23/02/14

Komentar pada Sebuah Cangkir



Pagi itu, 21 Feb 2014, kunikmati secangkir kopi yang seperti biasa dari hari ke hari kusiapkan sendiri. Aku merasa harus menyiapkannya sendiri karena ada formulanya: kopi, creamer dan gula, bahkan panasnya air ada ukurannya. Kalau orang lain yang membuat tidak pernah pas dengan rasa yang kubayangkan.

Sedikit kusruput kopi itu, dan aku seperti tersadarkan sesuatu. Cangkir ini sudah menemaniku lebih dari 10 th menikmati kopi pagi.  Aku tidak ingat  persis kapan mulainya, tapi seingatku sejak aku pindah ke gedung baru Bappenas aku mulai menggunakan cangkir ini. Saat itu tahun 1998. Bisa juga tahun 2000, walaupun kalau tahun 2000, terlalu jauh dari waktu pindah.


Tetapi apakah 1998 atau 2000, tetap saja sudah lebih dari 10 tahun aku bersama cangkir ini melalui ritual minum kopi pagi.

Kuambil foto cangkir yang isinya sudah kuminum sedikit. Iseng-iseng foto ku-upload ke akun facebook milikku. Lumayan untuk dokumentasi sebuah cangkir, pikirku.

Saat itu pula, segera komentar masuk. Komentar pertama datang dari Pak Edy Sunyoto dengan komentar "kesetiaan sebuah cangkir atau tuannya". Bagus juga kalimatnya. Bisa untuk judul film atau sinetron atau tulisan ini.

Rasanya, bukan cangkir itu yang setia, tapi mungkin aku yang tidak pernah berpikir tentang sebuah cangkir untuk minum kopi di pagi hari. Memikirkan akan minum pakai cangkir apa juga tidak pernah. Tapi cangkir itu selalu disediakan tiap pagi oleh Danang yang sudah lebih dari 8 tahun bekerja dengan setianya, sejak LKPP belum berdiri.

Sudah lama aku tidak bertemu dengan Pak Edy. Aku kenal Pak Edy sudah sama lamanya dengan cangkir itu menemaniku minum kopi. Kalau tidak salah, yang ini mungkin perlu konfirmasi dengan beliau, kami mulai sering bertemu sejak aku mulai kewalahan mendapatkan petugas untuk mengawasi ujian pengadaan. Waktu itu tahun 2006.

Sejak saat itu, pak Edy adalah orang yang sering kuminta mengunjungi kabupaten terpencil untuk melaksanakan ujian pengadaan. Pasti banyak yang bisa diceritakan perjuangan menjaga integritas ujian pengadaan. Pada masa-masa itu, tidak akan ada yang percaya bahwa kelulusan ujian tidak bisa dibeli. Dengan berbagai cara, banyak yang berusaha menyogok, membeli soal dan jawabannya. Orang juga tidak percaya bahwa kelulusan adalah lulus.

Komentar kedua dari Dini.    Dini surprise bahwa ternyata aku juga suka kopi seperti suaminya. Sebenarnya saya juga heran mengapa Dini surprise. Dini adalah istri Pipit teman main waktu saya di SMP di Semarang dulu yang sampai saat ini masih sering bertemu di Jakarta. Kedekatanku dengan Pipit karena kami tinggal berdekatan. Walau tdk satu komplek, tapi masih satu kelurahan.

Pada jaman itu setiap anak punya geng. Di semarang banyak kelompok-kelompok geng anak-anak tanggung seperti ini yang ingin eksis.  Hal ini sering membuatku tersenyum geli kalau mengenang masa itu.

Gengku namanya Kismis. Singkatan sekenanya dari kesatuan individu siswa dinamis. Kelompok ini terinspirasi dari tokoh-tokoh pergerakan tahun 1930an. Karena itu kegiatannya lebih banyak belajar bersama, membina Pramuka, diskusi ide-ide besar. Kalau kupikir, agak tidak biasa anak-anak SMP sudah berdiskusi gagasan kebangsaan. Mungkin karena membaca Sukarno, Penyampung Lidah Rakyat.

Kalau tidak salah ada 12 orang yang jadi anggota gengku. Diantaranya Pipit suami Dini dan Retno si dokter kecantikan di Semarang yang membayangkan “harus berhati-hatinya yang nyuci cangkir” atau “begitu hati-hatinya yang mencucinya”.

Waktu membaca komentar Retno:"sing isah isah hati2", agak lama aku harus berpikir untuk mengerti maksudnya, maklum sudah lama bahasa Jawa tidak pernah ada dalam khasanah tulisku. Perlu berkali-kali kubaca ulang komennya.

Mungkin sebagian besar orang Jawa saat ini tidak biasa lagi menulis bahasa Jawa. Bahasa ini masih kupakai berkomunikasi kalau lawan bicaraku orang Jawa yang kenal dekat. Tapi hampir tidak pernah aku menuliskannya dalam tulisan. Komunikasi tulisan dengan adik-adikku saja selalu dalam bahasa Indonesia.

Lain lagi komentar berikutnya. Adik sepupuku yang satu ini, Febi usul untuk ganti cangkir. Usiaku dengan Febi terpaut jauh, sekitar 16 tahun. Mungkin orang seusia dia tidak terlalu melankolik sehingga barang yang sudah terlalu lama layaknya segera diganti. Dari anak-anaknya Febi ini aku menyadari betul makna generasi yang begitu lahir sudah melihat gadget dan internet. Bayangkan, anak sekarang umur 7 tahun begitu sampai di restoran langsung bertanya kepada pelayan resto username dan password hotspotnya.

Komentar Febi ini wajar saja karena dari segi disain, si cangkir ini memang biasa saja, bahkan bisa dikatakan tidak ada nilai artistiknya yang luar biasa. Si cangkir juga bukan keramik mahal yang ekslusif. Di jamannya pasti banyak jumlahnya. Namun mungkin sekarang sukar dicari yang sama. Kalau harus dibuat replika tentu jadi mahal sekali karena cangkir ini produk industri.

Aku juga tidak tahu membelinya dimana. Jaman itu belum ada KPK. Pejabat masih tidak dilarang terima parsel lebaran. Pada posisiku saat itu, setiap lebaran banyak pihak mengirimiku parsel. Cangkir ini adalah salah satu isi parsel yang ada pada waktu itu.

Ada komentar yang datang mungkin dari seorang pelaku usaha yang sering ikut lelang. Terus terang saya tidak ingat kenal dimana. Tapi dia ada di tautan akun FBku. Yang saya ingat dengan teman ini adalah komentarnya yang selalu menuntut apakah LKPP atau orang lain untuk berbuat sesuatu memperbaiki keadaan terutama kindisi pelelangan yang tidak fair.

Maksudnya mungkin benar, tetapi hal ini kadang implisit menggambarkan pengetahuan para pelaku usaha secara umum yang terbatas tentang pengadaan. Dalam benaknya sepertinya semua orang diam tidak melakukan upaya apapun untuk memperbaiki keadaan. Pemberitaan memang tidak sering memberitakan hal yang positif sehingga inisiatif dan perjuangan insan pengadaan tidak pernah menjadi berita.

Yang kulihat, banyak pelaku usaha seperti ini saat ini. Kepercayaannya pada proses lelang sangat rendah. Dalam benaknya seperti tidak ada upaya yang dapat dilakukan atau belum ada upaya apapun untuk melakukan sesuatu. Lebih jauh lagi, seringkali yang bersamgkutan bahkan tidak melakukan suatu apapun apalagi memperjuangkan sesuatu untuk mengubah keadaan yang tidak disukainya.

Kadang-kadang komentar yang datang dari orang seperti ini membuat jengkel juga. Tidak akan ada penjelasan yang dianggapnya benar. Seringkali diskusi menjadi keluar konteks. Yang lebih menjengkelkan kalau kemudian solusi harus datang seseorang atau pihak di luar yang sedang berdiskusi. Untuk apa diskusi di luar kemampuan yang berdiskusi. Pasti tidak akan menghasilkan apa-apa.

Komentar yang datang dari staf yang sudah lama agak lain. Seperti komentar dari Anita. Komentarnya memang agak melo. Mereka pasti bisa membayangkan perjalanan ide-ide di balik kejadian minum kopi setiap pagi dengan cangkir itu. Atau Novi yang bercanda tentang cangkir biru yang sebiru hatiku.. Hehehe

Cangkir jadi pengingat haru-biru perasaan yang mengikutinya dan yang pernah memandangnya. Tentunya yang memandang tidak satu dua kali. Mungkin setiap kali kupanggil yang dipandangnya adalah cangkir itu, karena tidak berani memandangku.

Anita mungkin salah satu stafku yang merasakan kusemprot kalau menjawab pertamyaanku dengan asal jawab. Pada masa itu, rasanya saya memang lebih mudah marah. Tapi hebatnya semua stafku, mereka rasanya tidak pernah sakit hati. Mungkin karena sadar kesalahan mereka. Pada umumnya, mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dua kali. Atau tidak punya pilihan lain. Semoga bukan yang terakhir.

Arso, staf yang baru untuk ukuran perjalanan ide pengadaan, masuk tahun 2010, ternyata punya kesan yang mendalam tapi juga "traumatis". Kuberi tanda kutip karena aku tidak tahu apakah positif atau negatif.

Kalau membaca komentarnya, "...rapat senin an auranya beda kalau ada cangkir itu...ngeri-ngeri sedap", cangkir bisa diartikan secara harafiah kehadiranku. Tapi cangkir juga dapat dimaknai simbolis sebagai tekanan keseriusan tertentu.

Setiap hari Senin saya selalu mengadakan rapat staf untuk menanyakan progress kegiatan masing-masing. Semua staf memiliki tanggung jawab sesuai pilihannya. Pada rapat "Senin an" ini setiap orang akan mendapat sedikit stress kalau tidak bisa menggambarkan progress kegiatannya.

Ada seloroh, rapat senenan diplesetkan dengan rapat "diseneni... ". Bahasa jawa kena marah. Aku tertawa kalau mengingat ini.

Ya, pengadaan memerlukan orang yang serius mengubahnya. Juga memerlukan orang-orang yang tepat untuk dapat mengubahnya.

Lain lagi dengan Pak Made Sudarsana. Walaupun pak Made Sudarsana tidak merasakan aura yang sama dengan Arso pada cangkir itu, tapi pergulatannya sejak dia kenal pertama kali denganku menyebabkan ia berkomentar:" perlu disimpan untuk dilestarikan dimuseum pribadi".

Pak Made Sudarsana dkk di Kabupaten Badung adalah "orang biasa yang tidak biasa".  Dia bukan pejabat tinggi. Bukan pula orang yang dikenal luas. Tapi beliau mampu menjadi katalis di lingkungannya yang menggerakan perubahan. Dari banyak contoh orang seperti ini yang saya jumpai, setiap orang punya potensi menjadi modal sosial untuk perubahan.

Saya lupa kapan persisnya bertemu beliau pertama kali. Yang pasti jauh-jauh hari sebelum tahun 2010 yang bersejarah dan fenomenal dalam perjalanan ide pengadaan.

Ceritanya, kalau tidak salah pada bulan Desember 2009, saya datang ke Kabupaten Badung, Bali, untuk sosialisasi. Tapi dengan kuasaNya, pembicaraan singkat pak Himawan dengan Bupati Badung pada akhirnya mencetuskan ide untuk peresmian dan peluncuran LPSE Kab Badung hari itu juga.

Saya yakin, kalau kawan-kawan di Badung seperti pak Made Sudarsana memiliki dedikasi yang biasa biasa saja, maka pengadaan di Badung tidak akan semaju seperti sekarang ini.

Cangkir ini sepertinya bisa bercerita panjang. Ia  juga bisa jadi saksi bisu semangat perjuangan di pengadaan. Tapi dia juga saksi haru birunya memperjuangkan suatu ide di pengadaan.

Mewujudkan pengadaan bersih untuk Indonesia yang sejahtera bukan ide yang akan dengan segera diterima. Apalagi manakala ide itu mengganggu kepentingan seseorang. Itu sepertinya suatu keniscayaan, tapi itu juga pergulatannya.

Hari ini, sudah akhir Februari 2014. Sudah 14 tahun lebih aku menggeluti pengadaan. Sudah banyak yang kulakukan, namun juga masih banyak yang harus dilakukan. Semoga aku masih mendapat kesempatan mengambil peran tertentu.

Jakarta, 24 Februari 2014

12/02/14

E-PROCUREMENT UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DAN PASAR PENGADAAN YANG SEHAT

Permasalahan pengadaan pemerintah pada hakekatnya adalah permasalahan pasar pengadaan dan permasalahan tata kelola (governance) dalam membelanjakan keuangan negara. Ketiadaan keseimbangan supply-demand, persaingan usaha yang tidak sehat, adanya barrier to entry dan lain-lain pada satu sisi menjadi faktor dominan yang menentukan kinerja kebijakan pengadaan bersama-sama dengan buruknya tata kelola yang berujung pada tindakan korupsi.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK atau ICT) secara signifikan membuka peluang terselesaikannya permasalahan pengadaan melalui penerapan e-procurement (pengadaan secara elektronik) dengan membangun suatu e-market place pengadaan dan sistem pendukungnya. Perkembangan ICT memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara transparan dan akuntabel (memungkinkan semua orang mengawasi prosesnya dan pengelola pengadaan mendapatkan barang dengan harga yang benar dari penyedia yang benar sehingga akuntabel).  Di samping itu, terbangunnya e-market place pengadaan akan memperbaiki mekanisme pasar yang memberikan informasi yang lebih baik kepada pembeli dan penjual atas suplly dan demand suatu barang/jasa.

Pada RPJM periode 2010-2014 saat ini, e-procurement telah menjadi salah satu program strategis dalam mengatasi permasalahan pengadaan. Pengembangan dan implementasi e-Procurement ini telah menjadi prioritas bidang pada RPJMN ini dan diusulkan akan menjadi prioritas nasional pada RPJMN periode 2015 -2019.

Melalui penerapan pengadaan secara elektronik, proses dan prosedur pengadaan menjadi lebih sederhana dan lebih memperkuat aspek akuntabilitas, transparansi, maupun efektivitas kebijakan pengadaan. Dengan terwujudnya e-market place pengadaan, harga pasar akan terbentuk secara benar dan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan sehingga manfaat belanja dapat lebih maksimal. Dalam 5 tahun ke depan, e-market place pengadaan ini akan semakin dewasa sejalan dengan kemajuan ICT dunia dan ketersediaan infrastruktur ICT maupun bisnis ICT di Indonesia. Perkembangan Cloud Computing akan sangat menentukan arah dan kecepatan kemajuan e-market place pengadaan maupun proses pengadaannya.

Sejalan dengan perkembangan ICT dan semakin dewasanya e-market place pengadaan, manajemen pengadaan dimungkinkan dikelola sebagai suatu proses end-to-end, sejak perencanaan anggaran sampai dengan penyerahan barang dan penilaian kinerjanya, bahkan pengadaan dengan mudah akan dapat dibangun kaitannya dengan pengelolaan barang/asset pemerintah. Pengadaan akan dapat dengan mudah dioptimnalisasikan rantai suplainya (Supply Chain Optimazion) sehingga didapatkan harga barang yang paling murah/menguntungkan, dengan tetap menghitung manfaat sosial dan ekonomi dari suatu pengadaan.
Organisasi pengadaan juga akan menjadi sangat efisien dan ramping tanpa mengurangi peluang kontrak pengadaan dan pembelian yang sangat luas bagi usaha kecil khususnya.

Untuk menangkap momentum perkembangan ICT dan pengaruhnya serta peluangnya bagi dunia pengadaan, penerapan e-procurement mutlak harus secepat mungkin diadopsi sebagai sistem utama proses pengadaan. Bersamaan dengan pengembangan sistem, sumber daya manusia pengelola pengadaan perlu disiapkan untuk mampu mengadaptasi teknologi yang diperkenalkan. Sistem regulasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan bisnis proses dan lingkungan pengadaan yang baru. Dalam hal ini, peraturan setingkat undang-undang menjadi sangat diperlukan untuk memberi kesempatan kepada LKPP melakukan perubahan dan berinovasi dalam memperbaiki kinerja pengadaan.

Dalam rangka mengejar dan penyelesaikan persoalan adopsi teknologi, LKPP telah membangun sistem e-procurement dan strategi implementasinya yang dapat diterapkan dalam kondisi infrastruktur, SDM dan organisasi yang berbeda-beda. Secara ekstrem, e-procurement pada kondisi internet yang sangat tidak memadai, sistem tetap dapat berjalan (dengan LAN dan bidding room) hanya sebagai sarana pertukaran dokumen dan pengumuman lelang. Untuk itu, sistem e-procurement dibanguan sebagai suatu sistem, yang baik aplikasi, infrastruktur server dan jaringan, maupun pengelolaannya tersebar dan terdistribusi sampai ketingkat Kabupaten/Kota dengan organisasi pengelolaan yang otonom (setiap Kementerian, Lembaga, Provinsi, Kabupaten, Kota membangun Layanan Pengadaan Secara Eelentronik atau LPSE), namun terhubung menjadi satu sistem secara nasional. Sebagai satu sistem, semua pengguna (PPK, ULP, penyedia maupun masyarakat luas) dapat mengakses informasi dari manapun dengan satu nama user (Single Sign On). LPSE juga menjadi ujung tombak penyelesaian permasalahan digital gap karena selain memberi fasilitas untuk digunakan oleh penyedia mengikuti lelang, LPSE juga menyediakan pelatihan dan helpdesk bagi pengguna sistem.

Pembangunan LPSE yang tersebar di seluruh wilayah dengan sistem elektroniknya dimungkinan karena pendekatan penggunaan open-source software yang bebas lisensi. Pengembangan lebih lanjut dari pendekatan ini adalah pengembangan software secara open-source yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pengembangannya. LKPP dalam hal ini bertindak sebagai software house dan penyedia layanan pemeliharaan dan dukungan teknis sekaligus sebagai pemegang hak cipta mewakili Pemerintah. Peluang dari pendekatan ini, total biaya pengadaan pengembangan aplikasi secara nasional menjadi murah dan tidak membebani institusi yang menyelenggarakan sistem elektronik. Lebih lanjut, pengembangan secara opensource membuka kemungkinan masyarakat memanfaatkan aplikasi tanpa biaya.

Kombinasi berbagai pendekatan dalam implementasi e-procurement di Indonesia pada saatnya akan memberi peluang terbangunnya pasar pengadaan yang terintegrasi dengan e-market place yang berkembang di Indonesia maupun di dunia. Tanpa kehilangan kendali atas kebijakan pengadaan, pasar pengadaan yang terintegrasi dengan pasar yang lebih luas akan memberi peluang balanja yang lebih efisien sekaligus peluang pasar produk nasional yang sudah berdaya saing. Perjalanan implementasi e-procurement dimulai pada tahun 2008, diawali dengan pembentukan LPSE pilot di 11 lokasi/institusi. Dalam perkembangannya hingga awal tahun 2014, telah tercatat sebanyak 602 LPSE yang tersebar di 33 provinsi dan melayani instansi pemerintah pusat, daerah serta BUMN, serta perguruan tinggi. Perkembangan yang menarik, walaupun secara peraturan BUMN tidak diatur dengan peraturan yang sama dengan APBN/APBD, terdapat beberapa BUMN yang juga membangun LPSE, bergabung dalam e-market place yang sama dan memanfaatkan sistem e-procurement yang dibangun LKPP.

Dengan telah terbangunnya 602 LPSE yang tersebar di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia (seluruh Provinsi sudah terlayani), telah membuka akses pasar pengadaan pemerintah dan menciptakan persaingan sehat dalam proses lelang. Sistem e-procurement memungkinkan pelaku usaha di daerah, dengan hanya sekali mendaftarkan diri, mendapatkan akses pasar di seluruh Indonesia dan mengikuti proses lelang maupun menawarkan barangnya di e-katalog. Walaupun demikian, secara alamiah wilayah operasi pelaku usaha tetap terbatasi oleh biaya transportasi dan pengenalan potensi setempat.

Keberhasilan penerapan e-procurement di Indonesia tidak lepas dari adanya respon positif para pelaku pengadaan. Secara kelompok, respon ini mempercepat proses adopsi sistem e-procurement yang dipersepsikan memberikan rasa aman dan nyaman. Rasa aman karena proses pengadaan dirancang pasti sesuai dengan ketentuan karena melekat pada aplikasi dan transparansi yang sangat luas., serta meningkatnya kepercayaan para pelaku usaha karena kompetisi yang adil dan terbuka.

Dengan meningkatnya kepercayaan dunia usaha pada proses pengadaan yang lebih adil dan transparan, partisipasi langsung pelaku usaha dalam pengadaan diharapkan meningkat. Hal ini akan meningkatkan kompetisi dan pada akhirnya akan menjamin harga yang lebih benar.

Sistem e-procurement yang dibangun juga membuka peluang untuk membangun sistem pendukung dalam rangka government financial management yang lebih baik. Interaksi antar sistem di dalam manajemen keuangan akan mengurangi biaya dan waktu proses dan pada akhirnya akan menurunkan ekonomi biaya tinggi. Untuk itu, arsitektur sistem e-procurement dibangun dengan membuka peluang seluas-luasnya interaksi dengan sistem yang lainnya, seperti sistem perencanaan pengadaan, sistem manajemen kontrak, sistem pembayaran (payment system) dan sistem monitoring termasuk pengendalian, dan pengawasan oleh masyarakat.

Salam LPSE
Ikak G. Patriastomo