09/07/11

Tranparansi Tender

Pemerintahan yang bersih menjadi salah satu misi Pemerintah yang multlak diwujudkan ke dalam program-program pembangunan mengingat birokrasi telah dilanda perilaku koruptif yang kronis. Sebagaimana kita maklumi, penyakit ini tidak hanya diderita jajaran eksekutif, akan tetapi juga telah diidap oleh dua pilar negara yang lain, yaitu: lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Pada jajaran eksekutif atau birokrasi, perilaku korupsi dalam tubuh birokrasi Indonesia sepertinya memang memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut sejumlah pakar, secara historis, birokrasi di Indonesia adalah warisan budaya birokrasi kerajaan (feodal) dan warisan kolonial dengan tugas pokok birokrasi adalah memungut pajak dan menyediakan tenaga kerja gratis dan eksploitatif dengan tugas mengeruk hasil bumi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengikis budaya kolonial dengan mengganti sebutan birokrasi dari pangreh praja menjadi pamong praja, akan tetapi nuansa birokrasi yang paternalistik dan arogan masih sulit untuk dilepaskan. Dengan sosoknya yang demikian, maka tidak mengherankan jika birokrasi publik di Indonesia masih mempraktikan budaya adanya upeti dengan berbagai bentuk transformasinya dalam wujud yang lebih modern seperti: uang terima kasih, uang rokok, "kick back", suap dan sebagainya serta kecenderungannya untuk memposisikan birokrasi lebih tinggi dibanding dengan masyarakat sehingga sulit untuk menjadi pelayan masyarakat.

Dalam pengadaan barang dan jasa, budaya birokrasi yang kolonialistik dan feodalistik ini memberi kontribusi pada inefisensi keuangan negara yang sangat besar akibat dari tindakan koruptif dan tidak transparannya proses pengadaan. Manfaat dari keuangan negara menjadi lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang seharusnya dapat diperoleh. Angka inefisiensi “kebocoran anggaran” yang sering dilansir berbagai pihak dapat mencapai 30% dari total belanja barang/jasa (Rp. 150 trilyun dari total anggaran Rp. 450 trilyun pada tahun 2010).

Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab mengapa pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih sarat dengan KKN. Faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Indonesia dapat dikenali diantaranya adalah: (1) belum lengkapnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pengadaan barang dan jasa, (2) lemahnya implementasi karena para implementor tidak memahami konsep dan prosedur secara baik, (3) lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa, (3) lemahnya kapasitas pelaksana di lapangan, (4) lemahnya pengawasan dan tidak transparannya proses tender.

Selain bersumber dari birokrasi, persoalan buruknya kinerja pengadaan barang dan jasa juga muncul karena para penyedia barang/jasa belum memahami secara baik hak dan kewajiban mereka. Terbatasnya jumlah penyedia yang berpartisipasi memunculkan kecenderungan mengatur tender untuk dibagikan diantara penyedia yang tergabung dalam suatu asosiasi. Bahkan upaya untuk memperoleh kontrak atau memenangkan tender suatu pekerjaan seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya misalnya dengan menjanjikan adanya ‘pembagian keuntungan’ atau pengatur pelaksanaan semua tender yang kemudian terkenal dengan arisan tender bahkan menjadi mafia tender.

Berbagai upaya telah dilakukan selama ini. Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) area yang perlu dilbenahi yaitu: (1) Pembenahan kerangka peraturan perundang-undangan meliputi penyusunan Rencana Undang-Undang Pengadaan, pedoman-pedoman dan standar-standar kerja; (2) Pengembangan kapasitas sumber daya manusia meliputi pengembangan sistem karir, standar kompetensi dan pengujiannya, maupun remunerasi dan sistem pendidikan/pelatihannya; dan (3) Pengembangan kelembagaan kebijakan, pengelola pengadaan, pengelola pelatihan dan kelembagaan pendukung lainnya.

Kebijakan Transparansi

Untuk menjamin proses pengadaan dapat diketahui oleh semua pemangku kepentingan dan dapat diikuti oleh semua pelaku usaha, maka prinsip transparansi harus dijunjung tinggi. Prinsip ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk kewajiban kepada pengelola pengadaan mengumumkan adanya kesempatan kontrak pekerjaan (biasanya disebut dengan pengumuman rencana umum pengadaan), pengumuman lelang dan pengumuman pemenang lelang.

Pada prakteknya, dengan alasan biaya pengumuman di surat kabar tidak murah dan seringkali pihak legislatif tidak memberi persetujuan untuk anggaran pengumuman, pengadaan (baik rencana umum maupun lelangnya) tidak diumumkan dengan memadai. Dalam era sebelum Keppres 80 Tahun 2003 diberlakukan, pengumuman seringkali hanya ditempelkan di papan pengumuman resmi instansi yang memiliki kegiatan. Di samping tempat pengumuman yang tidak menjangkau semua pihak, isi pengumuman seringkali sangat tidak memadai untuk memberi keterangan yang lengkap tentang pekerjaan yang akan dilelangkan. Seringkali, pengumuman hanya ditempel dalam waktu yang sangat terbatas atau dirobek untuk membatasi keikutsertaan banyak penyedia.

Di satu sisi praktek tersebut menggambarkan pemahaman yang terbatas bagi semua pihak yang terlibat akan prinsip transparansi tersebut, di sisi yang lain juga menggambarkan pemahaman yang terbatas pada keterkaitan antara pengumuman tender dengan hasil pengadaan (khusunya harga). Tidak dipahami bahwa semakin banyak peserta lelang akan semakin besar peluang pengelola pengadaan memperoleh harga barang yang baik (murah). Yang dipahami, semakin banyak peserta lelang semakin repot mengelola prosesnya karena menjadi tidak mudah untuk berlaku adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyembunyikan pengumuman tender supaya yang ikut lelang dapat diatur. Karena ada pengaturan, maka peluang untuk mengatur imbalanpun menjadi terbuka (korupsi).

Penunjukan Surat Kabar Nasional

Surat kabar yang beroplag besar dan tersebar menjangkau seluruh wilayah merupakan alternatif tempat pengumuman lelang yang paling potensial membangun dan menegakkan prinsip transparansi. Oleh karena itu, pengelola pengadaan perlu diatur untuk meletakan pengumuman lelang di surat kabar tersebut. Kewajiban ini memiliki implikasi pengelola pengadaan yang satu akan berbeda dengan pengelola pengadaan lainnya apabila tidak diatur nama surat kabar yang dimaksud.

Dari sisi pelaku usaha, surat kabar yang berbeda-beda juga menimbulkan kesulitan untuk mengikuti secara konsisten peluang usaha di bidang pengadaan. Pelaku usaha mungkin perlu berlangganan beberapa surat kabar sekaligus hanya untuk dapat mengikuti pengumuman lelang (peluang usaha) tersebut.

Kebijakan mengumumkan di surat kabar juga masih memiliki potensi dicurangi oleh berbagai pihak. Ada beberapa kasus panitia pengadaan memesan kolom tertentu untuk satu exemplar saja sebatas memenuhi aspek administrasi pengumuman, sedangkan penerbitan tersebut tidak nyata-nyata disebarkan ke publik.

Pelaku usaha juga masih memiliki peluang untuk curang dengan memborong penerbitan yang beredar di suatu wilayah agar pesaing-pesaingnya tidak mendapat pengumuman dan informasi yang memadai. Pelelangan pada akhirnya hanya diketahui oleh kelompok terbatas, biasanya yang sudah lama bekerjasama dengan panitia pengadaan atau pemilik pekerjaan.

Lelang untuk Memilih Surat Kabar

Ditetapkannya satu surat kabar yang akan menjadi tempat pengumuman lelang akan memungkinkan: (1) kontrol terhadap kepatuhan mengumumkan secara lebih mudah; (2) kontrol terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh kerjasama antara penerbit dengan panitia pengadaan lebih mudah; (3) memberi kepastian bagi pelaku usaha yang akan melihat secara konsisten peluang usaha pada pasar pengadaan.

Untuk itu, mengingat terdapat beberapa surat kabar yang memenuhi kriteria, maka penunjukan satu surat kabar perlu diproses yang menjamin perlakukan yang adil dan tidak diskriminatif. Oleh karena itu, pemilihan surat kabar dilelangkan setiap tahun.

Surat kabar yang ditetapkan kemudian perlu membangun unit kerja yang khusus menangani penempatan pengumuman lelang dari seluruh instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

Harga iklan yang lebih murah

Walaupun pelelangan yang dilakukan dalam kriteria evaluasinya tidak semata-mata mendasarkan pada harga yang paling murah, akan tetapi lelang surat kabar ini menghasilkan biaya iklan bagi pengumuman lelang per baris per kolomnya lebih rendah dari harga iklan yang normal.

Rata-rata penawaran menawarkan 30% dari biaya yang dipublikasikan. Hal ini wajar mengingat jumlah iklan per hari akan lebih dari 100 tayangan dengan masing-masing Rp. 5 juta rupiah saja, maka per hari surat kabar akan memiliki pemasukan Rp. 500 juta rupiah atau Rp. 15 Milyar per bulan atau Rp. 180 milyar per tahun.

e-Procurement dan Portal Pengadaan Nasional

Salah satu kelemahan yang menonjol dari kebijakan pengumuman lelang di surat kabar adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan pengumuman. Bila panitia pengadaan cukup kreatif, biaya ini bisa ditekan dengan pengumuman beberapa paket sekaligus.

Kelemahan lain yang juga perlu dievaluasi adalah jangkauan. Tidak semua tempat terjangkau oleh surat kabar yang memenangkan lelang. Dari 498 Kabupaten/Kota, hanya 65% yang terjangkau oleh surat kabar yang ditunjuk, dengan jeda waktu 1-2 hari untuk sampai di wilayah Kabupaten tertentu. Bagi pelaku usaha di wilayah seperti itu, apalagi bila paket pekerjaan berlokasi di wilayah tersebut, maka pengumuman di surat kabar menjadi tidak bermakna.

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, pengumuman di website menjadi solusi yang paling menguntungkan. Saat ini (th 2011) lebih dari 75% instansi pemerintah sudah memiliki website. Dengan demikian, kewajiban mengumumkan lelang di surat kabar sebagai upaya untuk transparan dan memberi kesempatan luas bagi pelaku usaha terlibat dalam pengadaan dapat digantikan dengan kewajiban mengumumkan melalui website.

Lebih jauh, Portal Pengadaan Nasional menjadi alat yang harus dikembangkan untuk menyatukan pengumuman lelang maupun semua informasi termasuk akses utama kepada sistem pengadaan nasional. Sebelum e-Procurement secara menyeluruh dapat diterapkan, kewajiban mengumumkan lelang di website yang dapat diakses melalui portal pengadaan nasional yang tunggal merupakan langkah awal dan strategi yang penting membangun pengadaan nasional yang baik. (Ikak G. Patriastomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar