26/05/12

Pengadaan Perlu Perubahan Sistem dan Prosedur yang Radikal

Mencermati perjalanan reformasi di bidang pengadaan yang sudah berjalan 12 tahun (kalau dihitung sejak tahun 2000 dengan Keppres 18/2000 nya, atau 9 tahun kalau dihitung sejak Keppres 80/2003) maka posisi pengadaan pemerintah belum beranjak jauh. Saya mengatakan masih jalan ditempat. Walaupun bila dikaji dengan “Baseline Indicator”nya OECD semua sistem dan subsistem pengadaan pemerintah hampir lengkap, secara faktual, sistem yang terbangun belum menjawab persoalan mendasar yang ingin diselesaikan dengan reformasi di bidang pengadaan.

Mari kita lihat satu persatu indikator utama pengadaan. Apakah sudah mencapai tujuan pengadaan (5 tepat: mutu, waktu, jumlah, dan harga) ? Apakah dalam kondisi posisi supply di kuadran “leverage” telah terjadi persaingan yang fair? Apakah pengelola pengadaan cukup kredibel? dsb., dsb....

Tanpa perlu studi atau survey yang canggih banyak orang dengan mudah akan mengatakan banyak tujuan pengadaan yang tidak tercapai. Bagaimana mungkin pekerjaan yang baru saja diselesaikan sudah rusak lagi. Bagaimana barang yang diterima tidak bisa digunakan. Bagaimana banyak persaingan yang ternyata masih semu, dan akses kepada proses lelang masih terbatas. Termasuk banyak pengelola pengadaan yang masih diragukan kredibilitas dan profesionalitasnya. Lho...jadi? Sedih memang...Lalu harus bagaimana?

Sepertinya memang masih banyak celah maupun kelemahan sistem dan prosedur yang saat ini terbangun. Sistem dan prosedur yang terbangun masih memiliki asumsi pengelola pengadaan profesional. Dengan asumsi ini, pengelola pengadaan dapat mengambil keputusan secara profesional berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Tetapi sebaliknya, sistem dan prosedur yang ada juga berasumsi kredibilitas pengelola pengadaan sangat rendah. Masyarakat tidak memiliki “trust” pada pengelola pengadaan. Buktinya, banyak pelaku usaha yang melakukan “suap” untuk memenangkan lelang. Lebih sedih lagi, memang banyak contoh bagaimana belanja pengadaan di “mark-up” dan selisihnya dikorupsi.

Walaupun tahun 2012 ini dicanangkan sebagai tahun awal kewajiban e-procurement, tanpa perubahan proses dan prosedur (dalam bahasa umum: bisnis proses) yang radikal, sistem e-procurement tidak bisa diharapkan menyelesaikan semua masalah pengadaan di tanah air. Sistem e-procurement memungkinkan dibangun dengan “mind-set” yang berbeda dengan bisnis proses yang ada saat ini.

Pada hakekatnya, perlu hanya 1 (satu) variabel yang dipersaingkan, yaitu harga atau “total cost of ownership”. Aspek-aspek lain berkaitan dengan kualifikasi (pengalaman dan kemampuan serta kredibilitas) dan teknis (time, quality dan quantity) perlu dibuat ‘fix’. Dengan demikian, semua penawaran adalah “responsible bid” atau penawaran yang responsif, apalagi aspek administrasinya.

Untuk dapat hanya harga yang dipersaingkan, maka perlu dibangun sistem informasi berkaitan dengan kualifikasi penyedia (dengan tidak mengulang kesalahan konsep TDR/DRM) dan sistem informasi berkaitan dengan aspek teknis barang/jasa. Mari kita Wujudkan.

Salam IAPI (26 Mei 2012).

Ikak G. Patriastomo, Ketua Umum IAPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar