20/02/10

RAB Jasa Konsultansi

Jasa konsultansi selama ini didefinisikan sebagai layanan jasa keahlian profesional dalam berbagai bidang dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan pengguna jasa. Output jasa konsultansi pada umumnya merupakan suatu piranti lunak, nasehat, rekomendasi, rencana, rancangan, ataupun layanan jasa profesional seperti manajemen proses, pengawasan, audit, dsb. Adapun di sektor konstruksi yang dikategorikan jasa konsultansi adalah jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi.

Sampai saat ini, masih banyak pertanyaan sekitar cara menyusun rencana anggaran biaya (RAB) pekerjaan jasa konsultansi. Peraturan yang ada memang tidak mengatur cara menyusun RAB, karena penyusunan RAB adalah proses penganggaran yang sangat teknis dan satu kasus dengan kasus lainnya dapat sangat berbeda.

Oleh karena itu, perlu diingat kembali sebelum masuk tahap menyusun RAB ini, pengguna dituntut untuk memahami terlebih dahulu karakteristik kebutuhan jasa konsultansinya, termasuk kebutuhan akan output yang ingin diperoleh. Pada banyak kasus, pengguna tidak cukup memahami kebutuhannya sehingga waktu merumuskan kerangka acuan kerja (TOR) tidak cukup tergambar metodologi pelaksanaan kegiatan, input yang diperlukan serta bagaimana jasa konsultansi memenuhi kebutuhan tersebut.

Tahap menentukan kebutuhan jasa konsultansi sama kritisnya dengan tahap menyusun TOR jasa konsultansi. Pada banyak kasus, output yang diperlukan tidak dapat dipenuhi oleh bisnis jasa konsultansi, karena pekerjaan yang bersangkutan tidak berkembang secara komersial. Disini perlunya kita memilah-milah kegiatan menjadi sub-sub kegiatan sehingga menghasilkan lingkup-lingkup yang dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa konsultansi dan lingkup-lingkup yang perlu didekati secara internal atau Swakelola.

Yang sering salah kaprah, seolah-olah semua pekerjaan yang kita butuhkan otomatis dapat dilaksanakan dengan bantuan perusahaan jasa konsultan, sehingga banyak sekali contoh pekerjaan penelitian tidak memberikan hasil yang sahih karena sebenarnya bukan kompetensi sebuah perusahaan jasa konsultansi.

Biaya Langsung Personil

Untuk pekerjaan jasa konsultansi yang lazimnya tidak memiliki standar fee (non standar), Bappenas dan Depkeu pernah menerbitkan pedoman kepada instansi dalam penyusunan RAB untuk pekerjaan jasa konsultansi jasa konsultan non-standar seperti ini. Sedangkan untuk jasa konsultan standar di sektor konstruksi, Dep. PU pernah menerbitkan pedoman sejenis.

RAB untuk kegiatan jasa konsultansi non-standar pada dasarnya terdiri atas dua komponen biaya yaitu: Biaya Langsung Personil (Remuneration); dan Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost).

Biaya Langsung Personil adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai tenaga ahli dan tenaga pendukung. Tenaga ahli adalah personel dengan jenis keahlian dan persyaratan tertentu seperti: Tingkat pendidikan tertentu misalnya perlu lulusan perguruan tinggi; Jenis keahlian (spesialisasi) tertentu; Pengalaman kerja profesional tertentu; Penguasaan bahasa, adat-istiadat dsb. Tenaga pendukung adalah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam rangka mendukung tenaga ahli baik dengan kualifikasi tertentu seperti operator komputer, sekretaris, sopir, maupun tenaga kerja tanpa kualifikasi seperti kurir, penjaga kantor, dsb.

Biaya Langsung Non Personil adalah semua perkiraan pengeluaran yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan kegiatan oleh tenaga ahli maupun tenaga pendukung.

Ketentuan terakhir dari pedoman Bappenas dan Depkeu tsb, penentuan perkiraan Biaya Langsung Personil pada dasarnya dihitung secara profesional mengacu pada harga pasar yang berlaku umum pada saat penyusunan RAB untuk kompensasi tenaga ahli berdasarkan masing-masing kualifikasi tenaga ahli di bidang keahliannya serta harga pasar yang berlaku umum untuk kompensasi tenaga pendukung.

Untuk mendapatkan data harga pasar yang berlaku dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti hasil survey penggajian Badan Pusat Statistik, jurnal-jurnal asosiasi profesi, hasil survey harga pasar oleh instansi yang bersangkutan, hasil survey oleh instansi terkait lainnya, survey lembaga swasta, maupun kontrak-kontrak jasa konsultan sebelumnya.

Dari data-data yang ada, terlihat bahwa harga pasar tergantung pada sektor, level jabatan, dan lingkup penugasan. Tidak terlihat harga yang berkorelasi dengan pengalaman, pendidikan, lama kerja

Adapun komponen-komponen Biaya Langsung Personil tenaga ahli pada umumnya meliputi:
• Gaji Dasar (GD) termasuk PPh,
• Beban Biaya Sosial (BBS), 0,3 - 0,4 dari Gaji Dasar.
• Beban Biaya Umum (BBU), 0,5 - 1,3 dari Gaji Dasar.
• Tunjangan Penugasan, 0,1 - 0,3 dari Gaji Dasar.
• Keuntungan yang besarnya, 0,1 (GD + BBS + BBU).

Atau secara total, Biaya Langsung Personil adalah (2,08 - 3,2) Gaji Dasar.

Dengan pedoman tersebut, dalam menyusun RAB perlu mengetahui besaran umum Gaji Dasar untuk suatu kualifikasi personel yang diperlukan sesuai TOR. Besaran ini tidak menuntut angka yang sangat pasti karena sifatnya masih ancar-ancar. Oleh karena itu tidak perlu khawatir bahwa RAB kita akan sangat besar atau jauh diatas harga yang sesungguhnya. Dalam pengadaan, harga penawaran akan mengoreksi dengan sendirinya RAB yang kita susun, karena Keppres 80 membatasi perusahaan konsultan menawarkan Biaya Langsung Personel yang melebihi 3,2 kali gaji dasar yang layak diterimakan kepada tenaga ahli ybs (pada sistem evaluasi kualitas).

Salam:
Ikak G. Patriastomo

Catatan Seorang Panitia Pengadaan

Pada acara Simposium Ahli Pengadaan di Bappenas tahun 2007, saya sangat terkesan dengan paparan yang disajikan dengan sangat tulus oleh Pak Tugiman dari Bogor. Bagaimana beliau pada waktu itu mengajak kita semua para pengelola pengadaan bisa memandang tugas Panitia Pengadaan sebagai bagian dari ibadah kita, sehingga beban bisa ringan karena semata-mata melihat itu semua sebagai ibadah kita. Berikur cuplikan paper beliau.

“Long Road To Heaven”
-Sebuah upaya kecil berbuat yang benar-

Kesadaran Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia Pengadaan Barang/Jasa dan pihak lain yang terlibat dalam pengadaan untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa lebih transparan layak untuk diapresiasi karena akan mengantarkan tercapainya cita-cita Keppres 80 tahun 2003 yaitu efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Upaya untuk menyadarkan para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa memerlukan waktu panjang dan meminta banyak korban baik dari penyedia maupun pengguna jasa yang belum terbiasa dengan gaya baru.

Di tengah angin segar perubahan tersebut, muncul tantangan karena sebagai hasil dari reformasi seperti pemilihan kepala daerah langsung, menguatnya fungsi legislatif di daerah dan dibukanya kran bersaing dengan pengusaha luar negeri.

Di tengah tantangan itulah saya berkarya dan menerima suratan nasib sebagai panitia pengadaan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bogor selama hampir lebih kurang 3 tahun mulai tahun 2004 sampai 2007.

Berbagai tantangan, godaan dan cobaan telah menempa dan memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis sehingga berharap hal tersebut akan menjadikan penulis lebih dewasa, pintar dan cermat dalam bertindak. Walaupun bukan makhluk suci layaknya malaikat, penulis berkeyakinan bahwa jalan lurus yang ingin penulis tempuh merupakan jalan teraman, baik dari sorotan KPK dan masyarakat maupun dari sorotan Allah SWT. Jalan ini memang sangat terjal dan berliku serta penuh dengan duri sehingga sangat tepat apabila penulis menyebutnya “Long Road To Heaven’.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan yang ada:
1. Memberi bukti kepada anggota DPRD bahwa pelelangan yang dilakukan oleh panitia benar-benar fair sehinggga tidak mungkin menentukan siapa yang harus dimenangkan apabila semua titipan oknum harus dipenuhi. Untuk meyakinkan bahwa panitia berpihak maka anggota DPRD perlu diajak untuk mengawasi dan menghadiri acara aanwizjiing, pemasukan dan pembukaan penawaran. Dari beberapa kejadian pada akhirnya semua pihak dapat memahami dan mengerti mekanisme pelelangan dan tidak lagi campur tangan dalam proses pelelangan.

2. Pada tahap awal, panitia seyogyanya membuat kesepakatan dengan atasan bahwa panitia akan diberi kebebasan untuk melaksana kan tugas secara independen tanpa ada intervensi dari atasan. Panitia juga agar terus mengingatkan tentang aturan-aturan yang harus dipegang dan konsekuensi apa yang akan diterima oleh masing-masing pihak apabila melanggar aturan. Tidak lupa sedikit memberi contoh beberapa pejabat yang masuk penjara gara-gara kasus pengadaan barang/jasa.

3. Menyamakan visi melalui disikusi dan silaturahmi nonformal antar panitia baik sesama dinas maupun antardinas. Anggota Panitia yang dipilih hendaklah orang-orang yang memang memiliki ilmu dan pengalaman yang mumpuni di bidang pengadaan barang/jasa sehingga tidak akan menjadi masalah di kemudian hari.

4. Membangun komitmen panitia dan pejabat pembuat komitmen untuk melaksanakan pelelangan secara benar sehingga mempermudah mengubah peri laku penyedia jasa. Ancaman dari penyedia jasa mulai dari hal nampak sampai yang ghaib tetap dihadapi sebagai suatu pembela jaran hidup yang sangat berharga. Selanjutnya, penerapan sanksi berupa blacklist kepada penyedia jasa yang melakukan penyim pangan telah banyak merubah perilaku penyedia jasa.

5. Belajar dan terus belajar merupakan solusi yang sangat tepat untuk membuka tabir ketidaktahuan terhadap suatu permasalahan. Banyak bertanya kepada orang-orang yang ahli seperti Bappenas selama ini telah cukup membantu panitia dalam menjalankan tugasnya. Beberapa kekeliruan panitia selama ini perlahan tapi pasti diperbaiki melalui pembelajaran secara praktek. Walaupun risiko yang dihadapi berupa pelelangan diulang atau dibodoh-bodohin.

Saya berkeyakinan bahwa menjadi panitia lelang merupakan salah satu sarana atau jalan untuk mencapai syurga-Nya.

Jalan ini merupakan jalan panjang yang pasti akan selalu penuh dengan duri dan godaan yang apabila ikhlas dan berkeyakinan untuk mendapat pahala dari Allah SWT akan berakhir dengan balasan setimpal yaitu syurga. Memang it’s a long road to heaven.

Oleh : Tugiman, Dinas Kesehatan Kab. Bogor.

(Tulisan disajikan pada Simposium Ahli Pengadaan Nasional Ke 2, Bappenas, 5 Desember 2007).