07/01/18

Alternative Delivery System

Pemerintahan Jokowi ditandai dengan banyaknya proyek-proyek penugasan kepada BUMN untuk membangun infrastruktur sekaligus mencari pembiayaannya. BUMN konstruksi didorong untuk menjadi investor sekaligus operator proyek-proyek. BUMN konstruksi tidak hanya diharapkan sebagai pelaksana konstruksi.

Selama ini, banyak BUMN konstruksi misalnya, hanya menunggu kontrak Pemerintah. Walaupun peluang bagi mereka dari proyek Pemerintah masih sangat besar, namun tampaknya peran sebagai pelaksana konstruksi tidak maksimal dibandingkan dengan besarnya potensi peran dalam pembangunan, khususnya infrastruktur.

Kebutuhan infrastruktur yang besar untuk dapat mempercepat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh kapasitas Pemerintah, baca birokrasi dan anggaran Pemerintah. Model-model pendanaan dan investasi, termasuk kerjasama Pemerintah dan swasta juga merupakan upaya untuk menambah daya ungkit kebijakan Pemerintah dengan sedikit ketergantungan pada anggaran Pemerintah.


11/12/17

LKPP: 17 Tahun National Public Procurement Office

Sepuluh Tahun yang lalu, tepatnya 6 Desember 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Perpres ini dapat dikatakan sebagai tonggak baru dimulainya reformasi pengadaan secara lebih efektif. Reformasi pengadaan mulai mendapatkan legitimasi yang kuat dengan terbentuknya LKPP.

Dengan adanya Lembaga ini diharapkan "pengadaan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien serta lebih mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, diperlukan perencanaan, pengembangan dan penyusunan strategi, penentuan kebijakan serta aturan perundangan pengadaan barang/jasa Pemerintah yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan lingkungan internal maupun eksternal secara berkelanjutan, berkala, terpadu, terarah dan terkoordinasi".

Melihat kembali sejarahnya, Lembaga yang dalam Indonesia Country Procurement Assesment Report, Bank Dunia, 27 Maret  2001 disebut National Public Procurement Office (NPPO) merupakan lembaga yang diperlukan untuk melakukan reformasi sistem pengadaan publik di Indonesia. Gagasan membentuk lembaga seperti NPPO pertama kali disampaikan Pemerintah Indonesia pada Pertemuan CGI di Tokyo Oktober 2000. Pada saat itu pengadaan sudah diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 yang ditandatangani oleh Presiden Abdulrahman Wahid tanggal 21 Februari 2000.

Dalam Report tersebut, gagasan tentang LKPP adalah sebagai berikut:
"28. The need for procurement policy formulation at a national level, coupled with regulatory
and oversight responsibilities cannot be overstated. A central procurement policy entity
established by law with a clearly set mandate and staffed by a competent nucleus of professional
staff is key to putting in place a sustainable and comprehensive public procurement system
including the legal, policy and human resource capacity and to bring improvements in the public
procurement regime in Indonesia. Benefits of such an agency are that it provides the focus for
the formulation of the country’s procurement policy, and for keeping up-to-date the procurement
laws and regulations consistent with internationally accepted public procurement principles. It
provides oversight to ensure compliance with the law at all levels of Government, improves
transparency, and reduces chances of corruption and collusion.

29. The NPPO should not have any purchasing or contracting function, and it should not be a
layer in the procurement processes of the executing agencies.

30. Most countries have established similar units and their experience could be of help to
Indonesia in setting and making the NPPO fully operational. The US has the Office of Federal
Procurement Policy (part of the Executive Office of the President). The UK and Canada have
procurement policy units in the Treasury. Germany has such a unit in the Ministry of
Economics. Several countries such as Poland have placed the National Public Procurement
Office in the Office of the Prime Minister, and the EU countries are realizing the need to
establish such units to provide requisite level of attention and coordination at a national level.

31. Indonesia needs an agency National Public Procurement Office, NPPO – to be
responsible for:
· formulating the public procurement law, policies, the public procurement rules and
procedures, and standard bidding and contract documents for mandatory application by all
levels of government in Indonesia, and keeping them up-to-date with the international
practices,
· enhancing transparency through a Procurement Bulletin (see below),
· maintaining a data base on procurement complaints, a list of known and proven arbitrators,
and data on the resolution of complaints, and disseminating information,
· overseeing compliance with the public procurement rules and procedures to ensure that
public entities and bidders observe the laws and regulations in place, and observe the highest
standards of ethics during the procurement and execution of contracts and are held
accountable,
· ensuring, as part of its role to monitor compliance, that there are arrangements in place for
independent ex-post audits of procurement of a random sample of contracts at all levels of
government, and lessons learned to further improve the public procurement system are
disseminated,
disseminating procurement information to the various stakeholders,
· coordinating efforts to raise awareness, at all levels, of the need for efficient and clean
procurement, and
· preparing an annual report on public procurement for wider dissemination (to Parliament and
local legislatures, the Supreme Audit Agency and public).

32. Government could also consider mandating the NPPO with oversight of compliance by
provincial and district governments with the national procurement policy and procedures. The
NPPO should provide provincial and district governments access to national procurement
database and information. It could also set up offices in the provinces.

33. The NPPO should be led by professional staff of the highest integrity and probity, and with
a commitment to bringing sustainable and comprehensive improvements in the procurement
regime in Indonesia. They should also have the confidence of the various stakeholders
(government agencies, bidders, contractors, suppliers, consulting industry, and civil society).
The NPPO should be independent, and it should be provided with adequate budget and staff.

34. The work of the NPPO, and more generally the public procurement system should be
subject to a neutral oversight by civil society. It is recommended that Government invite civil
society to establish an anti-corruption watchdog group for public procurement, with independent
and qualified members chosen through a credible process, to advise the NPPO. Such a watchdog
group should not be funded either by Government or by donors to ensure there are no conflicts of
interest.

35. The NPPO with its oversight role and independent status should be the agency to fill the
absence of a credible complaint and review procedure to bidders who have a grievance on the
bidding process or contract award in the public procurement regime23. The UNCITRAL model
law provides guidance on setting up the review committee and the review procedure. Setting up
such a system and mandating the NPPO in the procurement law to facilitate and oversee the
process will encourage strict observance of the applicable rules by the tender committees and
project managers, and reduce outside influence. At the same time, it will contribute to public
confidence, in particular of the business community, which will result in better competition and
better prices.

36. In view of the urgency of establishing the NPPO to jump start the reform process, the
NPPO could be established immediately under a Presidential Decree. The Procurement Law
when enacted will however provide the legal basis for the NPPO."

Setelah 10 tahun Perpres 106 dan membaca kembali Report tahun 2000 itu (17 tahun kemudian), kita melihat bahwa banyak sekali gagasan yang sudah direalisasikan, bahkan banyak gagasan yang sudah jauh melampaui gagasan dalam laporan itu. Bahwa banyak yang masih harus dilakukan karena skala, jangkauan dan kecepatan perubahan isu pengadaan, rasanya kita optimis akan banyak yang bisa dilakukan ke depan.

(Keterangan foto: Pejabat LKPP pelantikan pertama 13 Mei 2008, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/ M Tahun 2008, Presiden Republik Indonesia menetapkan mengangkat Dr. Ir. Roestam Syarief, M.N.R.M sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Ir. Agus Rahardjo, M.S.M sebagai Sekretaris Utama, Dr. Ir. Agus Prabowo sebagai Deputi Bidang Pengembangan Strategis dan Kebijakan, Prof. Ir. Himawan Adinegoro M.Sc., D.F.T sebagai Deputi Bidang Monitoring Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi, Ir. Eiko Whismulyadi, M.A sebagai Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia, Dr. S. Ruslan, S.E., M.S sebagai Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. )



12/12/17
Ikak G. Patriastomo

19/10/17

Perpres Menghambat Pengadaan di BLU?

Di Badan Layanan Umum (BLU) atau dimanapun, pengadaan barang esensinya adalah upaya untuk memperoleh barang sesuai kebutuhan (sedapat mungkin yang terbaik, baik spesifikasi, mutu maupun pelayanan) dengan harga yang paling wajar (sesuai dengan harga pasarnya).

Bila kebutuhannya hari ini, maka dengan cara apapun, barang yang bersangkutan harus tersedia hari ini. Bahkan, kalau kebutuhannya saat ini juga, maka barang harus ada saat ini juga. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di BLU. Di perusahaan swasta maupun di pemerintah juga terdapat kebutuhan seperti ini.

Jadi bagaimana proses pengadaannya?

Kalau harus ada saat ini juga, maka segera dicari penyedia yang dapat menyediakan barang saat ini juga.  Tidak ada cara lain, kecuali dengan cara penunjukan langsung. Dalam banyak organisasi, penunjukan langsung ini dibatasi kondisinya karena kebutuhan yang seperti ini secara sesungguhnya tidak banyak terjadi atau bisa diantisipasi sehingga selalu dikurangi sifat mendadaknya.

Semakin panjang pengelola pengadaan memiliki pengalaman, semakin sedikit kebutuhan yang tidak dapat direncanakan.

Mengatur proses pengadaan di BLU yang hanya meningkatkan nilai pengadaan yang dapat ditunjuk langsung tidak menyelesaikan masalah pengadaan di BLU.  Bahkan bisa meningkatkan peluang inefisiensi proses maupun harga perolehan yang lebih mahal.


Ikak G. Patriastomo

14/10/17

Pengawasan Masyarakat di Era Pengadaan 2.0

Berkembangnya teknologi Web 2.0 memberi peluang sangat besar bagi aspek pengawasan masyarakat dan dunia pengadaan pada umumnya. Pengadaan dengan Web 2.0 (atau sebut saja dengan Pengadaan 2.0) maka masyarakat luas dapat mengikuti proses pengadaan dari manapun dan kapanpun. Indikasi penyimpangan dalam pengadaan kemudian akan mudah diketahui oleh masyarakat dan dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Selama ini, pengadaan sangat rentan disalahgunakan bila sistem pengawasan tidak memiliki "deterent effect" bagi pengelola pengadaan. Hari-hari ini dunia pengadaan secara terang-terangan mempertontonkan bahwa operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi belum memberi efek jera bagi pengelola pengadaan. Mungkin hal ini dikarenakan oleh masih banyaknya orang atau pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi tetapi belum dapat terjerat hukum oleh aparat penegak hukum.

Secara sederhana saya sering membuat sinyalemen bahwa saat ini masih banyak sebenarnya nilai pengadaan yang terindikasi dikorupsi. Dari angka e-procurement saja segera terlihat bahwa masih ada sekitar 60% pengadaan yang tidak menggunakan e-procurement (http://report-lpse.lkpp.go.id ). Misalnya tahun 2016, nilai pengadaan yang menggunakan e-procurement hanya Rp. 305 trilyun (e-tendering) dan Rp. 50 trilyun (e-purchasing). Padahal, total nilai pengadaan tahun 2016 tidak kurang dari Rp. 1.000 (seribu) trilyun. Artinya, ada kecenderungan pengadaannya dilakukan dengan penunjukan langsung atau pemilihan langsung. Ada banyak paket pekerjaan yang dibuat kecil-kecil atau dipecah kecil-kecil sehingga tidak perlu menggunakan e-tendering.

Harapannya, tentunya bukan untuk meningkatkan jumlah kasus hukum, melainkan membuat seseorang tidak memiliki kesempatan untuk lepas dari jeratan hukum bila melakukan korupsi dalam pengadaan. Konsep sederhananya, harus ada "watch dog" yang akan menggonggong bila ada sesuatu yang melanggar batas wilayahnya. Dalam pengadaan peran "watch dong" ini dapat dilakukan oleh pengelola pengadaan itu sendiri maupun oleh penyedia barang peserta lelang pengadaan. "Watch dog" juga dapat diperankan oleh masyarakat penerima manfaat proyek maupun komunitas pemerhati pengadaan  dan berbagai "civil society organization".

Sebelum era e-procurement, gagasan membangun sistem "watch dog" atau sering disebut sebagai sistem pengawasan lebih banyak hanya mengandalkan sistem pengawasan internal dan post audit. Pengawasan oleh masyarakat pada era sebelum ini menghadapi persoalan ketiadaan alat yang efektif untuk memfasilitasi pengawasan masyarakat.

Persoalan utama adalah transparansi proses pengadaan. Mengikuti proses pengadaan di era yang lalu sangat menyita waktu dan energi. Keterlibatan pihak di luar panitia pengadaan selalu berpotensi mengganggu dan menghambat kerja panitia pengadaan. Informasi menjadi barang yang sangat mahal untuk diperoleh.

Dengan e-procurement, transparansi proses pengadaan sudah tidak menjadi persoalan. Keterlibatan masyarakat secara luas praktis tidak menghadapi kendala. Namun demikian, masyarakat terutama pihak-pihak yang peduli dengan pengadaan perlu membangun kesadaran untuk memantau proses pengadaan sehingga apabila ada indikasi penyimpangan dapat diketahui.

Kesimpulannya, kalau hari ini masih ada yang mencoba memanfaatkan kesempatan untuk korupsi di bidang pengadaan melalui manipulasi proses pengadaan, maka tinggal tunggu waktu ada yang melaporkan atau mengadukan yang bersangkutan.


23/09/17

Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

Harga perolehan dalam pengadaan selalu menjadi persoalan, apakah lebih mahal, apakah masuk akal, apakah di mark-up, apakah menguntungan pihak tertentu. Bagaimana mendapatkan harga yang benar pada suatu waktu, di tempat tertentu, dengan skala pembelian tertentu menjadi diskusi yang akan selalu menarik karena pelaku usaha akan selalu mencari cara untuk memenangkan kompetisi harga.

Sebelum mendapatkan harga yang benar, pengelola pengadaan terrlebih dahulu akan dihadapkan oleh pertanyaan berapa perkiraan harga, baik yang menjadi dasar anggaran belanja maupun dasar melakukan negosiasi harga maupun menilai penawaran harga dari pemasok atau penyedia.  Tanpa pengetahuan akan perkiraan harga maka negosiasi akan berat sebelah dan dikendalikan oleh pihak pemasok yang lebih tahu pembentukan harganya. Atau akhirnya jadi seperti "tawar kacang", sangat tidak rasional.

Konsep harga secara sederhana ditentukan oleh kesediaan pembeli (willingness to pay), kesediaan penjual menerima (willingness to accept) dan kompetisi yang terjadi. Dalam pengadaan (khususnya pemerintah) praktis tinggal faktor kompetisi yang dominan menentukan harga karena dua faktor yang lain seringkali sudah saling "terpaksa". Bahkan pada umumnya di pengadaan, kebutuhan dan suplai tidak elastis terhadap harga.

Dengan demikian, harga perolehan tergantung pada tingkat kompetisi yang terbangun di antara para pemasok atau penyedia. Tidak semua kebutuhan dapat dibangun kompetisi yang efektif (tinggi), bahkan kebutuhan pada situasi tertentu akan berhadapan dengan penyedia tunggal. Kompetisi pada umumnya akan lebih mudah terbangun pada kebutuhan yang akan memberi keuntungan bagi pemasok atau penyedia dalam jangka panjang dan terdapat banyak penyedia yang mampu memasoknya.

Dengan logika ini, maka akurasi menghitung harga perkiraan sendiri mestinya bukan menjadi persoalan besar. Paling buruk adalah tidak ada yang menawar manakala HPS tidak rasional atau berada di bawah "willingness to accept". Atau, sisa anggaran terlalu besar manakala HPS dihitung terlalu jauh dari harga sesungguhnya. Dengan catatan, persaingan yang efektif di antara para pemasok dapat dibangun sehingga harga perkiraan yang tidak akurat dapat dikoreksi.

Dalam banyak kasus di bisnis pengadaan pemerintah di tanah air, pengelola pengadaan sering berhadapan dengan kelompok penyedia yang menghalangi terjadinya persaingan. Harga diatur atau peserta lelang dihalangi menyebabkan harga perkiraan tidak terkoreksi. Hal ini menjadi salah satu latar belakang regulasi pengadaan pemerintah HPS diatur sebagai pagu penawaran, dan pagu anggaran sebagai pagu HPS agar kerugian akibat kondisi persaingan yang tidak sehat dapat dibatasi.

Metode menghitung HPS dalam pengadaan hampir tidak dapat diseragamkan. Metode menghitung HPS di bidang konstruksi tidak sama dengan menghitung HPS untuk pengadaan barang. Bahkan, barang yang satu bisa sangat berbeda dengan barang yang lain. Namun demikian, menghitung HPS untuk pekerjaan konstruksi  relatif lebih banyak contohnya, terutama pekerjaan konstruksi yang kompleksitasnya rata-rata. Hal ini seringkali menyebabkan para pengelola pengadaan mengikuti pendekatan yang sering dilakukan di pekerjaan konstruksi untuk pengadaan barang atau jasa yang lain.

Walaupun berbeda-beda, secara garis besar HPS dapat dihitung dengan melihat input-proses-ouput maupun hanya melihat harga pasar suatu output. Cara melihat langsung harga pasar barang (sebagai ouput) hanya dapat dilakukan apabila barang dijualbelikan di pasar yang terbuka. Barang seperti ini biasanya mereknya banyak dan saling berkompetisi, serta terdapat banyak pembeli. Harga yang terbentuk untuk barang seperti ini ditentukan oleh harga yang ditetapkan produsen dengan seluruh mata rantai pasoknya. Seringkali, rantai pasok berbeda memberi harga yang berbeda pula. Bahkan tingkat rantai pasok juga dapat menentukan perbedaan harga. Dalam situasi seperti ini, pembeli perlu melihat dimana tingkat rantai pasok yang mampu dan bersedia merespon kebutuhannya. Pada umumnya, skala dan kontinyuitas pembelian memberi kesempatan berhubungan dengan tingkat rantai pasok. Semakin besar pembelian akan semakin pangkal rantai pasok yang potensial. Harganyapun bisa lebih rendah.


20/09/17

Kontrak Lumpsum

Kontrak Lump sum diuraikan dalam pasal 51 ayat (1) Perpres 70 yaitu kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga;
b. Semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa;
c. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak;
d. Sifat pekerjaan berorientasi pada keluaran (output based);
e. Total harga penawaran bersifat mengikat;
f. Tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.

Persoalan yang seringkali muncul, pada saat pelaksanaan di lapangan terjadi perubahan situasi sehingga memerlukan pekerjaan tambah kurang.

Di sini komplikasi terjadi. Karena sifat kontraknya lumpsum, maka perincian volume pekerjaan mestinya tidak mengikat, tapi faktanya ada item pekerjaan yang harus dikurangi, ada juga item pekerjaan yang harus ditambah. Alhasil, pekerjaan ini mestinya tidak layak menggunakan kontrak lumpsum.

Tetapi bagaimana yang sudah terlanjur?

Mau tidak mau para pihak harus duduk bersama dan dengan itikad baik mengubah bagian kontrak yang perlu perubahan menjadi kontrak harga satuan, dan mengurangi ruang lingkup lumpsum kontraknya kalau tidak dilaksanakan.