih metode Satu Sampul pada penyampaian dokumen dan Sistem Gugur pada sistem evaluasinya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Harga Bersaing dan Kualitas Pekerjaan

Salah satu tujuan pengadaan adalah mendapatkan harga terbaik. Harga terbaik dalam banyak kondisi adalah harga yang serendah-rendahnya.
Sementara ini, berkembang beberapa pemahaman yang keliru bahwa harga yang rendah dianggap cenderung mengabaikan mutu pekerjaan. Atau harga yang rendah dinilai meningkatkan resiko kegagalan kontrak maupun kegagalan pekerjaan. Harga yang rendah atau istilah yang sering digunakan adalah banting-bantingan juga dipahami pula sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat.
Dalam pengadaan, tujuan mendapat harga terbaik, mengurangi resiko kegagalan kontrak, atau menciptakan persaingan yang sehat bukanlah hal-hal yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Potensi kegagalan kontrak atau potensi berkurangnya kualitas pekerjaan tidak berkaitan dengan harga yang rendah kecuali penawaran tersebut dari penyedia yang tidak kredibel dan tidak memiliki kemampuan.
Harga yang rendah juga bukan indikator terjadinya persaingan yang tidak sehat, kecuali apabila penawaran harga yang rendah oleh satu unit usaha secara terus menerus telah mematikan pesaing-pesaingnya.

Sebagaimana dimaklumi, proses pengadaan pada akhirnya akan menghasilkan kontrak dengan penyedia barang yang esensinya adalah kesepakatan para pihak akan kewajiban penyedia barang untuk memberikan barang atau menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan kepada pengguna barang (PPK).
Adanya kontrak (perjanjian) pada kenyataannya seringkali tidak cukup menjamin bahwa penyedia barang akan menyediakan barang sesuai dengan kontrak. Kontrak dengan penyedia yang benar (dapat dipercaya, memiliki kemampuan dan pengalaman panjang melaksanakan pekerjaan dengan kompleksitas yang sama) akan lebih menjamin terlaksananya pekerjaan.
Oleh karena itu, dalam proses pengadaan, pada prinsipnya penyedia yang menawar diharapkan adalah penyedia yang diyakini mampu dan dapat dipercaya. Dengan pemahaman ini maka kita perlu menilai kualifikasi penyedia sehingga suatu penawaran diyakini dilakukan oleh penyedia yang memiliki kemampuan dan kredibel.
Secara umum, Keppres 80 Tahun 2003 mengatur bahwa penyedia yang akan melaksanakan pekerjaan (berkontrak dengan pengguna) harus:
a. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa;
b. tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
c. secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak;
Ketentuan persyaratan tersebut untuk memastikan bahwa kontrak pengguna dengan penyedia dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan dapat dituntut secara perdata apabila pihak penyedia tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk memastikan kredibilitas dan kemampuan penyedia maka perlu dirumuskan ukuran persyaratan berkaitan dengan:
a. dimilikinya suatu keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa;
b. dimilikinya sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
Secara sederhana untuk memastikan hal tersebut, kita perlu melihat pengalaman sejenis (sifatnya sama) dengan kompleksitas yang sama. Untuk menyederhanakan rumusan, Keppres 80 Tahun 2003 memperkenalkan istilah dan ukuran KD atau kemampuan dasar.
Namun demikian, ukuran KD yang diperkenalkan dalam Keppres 80 Tahun 2003 harus disikapi dengan cermat untuk tidak menghalangi persaingan usaha dan lebih jauh mengurangi kesempatan memperoleh harga yang lebih baik dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi.
Di samping itu, sampai hari ini, kita masih sering menghadapi penyedia yang tidak professional. Untuk mendorong profesionalitas penyedia, maka apabila suatu perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 4 tahun tidak memperoleh pekerjaan baik di pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, maka perusahaan yang bersangkutan tidak boleh dikontrak menjadi penyedia. Demikian pula mekanisme black list, alamat tetap, serta pemenuhan kewajiban perpajakan tahun terakhir.
Ringkasnya, tahap penilaian kualifikasi penyedia yang dengan benar dilakukan akan menghilangkan resiko kegagalan kontrak (termasuk kualitasnya) walaupun penawaran harga sangat rendah.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Etika Pengadaan

Etika Pengadaan

Pada tanggal 26 Juni 2008 telah diselenggarakan Simposium yang ke 3 Ahli Pengadaan Nasional. Pada Simposium ke 2 yang lalu (Desember 2007) disepakati untuk membentuk asosiasi atau perhimpunan profesi ahli pengadaan, sehingga pada Simposium ke 3 ini juga dilaksanakan konggres ahli pengadaan yang pertama.

Dengan mengambil tema meningkatkan profesionalisme para pengelola pengadaan di Indonesia, asosiasi atau perhimpunan profesi ini diharapkan dapat menjadi wadah yang berguna bagi seluruh anggotanya untuk dapat aktif mengembangkan bidang pengadaan barang/jasa di Indonesia. Sementara ini disepakati bahwa keanggotaan asosiasi/perhimpunan ini adalah ahli pengadaan yang telah bersertifikat keahlian dari Kementerian PPN/Bappenas (cq Tim Pengembangan Kebijakan Pengadaan Pemerintah (sekarang LKPP).

Sebagai suatu profesi, bidang pengadaan menuntut adanya suatu standar perilaku yang mencerminkan integritas, independensi, tanggung jawab dan kesungguhan pelaku dalam melaksanakan proses dan tugas pengadaan.

Selama ini, standar perilaku yang diinginkan tertuang dalam pasal 5 Keppres 80 Tahun 2003. Dasar-dasar etika ini pasti disampaikan dalam setiap pelatihan atau sosialisasi selama ini.

Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengadaan, bisa pimpro, PPK, Panitia Pengadaan, termasuk penyedia barang/jasa, diharuskan mematuhi etika sebagai berikut :
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;

b. bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;

c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;

d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak;

e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa (conflict of interest);

f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/ jasa;

g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;

h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.

Rasanya, penerapan etika tersebut memerlukan aktualisasi yang lebih mekanistik, sehingga bagi siapapun yang melanggar etika akan dapat dikenai sanksi profesi dan harus dikeluarkan dari lingkungan profesinya.

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Pengorganisasian Pengadaan dan Kompetensi Personil

Pengadaan barang/jasa di organisasi manapun selalu mendapat perhatian khusus. Banyak pertimbangan sehingga dalam banyak contoh fungsi pengadaan dilaksanakan secara terpisah dengan fungsi operasi.

Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Perpres No. 8 Tahun 2006, dalam pengelolaan pengadaan diperkenalkan istilah Panitia Pengadaan, Unit Layanan Pengadaan dan Pejabat Pengadaan. Ketiga model organisasi ini ditujuan untuk berbagai alasan.

Panitia Pengadaan adalah bentuk organisasi pengadaan yang utama dalam Keppres 80 karena untuk semua pengadaan wajib dibentuk panitia pengadaan. Namun, implikasi dari pilihan model ini, jumlah personel pengelola pengadaan yang dibutuhkan secara nasional akan sangat besar karena adanya kecenderungan setiap kegiatan (termasuk kegiatan operasional) akan membentuk panitia pengadaan.

Berdasarkan Perpres 8 mulai diperkenalkan unit layanan pengadaan yang dapat dibentuk oleh Pengguna Anggaran, Gubernur, Bupati, Walikota dll untuk melaksanakan semua pengadaan di instansinya. Pilihan model ini akan mengurangi kebutuhan personel pengadaan, karena hanya dibutuhkan 5-7 orang yang bertanggungjawab pada pelaksanaan pengadaan dengan dukungan lebih besar. Pilihan model ini juga sangat menguntungkan dari sisi terakumulasinya pengetahuan dan pengalaman, sehingga kesalahan proses maupun teknis dapat diperbaiki pada pengadaan selanjutnya.

Oleh karena itu, semua pihak perlu mendorong pembentukan Unit Layanan Pengadaan, terutama menghadapi kendala terbatasnya personel yang diyakini memahami pengadaan.

Sebagaimana diketahui, pengelola memiliki tugas:
a. menyusun jadual dan menetapkan cara pelaksanaan serta lokasi pengadaan;
b. menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS);
c. menyiapkan dokumen pengadaan;
d. mengumumkan pengadaan barang/jasa melalui media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan jika memungkinkan melalui media elektronik;
e. menilai kualifikasi penyedia melalui pascakualifikasi atau prakualifikasi;
f. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk;
g. mengusulkan calon pemenang;
h. membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada pengguna barang/jasa.

Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003, seseorang dapat diangkat sebagai pengelola pengadaan apabila ybs:
1. memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
2. memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;
3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan yang bersangkutan;
4. memahami isi dokumen pengadaan/ metoda dan prosedur pengadaan;

Dengan tugas-tugas dan tuntutan seperti di atas, diperkenalkan sistem sertifikasi untuk pengelola pengadaan yang ditujukan untuk mengukur kompetensi dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan mengacu kepada kerangka SKKNI (BNSP), unit-unit kompetensi yang dapat dikembangkan akan meliputi 19 (sembilan belas) unit kompetensi, yaitu:
1. Melakukan pengadaan sederhana;
2. Menata asset;
3. Mengadakan barang dan jasa;
4. Menentukan kebutuhan barang dan jasa;
5. Menyusun permintaan penawaran;
6. Menerima dan memilih penawaran;
7. Menatausahakan kontrak;
8. Mengelola resiko kontrak
9. Menentukan pengaturan pengelolaan kontrak;
10. Mengelola pencapaian kinerja kontrak;
11. Menyelesaikan kontrak;
12. Memimpin pengelola kontrak;
13. Melepaskan aset strategis;
14. Merencanakan pengadaan barang/aset yang strategis;
15. Mengatur pengadaan barang/aset yang strategis;
16. Menegosiasi pengadaan barang/aset yang strategis;
17. Menentukan arah kebijakan pengadaan barang/aset yang strategis;
18. Menentukan konteks pengadaan;
19. Mengevaluasi dan memperbaiki kinerja pengadaan.

Apabila dicermati tugas-tugas pengelola pengadaan di atas serta arah kebijakan pengembangan SDM pengadaan, maka sertifikasi yang saat ini dilaksanakan di bawah koordinasi Bappenas barulah tahap awal untuk masuk ke dalam SKKNI yang diatur oleh BNSP.

Hasil dari pelaksanaan sertifikasi yang saat ini telah memberi gambaran tantangan peningkatan kompetensi di bidang pengadaan.

Salam:
Ikak G. Patriastomo