28/10/12
FutureGov Award
23/07/12
Pengadaan yang sederhana
Ada statement yang mengganggu. Apakah prosedur yang diatur saat ini tidak memungkinkan proses yang fleksibel? Atau bahkan tidak efisien? sehingga PP BLU perlu mengatur bahwa pengadaan operasional di BLU dimungkinkan diatur berbeda. Atau hanya persepsi.
Bagi saya, persepsi ini menjadi tantangan bagi LKPP. Apakah hanya persepsi atau memang proses pengadaan barang/jasa pemeintah masih dirasakan tidak sederhana. Atau bahkan di banyak kasus, proses pengadaan tidak menjamin kebutuhan objektif pengguna barang. Harus pula diakui, Panitia atau ULP banyak yang mengalami kesulitan menerapkan Perpres 54 Tahun 2010. Dengan bahasa sederhana, pengadaan yang seharusnya mudah masih tidak mudah. Tentunya berbeda halnya untuk pengadaan barang/jasa yang memang tidak sederhana. Data statistik kita mengatakan 40% belanja sebenarnya masuk kategori belanja sederhana.
Dalam konteks ini, kinerja LKPP tergantung pada kemampuan membuat aturan proses pengadaan yang sederhana tetapi menjawab prinsip-prinsip pengadaan.
Persoalan yang terasa saat ini, orientasi LKPP tampaknya terbelenggu oleh orientasi "mengatur" sehingga pelaku pengadaan cenderung memandang sebagai hambatan. Oleh karena itu, pertama kali LKPP harus mengubah orientasi ini, dari bentuk aturan menjadi orientasi yang memberi contoh, model dan solusi, termasuk mengubah bisnis proses pengadaan yang memanfaatkan teknologi informasi (e-procurement). Bahkan bisa jadi, LKPP menjadi lembaga yang memfasilitasi pengadaan instansi lain. Kontrak tetap di masing-masing PA, tetapi proses pengadaan dan penetapan pemenang oleh LKPP.
Untuk saat ini, salah satu contoh peran LKPP yang perlu dimaksimalkan adalah peran menyediakan e-catalog. Dalam Perpres 54/2010, LKPP mendapat kewenangan membangun framework contract dan menuangkannya menjadi e-catalog. Kerumitan proses pengadaan saat ini akan banyak yang dapat disederhanakan dengan tersedianya e-catalog. Melalui skema framework contract, LKPP bisa menyelesaikan persoalan pengadaan di banyak tempat dan dapat menciptakan efisiensi proses maupun harga perolehan barang.
Mimpi kita, proses pengadaan segera menjadi lebih sederhana dan mudah tanpa mengurangi bobot akuntabilitas dan profesionalitasnya.
Salam IAPI.
Ikak G. Patriastomo
18/07/12
E-procurement, agar pengadaan yang tidak prosedural
Keberadaan LKPP dengan Perpres 54/2010 nya harus diakui belum memecahkan kebuntuan ini. Keinginan untuk menegakkan governance dalam pengadaan telah berkontribusi menciptakan momok yang luar biasa. Kreativitas dalam pengadaan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Penerapan e-procurement untuk memfasilitasi proses pengadaan, yang melelahkan dengan aspek prosedural dan administrasinya, dapat menciptakan terobosan untuk memecah kebuntuan kebijakan pengadaan saat ini.
Pada saat pengadaan tidak jarang menghasilkan harga barang yang tidak dijamin murah (paling baik), penerapan e-procurement diharapkan dapat memberi solusi dengan proses yang sama sekali baru, sebagai inovasi, untuk menjamin diperolehnya harga yang paling baik. Pada saat proses pengadaan tidak menjamin memberi kesempatan yang sama bagi semua pelaku usaha, proses pengadaan melalui e-procurement diharapkan dapat menciptakan akses yang sama dan fair bagi semua pelaku usaha.
Namun demikian, e-procurement tidak boleh hanya dipandang sebagai alat dalam proses pengadaan. Pada waktu yang sama dibutuhkan perubahan pola pikir, regulasi, pelatihan yang berbeda dengan sebelumnya, serta tahapan (bisnis proses) pengadaan. Tahapan pengadaan dalam Perpres 54/2010 yang notabene adalah prosedur berbasis manual harus dibongkar untuk dibangun suatu bisnis proses yang baru berbasis teknologi informasi. Tidak lagi perlu dikenalkan solusi berdasarkan prosedur lelang umum, misalnya. Reverse auction bisa jadi adalah proses yang perlu segera diadopsi sebagai bisnis proses pengadaan ke depan.
Salam,
Ikak
26/05/12
Pengadaan Perlu Perubahan Sistem dan Prosedur yang Radikal
Mencermati perjalanan reformasi di bidang pengadaan yang sudah berjalan 12 tahun (kalau dihitung sejak tahun 2000 dengan Keppres 18/2000 nya, atau 9 tahun kalau dihitung sejak Keppres 80/2003) maka posisi pengadaan pemerintah belum beranjak jauh. Saya mengatakan masih jalan ditempat. Walaupun bila dikaji dengan “Baseline Indicator”nya OECD semua sistem dan subsistem pengadaan pemerintah hampir lengkap, secara faktual, sistem yang terbangun belum menjawab persoalan mendasar yang ingin diselesaikan dengan reformasi di bidang pengadaan.
Mari kita lihat satu persatu indikator utama pengadaan. Apakah sudah mencapai tujuan pengadaan (5 tepat: mutu, waktu, jumlah, dan harga) ? Apakah dalam kondisi posisi supply di kuadran “leverage” telah terjadi persaingan yang fair? Apakah pengelola pengadaan cukup kredibel? dsb., dsb....
Tanpa perlu studi atau survey yang canggih banyak orang dengan mudah akan mengatakan banyak tujuan pengadaan yang tidak tercapai. Bagaimana mungkin pekerjaan yang baru saja diselesaikan sudah rusak lagi. Bagaimana barang yang diterima tidak bisa digunakan. Bagaimana banyak persaingan yang ternyata masih semu, dan akses kepada proses lelang masih terbatas. Termasuk banyak pengelola pengadaan yang masih diragukan kredibilitas dan profesionalitasnya. Lho...jadi? Sedih memang...Lalu harus bagaimana?
Sepertinya memang masih banyak celah maupun kelemahan sistem dan prosedur yang saat ini terbangun. Sistem dan prosedur yang terbangun masih memiliki asumsi pengelola pengadaan profesional. Dengan asumsi ini, pengelola pengadaan dapat mengambil keputusan secara profesional berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Tetapi sebaliknya, sistem dan prosedur yang ada juga berasumsi kredibilitas pengelola pengadaan sangat rendah. Masyarakat tidak memiliki “trust” pada pengelola pengadaan. Buktinya, banyak pelaku usaha yang melakukan “suap” untuk memenangkan lelang. Lebih sedih lagi, memang banyak contoh bagaimana belanja pengadaan di “mark-up” dan selisihnya dikorupsi.
Walaupun tahun 2012 ini dicanangkan sebagai tahun awal kewajiban e-procurement, tanpa perubahan proses dan prosedur (dalam bahasa umum: bisnis proses) yang radikal, sistem e-procurement tidak bisa diharapkan menyelesaikan semua masalah pengadaan di tanah air. Sistem e-procurement memungkinkan dibangun dengan “mind-set” yang berbeda dengan bisnis proses yang ada saat ini.
Pada hakekatnya, perlu hanya 1 (satu) variabel yang dipersaingkan, yaitu harga atau “total cost of ownership”. Aspek-aspek lain berkaitan dengan kualifikasi (pengalaman dan kemampuan serta kredibilitas) dan teknis (time, quality dan quantity) perlu dibuat ‘fix’. Dengan demikian, semua penawaran adalah “responsible bid” atau penawaran yang responsif, apalagi aspek administrasinya.
Untuk dapat hanya harga yang dipersaingkan, maka perlu dibangun sistem informasi berkaitan dengan kualifikasi penyedia (dengan tidak mengulang kesalahan konsep TDR/DRM) dan sistem informasi berkaitan dengan aspek teknis barang/jasa. Mari kita Wujudkan.
Salam IAPI (26 Mei 2012).
Ikak G. Patriastomo, Ketua Umum IAPI
20/05/12
E-Procurement di Indonesia
Tahun 2012 ini adalah tahun e-procurement bagi Indonesia. Mulai tahun ini, seluruh instansi pemerintah wajib melaksanakan e-procurement atau pengadaan secara elektronik (Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010).
Sering ada pertanyaan, berapa banyak paket pengadaan yang wajib diproses secara elektronik? Saya selalu menjawab 100%. Mengapa? Karena tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak melaksanakan lelangnya secara elektronik bagi paket yang perlu dilelang.

03/05/12
Korupsi dalam Pengadaan
25/04/12
Penerapan e-procurement perlu segera
Pada prakteknya, dengan alasan biaya pengumuman di surat kabar tidak murah dan seringkali anggaran pengumuman pengadaan terbatas, pengadaan (baik rencana maupun lelangnya) tidak diumumkan dengan memadai. Pada era sebelum Keppres 80 Tahun 2003, pengumuman hanya ditempelkan di papan pengumuman resmi instansi yang memiliki kontrak pengadaan. Di samping tempat pengumuman yang tidak menjangkau semua pihak, isi pengumuman seringkali sangat tidak memadai untuk memberi keterangan yang lengkap tentang pekerjaan yang akan dilelangkan. Seringkali, pengumuman hanya ditempel dalam waktu yang sangat terbatas atau dirobek untuk membatasi keikutsertaan banyak penyedia.
Di satu sisi praktek tersebut menggambarkan pemahaman yang terbatas bagi semua pihak yang terlibat akan prinsip transparansi tersebut, di sisi yang lain juga menggambarkan pemahaman yang terbatas pada keterkaitan antara pengumuman tender dengan hasil pengadaan (khusunya harga). Tidak dipahami bahwa semakin banyak peserta lelang akan semakin besar peluang pengelola pengadaan memperoleh harga barang yang baik (murah).
Yang dipahami, semakin banyak peserta lelang semakin repot mengelola prosesnya karena menjadi tidak mudah untuk berlaku adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyembunyikan pengumuman tender supaya yang ikut lelang dapat diatur. Karena ada pengaturan, maka peluang untuk mengatur imbalanpun menjadi terbuka (korupsi).
Penunjukan Satu Surat Kabar
Surat kabar yang beroplag besar dan tersebar menjangkau seluruh wilayah merupakan alternatif tempat pengumuman lelang yang paling potensial membangun dan menegakan prinsip transparansi. Oleh karena itu, pengelola pengadaan perlu diatur untuk meletakan pengumuman lelang di surat kabar tersebut. Kewajiban ini memiliki implikasi pengelola pengadaan yang satu akan berbeda dengan pengelola pengadaan lainnya apabila tidak diatur nama surat kabar yang dimaksud.
Dari sisi pelaku usaha, surat kabar yang berbeda-beda juga menimbulkan kesulitan untuk mengikuti secara konsisten peluang usaha di bidang pengadaan. Pelaku usaha mungkin perlu berlangganan beberapa surat kabar sekaligus hanya untuk dapat mengikuti pengumuman lelang (peluang usaha) tersebut.
Kebijakan mengumumkan di surat kabar juga masih memiliki potensi dicurangi oleh berbagai pihak. Ada beberapa kasus panitia pengadaan memesan kolom tertentu untuk satu exemplar saja sebatas memenuhi aspek administrasi pengumuman, sedangkan penerbitan tersebut tidak nyata-nyata disebarkan ke publik.
Pelaku usaha juga masih memiliki peluang untuk curang denga memborong penerbitan yang beredar di suatu wilayah agar pesaing-pesaingnya tidak mendapat pengumuman dan informasi yang memadai. Pelelangan pada akhirnya hanya diketahui oleh kelompok terbatas, biasanya yang sudah lama bekerjasama dengan panitia pengadaan atau pemilik pekerjaan.
Lelang untuk Memilih Surat Kabar
Ditetapkannya satu surat kabar yang akan menjadi tempat pengumuman lelang akan memungkinkan: (1) kontrol terhadap kepatuhan mengumumkan secara lebih mudah; (2) kontrol terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kerjasama antara penerbit dengan panitia pengadaan lebih mudah; (3) memberi kepastian bagi pelaku usaha yang akan melihat secara konsisten peluang usaha pada pasar pengadaan.
Untuk itu, mengingat terdapat beberapa surat kabar yang memenuhi kriteria, maka penunjukan satu surat kabar perlu diproses yang menjamin perlakukan yang adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, pemilihan surat kabar dilelangkan setiap tahun.
Surat kabar yang ditetapkan kemudian perlu membangun unit kerja yang khusus menangani penempatan pengumuman lelang dari seluruh instansi pemerintah di seluruh Indonesia.
Harga iklan yang lebih murah
Walaupun pelelangan yang dilakukan dalam kriteria evaluasinya tidak semata-mata mendasarkan pada harga yang paling murah, akan tetapi lelang surat kabar ini menghasilkan biaya iklan bagi pengumuman lelang per baris per kolomnya lebih rendah dari harga iklan yang normal.Rata-rata penawaran menawarkan 30% dari biaya yang dipublikasikan. Hal ini wajar mengingat jumlah iklan per hari akan lebih dari 100 tayangan dengan masing-masing Rp. 5 juta rupiah saja, maka per hari surat kabar akan memiliki pemasukan Rp. 500 juta rupiah atau Rp. 15 Milyar per bulan atau Rp. 180 milyar per tahun.
e-Procurement dan Portal Pengadaan Nasional
Salah satu kelemahan yang menonjol dari kebijakan pengumuman lelang di surat kabar adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan pengumuman. Bila panitia pengadaan cukup kreatif, biaya ini bisa ditekan dengan pengumuman beberapa paket sekaligus.
Kelemahan lain yang juga perlu dievaluasi adalah jangkauan. Tidak semua tempat terjangkau oleh surat kabar yang memenangkan lelang. Dari 498 Kabupaten/Kota, hanya 65% yang terjangkau oleh surat kabar yang ditunjuk, dengan jeda waktu 1-2 hari untuk sampai di wilayah Kabupaten tertentu. Bagi pelaku usaha di wilayah seperti itu, apalagi bila paket pekerjaan berlokasi di wilayah tersebut, maka pengumuman di surat kabar menjadi tidak bermakna.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, pengumuman di website menjadi solusi yang paling menguntungkan. Saat ini lebih dari 75% instansi pemerintah sudah memiliki website. Dengan demikian, kewajiban mengumumkan lelang di surat kabar sebagai upaya untuk transparan dan memberi kesempatan luas bagi pelaku usaha terlibat dalam pengadaan dapat digantikan dengan kewajiban mengumumkan melalui website.
Lebih jauh, Portal Pengadaan Nasional menjadi alat yang harus dikembangkan untuk menyatukan pengumuman lelang maupun semua informasi termasuk akses utama kepada sistem pengadaan nasional. Sebelum e-Procurement secara menyeluruh dapat diterapkan, kewajiban mengumumkan lelang di website yang dapat diakses melalui portal pengadaan nasional yang tunggal merupakan langkah awal dan strategi yang penting membangun pengadaan nasional yang baik.
Skala Implementasi e-Procurement di Indonesia
Draft tersebut mengandung pemikiran yang tipikal ada pada benak banyak orang termasuk teman yang satu ini. Seolah-olah, dengan menyediakan software dan peralatannya, maka selesailah persoalan implementasi, dan sistem e-procurement yang dibangun dapat digunakan.
Ada angka-angka yang perlu dipahami terlebih dahulu. Indonesia terdiri dari lebih dari 7.000 ribu pulau atau setidak-tidaknya ada 500 Kabupaten dan Kota yang tersebar dan terpisah-pisahkan oleh laut dan gunung. Artinya ada panitia pengadaan yang mengelola pengadaan tidak kurang dari 500 x 50 orang atau 25.000 orang anggota panitia pengadaan di Kabupaten dan Kota, yang setiap tahun berganti karena mutasi atau promosi. Saat ini sudah 48.000 orang panitia pengadaan yang dilatih e-procurement.
Di sisi penyedia, ada 4.200.000 pelaku usaha potensial yang harus diajak mengikuti lelang pemerintah. Saat ini baru 200.000 perusahaan yang terdaftar dan dilatih memahami e-procurement. Siapa yang harus melatih dan memberi helpdesk bagi panitia maupun penyedia?
Tahun lalu saja (2011) telah dilelangkan 24.475 paket (Rp. 58 trilyun). Padahal nilai pengadaan tahun 2012 ini bisa mencapai Rp. 560 trilyun. Mungkin bisa mencapai 240.000 paket lelang. Misalkan per paket diikuti oleh 10 peserta maka akan ada 2.4 juta penawaran per tahun. Bila ukuran file penawaran 1 MB, maka bisa dihitung storage yang diperlukan dan volume lalu lintas data yang terjadi hanya dari proses lelang pemerintah.
'Skala' sering kali tidak terperhitungkan atau tidak mudah terbayangkan. Satu lembaga sendirian tidak akan sanggup menggerakan perubahan dan menerapkan sistem e-procurement. Perlu sebanyak-banyaknya pihak yang terlibat dengan proses adopsi teknologi ini. Di sini, membentuk unit LPSE dan memberi ruang semua pihak yang peduli dengan pengadaan untuk mengambil peran menjadi strategi kunci untuk menyelesaikan persoalan 'skala' dalam penerapan e-procurement di tanah air. (24Apr2012)
23/03/12
Militansi Pengelola LPSE
Pertanyaan berikutnya, bagaimana militansi itu tumbuh? Mungkin karena pendekatan yang dibawa dalam perintisan e-procurement di tanah air bersifat partisipatif (ini yang perlu diteliti). Penerapan e-procurement memberi ruang yang sangat besar bagi siapapun untuk mengambil peran.
Yang menarik bagi saya, para penggerak e-procurement di setiap instansi daerah maupun pusat bukanlah para pejabat tinggi. Rata-rata setingkat eselon III dan IV dan sebagian besar adalah staf yang belum memiliki eselon. Memang pembinanya biasanya Asisten Daerah.
Yang pada akhirnya menjadi sangat menarik, dengan peran mereka pada kegiatan menggerakan e-procurement, banyak contoh teman-teman itu mendapat promosi jabatan. Banyak yang dari eselon IV ke eselon III atau yang staf menjadi eselon IV. Ada juga beberapa yang berhasil mendapat promosi menjadi kepala dinas. Untuk yang terakhir ini saya belum menginventarisir. Tapi cukup banyak.
Namun demikian, yang saya kira penting adalah mereka semua tahu dan paham dengan peransertanya. Mereka paham betul mengapa mereka harus ambil bagian dalam gerakan merintis e-procurement di tanah air. Mereka paham karena mereka juga banyak yang pernah menjadi panitia pengadaan, yang pasti sangat tidak menyenangkan.
Tampaknya, keyakinan akan makna eksistensi mereka dalam membangun pengadaan Indonesia yang lebih baik mampu menguatkan semangat dan hati mereka sehingga tidak pernah merasa lelah memperjuangkan perubahan di bidang pengadaan.
Salah seorang Kepala LPSE ada yang pernah curhat kepada saya, betapa bangganya dirinya saat ini karena merasakan betapa semua orang (panitia pengadaan) datang kepada dirinya untuk diajari aplikasi SPSE. Sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya selama ini. Artinya, ternyata dirinya bisa sangat bermanfaat bagi banyak orang. Memang bisa sangat kontras dibandingkan dengan seseorang sebagai PNS (pejabat) yang tidak pernah kedatangan tamu yang meminta bantuan. (Jakarta, 23/03/2012).
05/01/12
Tidak ada PPK maka KPA tidak perlu bersertifikat
Apakah KPA yang tetap memegang kewenangan PPK harus bersertifikat ahli pengadaan? Jawabnya tidak perlu.
Kalau kita baca Pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kepala satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang berwenang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja.
Pasal 5 dan penjelasannya mengatur bahwa Gubernur/bupati/ walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah menetapkan KPA, berdasarkan usulan PA yang bersangkutan. Lebih lanjut, PA di Pemerintah Daerah bertanggung jawab secara formal dan material kepada gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya (Pasal 54 ayat (1)). Selanjutnya, KPA juga bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya (Pasal 54 ayat (2)).
Berikutnya, Pasal 17 ayat (2) Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran, PA/KPA berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan (dijelaskan pula dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 10 huruf g. bahwa pejabat pengguna anggaran/ pengguna barang daerah mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan).
Dalam pengadaan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c mengatur bahwa PA memiliki tugas dan kewenangan menetapkan Pejabat Pembuat komitmen (PPK).
Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa PPK merupakan pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa, dan untuk ditetapkan sebagai PPK, seseorang harus memenuhi persyaratan diantaranya adalah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa (Pasal 12 ayat (2) g.).
Dengan demikian, PA/KPA wajib menetapkan PPK dan apabila tidak ada personil yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai PPK, maka PA/KPA harus melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen yang berdasarkan Perpres 54/2010 sudah menjadi tugas PPK;
Dalam hal seperti ini, PA/KPA yang melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen atau “merangkap” sebagai PPK tidak wajib bersertifikat. Kata "merangkap" di sini dalam arti tetap memegang kewenangan yang berdasarkan Perpres 54 dapat ditugaskan kepada PPK.
Dalam hal terdapat keterbatasan aparatur di daerah yang memiliki sertifikat Pengadaan Barang/Jasa maka PA dapat mengusulkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota seorang KPA dan tetap menjalankan fungsi yang dapat ditugaskan kepada PPK.
Dalam hal APBN, KPA bertanggung jawab kepada PA (UU Nomor 1 Tahun 2004 pasal 4 ayat (2) huruf b dan 54 ayat (2)), maka KPA tidak wajib bersertifikat walaupun KPA tsb melakukan sendiri fungsi membuat komitmen.
Namun demikian PA/KPA yang tetapmelaksanakan sendiri fungsi PPK “dapat dianggap” tidak melaksanakan tugasnya untuk menetapkan PPK atau secara administratif melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c. Untuk itu perlu diberi alasan yang kuat sehingga pelanggaran ini dapat diterima.