12/02/14

E-PROCUREMENT UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DAN PASAR PENGADAAN YANG SEHAT

Permasalahan pengadaan pemerintah pada hakekatnya adalah permasalahan pasar pengadaan dan permasalahan tata kelola (governance) dalam membelanjakan keuangan negara. Ketiadaan keseimbangan supply-demand, persaingan usaha yang tidak sehat, adanya barrier to entry dan lain-lain pada satu sisi menjadi faktor dominan yang menentukan kinerja kebijakan pengadaan bersama-sama dengan buruknya tata kelola yang berujung pada tindakan korupsi.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK atau ICT) secara signifikan membuka peluang terselesaikannya permasalahan pengadaan melalui penerapan e-procurement (pengadaan secara elektronik) dengan membangun suatu e-market place pengadaan dan sistem pendukungnya. Perkembangan ICT memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara transparan dan akuntabel (memungkinkan semua orang mengawasi prosesnya dan pengelola pengadaan mendapatkan barang dengan harga yang benar dari penyedia yang benar sehingga akuntabel).  Di samping itu, terbangunnya e-market place pengadaan akan memperbaiki mekanisme pasar yang memberikan informasi yang lebih baik kepada pembeli dan penjual atas suplly dan demand suatu barang/jasa.

Pada RPJM periode 2010-2014 saat ini, e-procurement telah menjadi salah satu program strategis dalam mengatasi permasalahan pengadaan. Pengembangan dan implementasi e-Procurement ini telah menjadi prioritas bidang pada RPJMN ini dan diusulkan akan menjadi prioritas nasional pada RPJMN periode 2015 -2019.

Melalui penerapan pengadaan secara elektronik, proses dan prosedur pengadaan menjadi lebih sederhana dan lebih memperkuat aspek akuntabilitas, transparansi, maupun efektivitas kebijakan pengadaan. Dengan terwujudnya e-market place pengadaan, harga pasar akan terbentuk secara benar dan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan sehingga manfaat belanja dapat lebih maksimal. Dalam 5 tahun ke depan, e-market place pengadaan ini akan semakin dewasa sejalan dengan kemajuan ICT dunia dan ketersediaan infrastruktur ICT maupun bisnis ICT di Indonesia. Perkembangan Cloud Computing akan sangat menentukan arah dan kecepatan kemajuan e-market place pengadaan maupun proses pengadaannya.

Sejalan dengan perkembangan ICT dan semakin dewasanya e-market place pengadaan, manajemen pengadaan dimungkinkan dikelola sebagai suatu proses end-to-end, sejak perencanaan anggaran sampai dengan penyerahan barang dan penilaian kinerjanya, bahkan pengadaan dengan mudah akan dapat dibangun kaitannya dengan pengelolaan barang/asset pemerintah. Pengadaan akan dapat dengan mudah dioptimnalisasikan rantai suplainya (Supply Chain Optimazion) sehingga didapatkan harga barang yang paling murah/menguntungkan, dengan tetap menghitung manfaat sosial dan ekonomi dari suatu pengadaan.
Organisasi pengadaan juga akan menjadi sangat efisien dan ramping tanpa mengurangi peluang kontrak pengadaan dan pembelian yang sangat luas bagi usaha kecil khususnya.

Untuk menangkap momentum perkembangan ICT dan pengaruhnya serta peluangnya bagi dunia pengadaan, penerapan e-procurement mutlak harus secepat mungkin diadopsi sebagai sistem utama proses pengadaan. Bersamaan dengan pengembangan sistem, sumber daya manusia pengelola pengadaan perlu disiapkan untuk mampu mengadaptasi teknologi yang diperkenalkan. Sistem regulasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan bisnis proses dan lingkungan pengadaan yang baru. Dalam hal ini, peraturan setingkat undang-undang menjadi sangat diperlukan untuk memberi kesempatan kepada LKPP melakukan perubahan dan berinovasi dalam memperbaiki kinerja pengadaan.

Dalam rangka mengejar dan penyelesaikan persoalan adopsi teknologi, LKPP telah membangun sistem e-procurement dan strategi implementasinya yang dapat diterapkan dalam kondisi infrastruktur, SDM dan organisasi yang berbeda-beda. Secara ekstrem, e-procurement pada kondisi internet yang sangat tidak memadai, sistem tetap dapat berjalan (dengan LAN dan bidding room) hanya sebagai sarana pertukaran dokumen dan pengumuman lelang. Untuk itu, sistem e-procurement dibanguan sebagai suatu sistem, yang baik aplikasi, infrastruktur server dan jaringan, maupun pengelolaannya tersebar dan terdistribusi sampai ketingkat Kabupaten/Kota dengan organisasi pengelolaan yang otonom (setiap Kementerian, Lembaga, Provinsi, Kabupaten, Kota membangun Layanan Pengadaan Secara Eelentronik atau LPSE), namun terhubung menjadi satu sistem secara nasional. Sebagai satu sistem, semua pengguna (PPK, ULP, penyedia maupun masyarakat luas) dapat mengakses informasi dari manapun dengan satu nama user (Single Sign On). LPSE juga menjadi ujung tombak penyelesaian permasalahan digital gap karena selain memberi fasilitas untuk digunakan oleh penyedia mengikuti lelang, LPSE juga menyediakan pelatihan dan helpdesk bagi pengguna sistem.

Pembangunan LPSE yang tersebar di seluruh wilayah dengan sistem elektroniknya dimungkinan karena pendekatan penggunaan open-source software yang bebas lisensi. Pengembangan lebih lanjut dari pendekatan ini adalah pengembangan software secara open-source yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pengembangannya. LKPP dalam hal ini bertindak sebagai software house dan penyedia layanan pemeliharaan dan dukungan teknis sekaligus sebagai pemegang hak cipta mewakili Pemerintah. Peluang dari pendekatan ini, total biaya pengadaan pengembangan aplikasi secara nasional menjadi murah dan tidak membebani institusi yang menyelenggarakan sistem elektronik. Lebih lanjut, pengembangan secara opensource membuka kemungkinan masyarakat memanfaatkan aplikasi tanpa biaya.

Kombinasi berbagai pendekatan dalam implementasi e-procurement di Indonesia pada saatnya akan memberi peluang terbangunnya pasar pengadaan yang terintegrasi dengan e-market place yang berkembang di Indonesia maupun di dunia. Tanpa kehilangan kendali atas kebijakan pengadaan, pasar pengadaan yang terintegrasi dengan pasar yang lebih luas akan memberi peluang balanja yang lebih efisien sekaligus peluang pasar produk nasional yang sudah berdaya saing. Perjalanan implementasi e-procurement dimulai pada tahun 2008, diawali dengan pembentukan LPSE pilot di 11 lokasi/institusi. Dalam perkembangannya hingga awal tahun 2014, telah tercatat sebanyak 602 LPSE yang tersebar di 33 provinsi dan melayani instansi pemerintah pusat, daerah serta BUMN, serta perguruan tinggi. Perkembangan yang menarik, walaupun secara peraturan BUMN tidak diatur dengan peraturan yang sama dengan APBN/APBD, terdapat beberapa BUMN yang juga membangun LPSE, bergabung dalam e-market place yang sama dan memanfaatkan sistem e-procurement yang dibangun LKPP.

Dengan telah terbangunnya 602 LPSE yang tersebar di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia (seluruh Provinsi sudah terlayani), telah membuka akses pasar pengadaan pemerintah dan menciptakan persaingan sehat dalam proses lelang. Sistem e-procurement memungkinkan pelaku usaha di daerah, dengan hanya sekali mendaftarkan diri, mendapatkan akses pasar di seluruh Indonesia dan mengikuti proses lelang maupun menawarkan barangnya di e-katalog. Walaupun demikian, secara alamiah wilayah operasi pelaku usaha tetap terbatasi oleh biaya transportasi dan pengenalan potensi setempat.

Keberhasilan penerapan e-procurement di Indonesia tidak lepas dari adanya respon positif para pelaku pengadaan. Secara kelompok, respon ini mempercepat proses adopsi sistem e-procurement yang dipersepsikan memberikan rasa aman dan nyaman. Rasa aman karena proses pengadaan dirancang pasti sesuai dengan ketentuan karena melekat pada aplikasi dan transparansi yang sangat luas., serta meningkatnya kepercayaan para pelaku usaha karena kompetisi yang adil dan terbuka.

Dengan meningkatnya kepercayaan dunia usaha pada proses pengadaan yang lebih adil dan transparan, partisipasi langsung pelaku usaha dalam pengadaan diharapkan meningkat. Hal ini akan meningkatkan kompetisi dan pada akhirnya akan menjamin harga yang lebih benar.

Sistem e-procurement yang dibangun juga membuka peluang untuk membangun sistem pendukung dalam rangka government financial management yang lebih baik. Interaksi antar sistem di dalam manajemen keuangan akan mengurangi biaya dan waktu proses dan pada akhirnya akan menurunkan ekonomi biaya tinggi. Untuk itu, arsitektur sistem e-procurement dibangun dengan membuka peluang seluas-luasnya interaksi dengan sistem yang lainnya, seperti sistem perencanaan pengadaan, sistem manajemen kontrak, sistem pembayaran (payment system) dan sistem monitoring termasuk pengendalian, dan pengawasan oleh masyarakat.

Salam LPSE
Ikak G. Patriastomo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar