28/06/15

Open Source Software: Keniscayaan untuk "Bangsa Kita Bisa" ?


Catatan yang tersisa dari  ICROSS 2013, Jakarta

Dalam acara talkshow ICrOSS yang diselenggarakan oleh AOSI, agak tergagap juga sewaktu ditanya:"mengapa memilih Open Source Software?". Pengembangan aplikasi untuk sistem pengadaan secara elektronik pemerintah (SPSE) dikembangkan dengan menggunakan software opensoure. Diskusi dalam mempertimbangkan penggunaan OSS pada waktu awal pengembangan e-procurement di tanah air semula memang agak emosional. Bahasa lugasnya, "membuat aplikasi e-procurement saja masak bangsa kita tidak bisa".

Oleh karena itu, cara (metodologi) mengembangkan aplikasi pada waktu itu memang agak "nekad". Kami minta bantuan ke Pak M. Nuh (pada waktu itu masih Rektor ITS) untuk membantu membuatkan aplikasi. Kemudian, ITS mengirimkan beberapa dosen senior (Pak Alkaf dkk) dan beberapa orang lulusan ITS yang baru saja lulus (Andik, Said, Agung, Arief).

Dalam kondisi tidak ada dana yang besar dan dengan semangat di atas, maka "mau tidak mau" pilihannya adalah menggunakan sebanyak-banyaknya software open source yang gratisan. Bisa dibayangkan pandangan berbagai pihak sewaktu mengetahui aplikasi e-procurement tidak meggunakan software yang sudah terkenal dan dibangun oleh perusahaan kelas dunia. Sebaliknya, dengan skala potensi penggunaan yang sedemikian besar, akan ada 4,2 juta unit usaha dan 200.000 panitia pengadaan yang tersebar di 600 unit kerja pemerintahan, maka penggunaan software yang berbayar akan memberi beban anggaran yang pasti luar biasa juga. Bayangkan harus membayar OS atau database yang tersebar di lebih 500 titik server.

Saat ini, SPSE telah digunakan oleh lebih dari 500.000 user aktif yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Semua orang bisa menggunakannya, tanpa harus membayar biaya lisensi. Bayangkan pula harus membayar setiap kali enkrispi, setidaknya saat ada lebih dari 125.000 paket lelang atau setara dengan 1.250.000 dokumen penawaran terenkripsi per tahunnya. Misal per enkripsi membayar 1000 rupiah, maka perlu dana sebesar Rp. 1,25 milyar untuk enkripsi saja. Artinya, kalau kita ingin membangun sesuatu, kita bisa kita mampu.

Tampaknya, adanya "free and opensource software" memberi kita kesempatan untuk membangun sesuatu dengan dana yang tidak perlu besar. Sebaliknya, bila kita harus membangun dengan menggunakan software yang berbayar, maka kita akan terkendala ketersediaan dana. Lebih dari pada itu, dengan semangat "bangsa kita bisa", pengembangan aplikasi untuk bangsa kita harus dengan pendekatan "Open-Source".


Catatan  ICROSS 2014. Surabaya April 2014

Pak Ikak G. Patriastomo selaku Deputi Bidang Monitoring Evaluasi & Pengembangan Sistem Informasi, menyampaikan bahwa saat ini baru 30% dari seluruh proses lelang yang menggunakan eproc. Kalau belum menggunakan, maka kemungkinan besar memang bermasalah atau bertendensi pada kecurangan. LKPP membangun teknologi procurement dengan sebagian besar tenaga programmer dari Surabaya (ITS).

Strategi dalam pengembangan e Proc, dengan pendekatan: selalu mulai dari yang kecil saja. Jangan dibandingkan e Proc dengan ERP yang akan menambah kerumitan pemikiran. Di tahap awal, tim eProc LKPP hanya mengganti proses lelang yang tadinya pakai kertas menjadi elektronik, kemudian berkembang terus. Saat ini ada marketplace dengan LKPP sebagai pemilik tokonya, dengan isinya adalah perusahaan-perusahaan penyedia jasa atau produk.

LKPP sempat mendukung Bu Risma di tahun 2003 dan 2004 dalam pengembangan dan implementasi eProc di Kota Surabaya, dimana prosesnya saat itu penuh perjuangan untuk melakukan implementasi dan penggunaannya. Jadi keberhasilan implementasi eProc, memang membutuhkan waktu. Semangat ke depannya adalah 100% eProc di seluruh pemerintahan Indonesia. Saat ini kita masih punya masalah dengan infrastruktur, tapi tidak menahan untuk implementasi, jadi selalu berprinsip untuk melakukan implementasi dengan kondisi terbatas. Karena bila dilakukan penundaan, akan semakin memperbesar kerugian negara : kira kira Rp. 400 triliun pertahun, kalau ditunda tiga tahun, kerugian akan menjadi Rp. 1200 triliun.

Kabupaten Asmat di papua, saat ini sudah melakukan implementasi eProc. Strateginya adalah dengan mencari cara untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur. Untuk adaptasi di setiap daerah, tidak hanya aspek teknis, tapi juga mencakup adaptasi mengenai business proses terkaitnnya. Pemilihan teknologi open source memungkinkan perhitungan TCO (Total Cost Ownership) menjadi sangat efisien, yang memang murah, dengan tidak mengurangi aspek kualitas sistem. Namun selain itu, dengan open source, sangat memungkinkan terjadinya pembangunan dan pengembangan sistem yang dilakukan secara bergotongroyong.

Saat ini, paling tidak dari pengelola LPSE di Indonesian, dengan masing-masing kabupaten 5-10 orang, maka paling tidak ada 2.500 komunitas pengguna SPSE yang terus memberikan kontribusi pengembangannya. LKPP bekerja sama juga dengan AOSI dalam melakukan pengembangan SPSE dengan mekanisme pendekatan pengembangan yang berbasis open source dan pendekatan yang berkolaborasi. Mari kita galang kolaborasi kita, yang akan mewujudkan mimpi menjadi bangsa yang benar benar berdaulat di negara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar