03/01/11

Membangun e-procurement, membangun bangsa

Pada waktu pertama kali saya mendengar gagasan bahwa e-procurement akan menjadi sistem utama pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia, saya termenung. Apa mungkin? Waktu itu tahun 2004.
Enam tahun kemudian, pada waktu tanggal 31 Desember 2010 saya memberikan sambutan akhir tahun di depan teman-teman yang bersama-sama mewujudkan gagasan itu, apa yang pada tahun 2004 rasanya masih menjadi mimpi, saat ini mimpi itu bukan lagi mimpi yang jauh.
Dalam kurun waktu hanya 3 tahun, sejak 2008 sampai akhir 2010 ini, perkembangannya sangat fantastis. Nilai transaksi pengadaan yang diproses secara elektronik menggunakan sistem e-procurement yang dibangun bersama-sama mencapai Rp. 16,69 trilyun. Lebih dari 7.900 paket lelang sudah diproses, padahal pada tahun 2008 hanya 33 paket diujicobakan.
Walaupun baru 51.780 badan usaha yang terdaftar dalam sistem e-procurement, jumlah ini adalah kumulatif 3 kali lipat dari jumlah badan usaha yang terdaftar tahun sebelumnya. Yang dirasakan oleh para pelaku usaha itu, ada perlakuan yang adil bagi mereka. Kesempatan untuk memenangkan lelang menjadi sama bagi semua pelaku usaha.
Melihat perkembangan itu, di tahun lalu, tepatnya tahun 2009 di Batam, saya pernah menyampaikan keyakinan saya di depan teman-teman, bahwa inisiatif membangun e-procurement akan memberi suasana dan optimisme baru di tengah-tengah hiruk pikuk komentar yang pesimistik dengan perkembangan bangsa ini. Inisiatif ini menunjukkan bahwa setiap elemen masyarakat memiliki dinamikanya sendiri untuk bertahan hidup dan memperbaiki dirinya dan lingkungannya.
Tampaknya, respon dari para pengelola pengadaan di daerah sangatlah mendukung dinamika ini. Tim yang dibentuk di setiap Provinsi, Kabupaten, Kota maupun Kementerian dan Lembaga untuk mengelola unit layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) sungguh sangat mengharukan sekligus membanggakan. Setiap orang dengan bersemangat mengambil bagian untuk mewujudkan e-procurement. Tidak mudah diceritakan, bagaimana Ibu-ibu di LPSE Sumatera Barat bersedia roadshow kepada para Bupati dan para kepala dinas di kabupaten se Sumatera Barat memperkenalkan e-procurement dan melakukan pendampingan kepada teman-temannya di kabupaten membentuk LPSE. Atau, kawan-kawan di Jawa Barat, Kalteng, atau Sulsel bersedia ke provinsi-provinsi lain menceritakan keberhasilannya mendorong penerapan e-procurement di provinsinya.
Ternyata, inisiatif membangun e-procurement telah menjadi gerakan bersama. LPSE-LPSE yang dibentuk di daerah maupun di pusat telah menjadi energi perubahan bagi lingkungannya dan perubahan ini dilakukan bersama-sama tanpa terikat dengan batas-batas wilayah dan kewenangan. Siapa saja dapat melakukan inisiatif itu, menyampaikannya kepada masyarakat, melatih panitia pengadaan maupun penyedia barang dan jasa, maupun melatih dan berbagi pengalaman kepada kawan-kawannya yang ingin membangun LPSE.
Birokrasi yang semula dipersepsikan lamban dan tidak mau berubah, saat ini teman-teman di LPSE telah menampilkan sikap yang sangat berbeda. Dengan bersemangat mereka bersedia membantu siapapun apalagi penyedia dan panitia yang ingin mengetahui proses lelang secara elektronik dan bisa mengoperasikan sistem aplikasi. Dengan ikhlas dan penuh dedikasi mereka melayani berbagai suara yang bernada sumbang pada inisiatif mereka. Mereka merasa menjadi tanggung jawab merekalah orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu e-procurement, seperti halnya mereka yang tahu dari kawan-kawan di LPSE yang lain.
Saat ini, ada lebih dari 1.300 orang di negara kita ini yang memiliki semangat seperti itu. Sekali lagi, perubahan itu pasti akan terjadi. Sistem pengadaan yang lebih baik akan segera terwujud oleh orang-orang seperti itu. (Ikak G. Patriastomo)

2 komentar:

  1. Al. Sal3.
    Ada variabel yang belum disinggung dalam kaitannya dengan defisiensi anggaran, yaitu biaya politik yang mahal. Dalam banyak kasus, oleh penguasa politik, pengadaan barang/jasa sering dijadikan sebagai ATM untuk mengembalikan 'gizi' politik ketika dalam tahap pemilihan. Tak heran jika kemudian ada ada pengadaan fiktif, mark up anggaran, pekerjaan/pengadaan di bawah spek teknis, pengadaan barang yang tidak diperlukan, dll. Memang, demokrasi di negara yang relatif berkembang selalu memunculkan bias.

    BalasHapus
  2. Makasi pak tulisannya, nambah wawasan dan semangat. Untuk saat ini di Kementerian PU sudah menerapkan e-Procurement baik yang full e-procurement maupun semi e-procurement :-)

    BalasHapus